8.09.2022

Assalamualaikum Wr. Wb.

Assalamualaikum wr.wb,


Ini Ana Ratiana dari Bandung Indonesia. Tapi saat ini saya tinggal di Los Angeles AS. Saya harap anda dalam keadaan sehat?
Tolong Kak, saya ingin mencari tahu dari anda apakah ada investasi bagus yang menguntungkan di negara kita karena saya memiliki niat untuk berinvestasi dalam bisnis apa pun yang bagus yang akan berhasil jika anda dapat membantu saya menemukannya karena saya ingin kembali ke Indonesia jika memungkinkan dan Saya akan merinci anda lebih banyak setelah saya menerima balasan anda. Terima kasih.

Ana.


At No. 11894 Park,
Ave, Artesia, CA, AS.

Read more...

Assalamualaikum Wr. Wb.

Assalamualaikum wr.wb,


Ini Ana Ratiana dari Bandung Indonesia. Tapi saat ini saya tinggal di Los Angeles AS. Saya harap anda dalam keadaan sehat?
Tolong Kak, saya ingin mencari tahu dari anda apakah ada investasi bagus yang menguntungkan di negara kita karena saya memiliki niat untuk berinvestasi dalam bisnis apa pun yang bagus yang akan berhasil jika anda dapat membantu saya menemukannya karena saya ingin kembali ke Indonesia jika memungkinkan dan Saya akan merinci anda lebih banyak setelah saya menerima balasan anda. Terima kasih.

Ana.


At No. 11894 Park,
Ave, Artesia, CA, AS.

Read more...

7.10.2022

APA KBR?

Assalamu'alaikum wr wb.. 
Maaf saya harus menulis ke email Anda teddykabut.pulp@blogger.com karena Anda tidak terlalu mengenal saya tetapi ada sesuatu yang penting yang ingin saya bicarakan dengan Anda

Terimakasih,  
Eva Novitasari.

Read more...

5.08.2021

Hello

Greetings,
 I apologize if this email comes as a surprise to you. I had to reach out to you through this means because I have something of great importance I would like to divulge for further discussion.

kindly let me know if we can talk further on this note.

Best regards,
Sir Tim

Read more...

5.05.2021

Halo

Assalamualaikum.wr.wb...
Nama sy Ana Suryani dan sy berasal Dr Indonesia. Ada beberapa hal yang sangat penting yang sy ingin bicarakan dengan anda.

Terima kasih,
Ana. Read more...

12.24.2013

Jejak Masalah dan Darah PT MAN di Rohul (1), Berharap Sejahtera, Warga Justru Masuk Perangkap

Selasa, 24 Desember 2013 13:47
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=68156
Bagi masyarakat Tambusai Utara PT MAN semula adalah harapan, namun kemudian berubah menjadi masalah dan malapetaka seolah tiada akhir.

RIAUTERKINI- Pada 1995 silam desa-desa eks transmigrasi di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu ( dulu masih Kecamatan Tambusai dan bagian Kabupaten Kampar) masih diliputi keterbatasan. Ekonomi terbatas, fasilitas terbatas dan peluang usaha yang terbatas. Jangankan sejahtera, sekedar bisa hidup cukup pun sudah sangat disyukuri.

Karena itu, kehadiran PT Merangkai Artha Nusantara (MAN) yang dimiliki pasangan Barmansyah dan Budhiarti (sudah lama bercerai) ibarat sebuah oase di padang pasir yang kering. Datang membawa harapan akan masa depan yang lebih memberi kepastian ketercukupi kebutuhan hidup.

Maka gayungpun disambut ribuan warga dari empat desa: Sukadamai, Mahato Sakti, Pagar Mayang dan Payung Sekaki. Mereka rela menyerahkan satu-satunya harta paling berharga yang dimiliki, berupa sertifikat tanah lahan garapan I dan sertifikat lahan garapan II kepada PT MAN, sebagai syarat menjalin kemitraan. Di Desa Sukadamai saja sebanyak 911 persil sertifikat diserahkan pada PT MAN.

Kesepakatan pun diteken. Selajutnya masyarakat menghitung hari. Menunggu masa di mana gilran menuai panen dari kerjasama tersebut bisa dinikmati. Bayangan indah memiliki 2 hektar kebun kelapa sawit membuat masyarakat dari empat desa semangat menyongsong masa depan.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tidak ada satupun dari ribuan masyarakat empat desa tersebut menyangkap bahwa kerjasama dengan PT MAN adalah perangkap. Jebakan yang membuat mereka seolah tersekat dalam masalah tiada akhir. Bahkan kini situasinya berkembang menjadi malapeta yang menghadirkan ketakutan dan ancaman.

Sejak 1996 hingga saat ini PT MAN gagal melaksanakan kewajibannya membuka plasma untuk ribuan warga empat desa. Ribuan hektar lahan bersertifikat milik warga memang sudah diubah menjadi kebun kelapa sawit, namun selalu disebut perusahaan sebagai kebun inti, bukan plasma. Berbagai alasan disampaikan perusahaan untuk menghindari kewajiban menyediakan kebun plasma.

Masyarakat pun dihadapkan pada buah simalakama. Ikut terus kerjasama tidak ada kepastian. Sementara mundur, lahan dan sertifikatnya terlanjur dikuasai perusahaan. Sejak itulah masalah demi masalah mendera masyarakat. Persoalan semakin pelik begitu ribuan hektarn kelapa sawit mulai berbuah dan siap panen. Sementara kebun yang ada tak kunjung dibagikan kepada para peserta kemintraan yang telah menyerahkan sertifikat pada perusahaan.

Ketika ribuan hektar kebun kelapa sawit di empat desa benar-benar panen, masalah pun semakin rumit dan cenderung memanas. Warga yang sudah tak sabar ingin menikmati hasil penantian panjang kerap dibuat geram oleh sikap perusahaan. Mereka tak diberi kepastian kapan bisa mendapatkan hasil dari kerjasama.

Perusahaan memang bukan sama sekali tak membagi, peserta kemintraan kemudian diberikan bagian dari hasil penen kebun kelapa sawit, namun bukan dalam bentuk lahan, melainkan pembagian uang hasil penjualan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Masalahnya, uang yang dibagikan kepada setiap warga dinilai sangat tidak layak. Dalam sebulan warga hanya menerima uang sekitar Rp 300 ribu. Pernah juga hanya diberi Rp 200 ribu sebulan. Sudahlah sedikit, pembagiannya pun tidak rutin. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir warga tak pernah lagi menerima pembagian apapun dari PT MAN selain masalah.

Anehnya, dalam jumpa pers yang digelar di Pekanbaru, Senin (23/12/13), PT MAN mengungkapkan fakta sebaliknya. Menurut pengacara perusahaan Suharman yang didampingi Staf Humas Budi Kaban Karo-karo, serta Kananda Syahputra, anak lelaki Barmansyah, pemilik perusahaan, kerjasama dengan masyarakat empat desa di Tambusai Utara sudah berjalan baik.

Suharman menambahkan, kerjasama PT MAN dengan warga di 4 desa di Kecamatan Tambusai Utara sudah berjalan baik dengan menggunakan sistem bagi keuntungan 60 : 40, 60 untuk masyarakat dan 40 untuk perusahaan.

“Kerjasama ini sudah berjalan. Oleh karena itu, kami menduga barangkali ada pihak ketiga yang tidak suka dengan kerjasama PT MAN dengan warga di 4 desa tersebut,” tandasnya. ***(ahmad s.udi/bersambung)

Keterangan foto:
Pengacara PT MAN Suharman bersama staf Humas Budi Kaban Karo-karo dan Kananda Syahputra, anak Barmansyah, pemilih perushaaan saat jumpa pers di Pekanbaru, kemarin.
 
Read more...

11.14.2010

ICW laporkan perusahaan sawit bermasalah ke KPK


Asian Agri, Wilmar International, First Mujur Plantation dan Bakrie Sumatra termasuk yang akan dilaporkan.
Lembaga pemantau korupsi ICW dan Koalisi Koalisi Antimafia Hutan akan melaporkan sejumlah perusahaanperkebunan sawit di Kalimantan ke KPK, karena dugaan pelanggaran kasus pidana, pencucian uang, dan korupsi.

"Karena ketidakpercayaan kepada penegak hukum lokal [Kalimantan], kami akan laporkan ke KPK. Titik tekannya, penegak hukum dan RSPO," kata wakil kordinator ICW, Emerson Yuntho, dalam sebuah pernyataan bersama dengan sejumlah LSM, di Jakarta, hari ini.

RSPO yang dimaksud Emerson adalah  badan yang mengeluarkan sertifikasi untuk perusahaan-perusahaan sawit.

" Celakanya lembaga penegak hukum tidak ambil tindakan kalau tidak ada laporan, padahal ada atau tidak ada laporan harus ditindaklanjuti. Kami akan membuat laporan resmi. Kalau kebutuhannya harus bikin laporan, kami harus siapkan dan akan kami sampaikan ke RSPO," kata Emerson.
Beberapa perusahaan sawit yang diduga melakukan pelanggaran antara lain Cargill, Asian AgriFirst Mujur Plantation, IOI, Inti Indosawit Subur, Sukajadi Sawit Mekar, Berkat Sawit Sejati, Agrowiratama, Bakrie Sumatera, London Sumatera, SIPEF: HOPL, Musim Mas,Wilmar International dan Sime Darby.

" Banyak yang mendapat sertifikat [RSPO] tapi yang diduga melakukan pelanggaran, perusahaan-perusahaan itu," kata Safrudin dari Save Our Borneo.

Perusahaan-perusahaan sawit itu menurut Save Our Borneo, sering melakukan pelanggaran meski sudah mendapatkan sertifikat RSPO. Padahal sebelum mendapatkan sertifikasi, mereka sudah menyetujui semua prosedur untuk tidak melanggar HAM, mendapatkan izin perkebunan, tidak bersengketa dengan masyarakat, dan memiliki area konservasi.

Faktanya, masih ditemukan sejumlah pelanggaran oleh perusahaanp-perusahaan sawit di Kalimantan termasuk dugaan terjadinya suap dan korupsi. "Ada kecenderungan pemberian rekomendasi atau izin [pembukaan lahan sawit] meningkat saat pilkada," kata Safrudin.

Sementara itu, Hermawansyah dari Kontak Rakyat Borneo menyatakan pihaknya akan terus menyelidiki modus-modus pelanggaran, terutama untuk sengketa tanah dan perizinan. Dia juga berharap pihak RSPO bisa melakukan evaluasi.

"RSPO basisnya market base,  dan tidak semata-mata membuat aturan main. Jadi RSPO harus menjamin perkebunan sawit tidak melanggar HAM dan tidak bersengketa sampai CPO dilepas di pasar," kata Hermawansyah.

sumber>> http://www.beritasatu.com/articles/read/2010/11/1651/icw-laporkan-perusahaan-sawit-bermasalah-ke-kpk
Read more...

10.27.2009

Pengelolaan Kawasan Hutan, Kalangan LSM Riau Dukung Masyarakat Teluk Meranti

Riauterkini-PEKANBARU- Setelah melihat kenyataan lapangan yang berkembang dan setelah membuat telaah kritis secara hukum formal maupun terhadap kewajiban PT. RAPP berdasarkan hukum-hukum internasional yang wajib dipatuhinya, dan apirasi masyarakat Teluk Meranti yang berkembang saat ini. Kami menilai bahwa PT. RAPP telah melakukan pelanggaran serius dan telah mengancam 56.000 hektar dari 665.000 hektar luas hutan alam di kawasan Semenanjung Kampar di Kabupaten Pelalawan dan Siak.

Masyarakat teluk meranti yang tinggal dan memiliki hak atas hutan tanah dikawasan tersebut saat ini sedang berjuang keras mempertahankan hak-haknya yang terancam oleh RAPP. menyikapi kondisi tersebut kami organisasi masyarakat sipil di bawah ini menyatakan :

1. Keperihatinan yang mendalam atas pengabilalihan sepihak hak-hak masyarakat Teluk Meranti atas hutan tanah seberang/Semenanjung Kampar oleh PT.RAPP.

2. Kami menilai tindakan PT.RAPP tersebut merupakan tindakan pelanggaran ham (hak azasi manusia) , karena :

- Menguasai lahan masyarakat tanpa persetujuan/izin
- Menyebabkan ancaman yang serius bagi keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat
- Menyebabkan masa depan anak cucu masyarakat Teluk Meranti terancam tidak memiliki cadangan lahan perluasan untuk perkebunan, tanaman pangan, sumber kayu, non kayu, ikan dan lain-lain.

3. Mendukung penuh segala perjuangan masyarakat Teluk Meranti untuk mempertahankan hak-haknya atas hutan tanah seberang/Semenanjung Kampar.

4. Mendukung pengelolaan hutan tanah seberang secara lestari dengan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat.

5. Siap memberikan bantuan hukum untuk mendukung perjuangan masyarakat Teluk Meranti.

6. Siap mendampingi/memfasilitasi masyarakat Teluk Meranti membawa permasalahan ini tingkat nasional maupun internasional.

Demikian surat deklarasi dukungan ini kami buat, semoga bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. LSM yang menyatakan sikap adalah Scale Up, Jikalahari, Walhi Riau, LBH Pekanbaru, Kabut Riau, Mitra Insani, Greenpeac Sea, Yayasan Alam Sumatera, Yayasan Bahtera Alam dan KBH Riau.***(rls)

sumber : http://riauterkini.com/lingkungan.php?arr=26537


Read more...

10.22.2009

Kronologis Konflik Petani Kemenyan Humbahas vs PT. TPL, Tbk

1. 29 Februari 2009
Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara mengeluarkan Surat Nomor 552.21/0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Toba Pulp Lestari Tahun 2009, yang merujuk kepada SK Menteri Kehutanan, MS. Kaban, Nomor 44/Menhut-II/2005, tentang tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha. Kedua surat ini dipakai sebagai alas hukum untuk membabat tombak haminjon (hutan kemenyan) yang sudah diusahai dan dimiliki secara turun temurun oleh warga desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kec Pollung, Humbahas

2. Senin, 2 Juni 2009
Warga yang sedang bekerja di hutan kemenyan pulang ke desa dan melaporkan bahwa Penebangan hutan yang dilakukan oleh PT. TPL telah sampai ke lahan hutan kemenyan milik warga desa.

3. Selasa 3 Juni 2009
Ratusan warga desa Pandumaan dan Sipituhuta berjalan kaki kehutan memutuskan untuk melakukan aksi untuk menghentikan penebangan kemenyan. Warga mengetahui bahwa pohon kemenyan milik 2 desa sudah dirambah/ditebangi PT.TPL sehingga dengan spontan mereka berangkat ke tombak haminjon (hutan kemenyan). Setibanya di hutan, mereka menanyakan pekerja TPL dengan baik-baik dan meminta para pekerja untuk menghentikan penebangan. Selanjutnya warga meminta sinsaw yang digunakan pekerja menebang pohon kemenyan dan mengatakan: “Jangan menebang pohon kemenyan karena ini milik warga, dan kami akan membawa sinsaw ini ke desa, silahkan beritahukan kepada pimpinan (TPL) dan menjemputnya ke desa”. Selanjutnya mereka memberikan surat tanda terima (pengambilan sinsaw) kepada pekerja dan humas TPL dan ditandatangani. Warga juga meminta agar pekerja TPL meninggalkan areal tersebut, jangan sampai warga marah dan terjadi hal yang tidak diinginkan. Wargapun membawa 14 unit sinsaw pekerja TPL ke desa.

4. Senin, 29 Juni 2009,
Ribuan warga melakukan aksi protes ke Pemkab dan DPRD Humbahas atas penebangan hutan kemenyan rakyat Desa Sipitu Huta dan Pandumaan, Kec.Doloksanggul Kab.Humbang Hasundutan, yakni di areal hutan Lombang Nabagas, Dolog Ginjang, dan Sipitu Rura (dalam hitungan hari saja, sudah menebang pohon sekitar 200 ha). Pada hari yang sama, Bupati (No. 180/497/HH/2009) dan DPRD mengeluarkan surat agar TPL menghentikan penebangan di areal milik 2 desa tersebut.

5. Selasa, 14 Juli 2009
Pagi hari, ratusan warga (tua muda) dari 2 desa Sipitu Huta dan Pandumaan berangkat ke hutan, sepanjang jalan mereka menanami kembali areal yang sudah sempat ditebang TPL dengan berbagai tanaman yang mereka bawa dari kampung: Membuat plakat-plakat yang isinya menyatakan bahwa hutan tersebut milik warga Sipitu Huta dan Pandumaan, melarang TPL memasuki areal dan menebangi pohon di areal tersebut. Kemarahan warga tak terbendung lagi melihat tumpukan kayu yang ditebangi TPL, bukan hanya kayu alam tetapi juga pohon kemenyan. Sehingga mereka membakar tumpukan kayu tersebut. Menurut mereka, tumpukan kayu tersebut adalah milik mereka, dan bisa saja menjadi alasan TPL untuk memasuki areal tersebut kembali dengan dalih mengangkut kayu yang sudah sempat ditebang.

6. Rabu, 15 Juli 2009,
5 unit truck polisi dan 3 mobil patroli (sekitar 200 orang) datang ke desa, disepanjang jalan desa diisi oleh aparat (polisi dan brimob), mengelilingi rumah-rumah yang dianggap pengurus (pimpinan) kelompok. Suasana menjadi mencekam dan menakutkan. Kondisi desa kebetulan sepi karena beberapa warga sudah berangkat ke tombak haminjon (hutan kemenyan). Selanjutnya mulai terjadi keributan, polisi mulai mengobrak-abrik rumah dan menciduk warga yakni:
1. Rumah Ama Junjung Sihite. Waktu itu yang tinggal di rumah hanya anak-anak 3 orang, aparat mengusir anak-anak tersebut dari rumah. Ketika istrinya (Op. Lera br.Situmorang) pulang dari ladang terkejut melihat rumah diobrak-abrik polisi dan anak-anak menangis. Ibu ini menanyakan kenapa rumahnya diobrak abrik, tetapi mengatakan tidak apa-apa karena ada Kepala Desa dan Camat yang menyaksikan. Selanjutnya Polisi membongkar pintu kamar dan mengambil sinsaw (sinsaw yang disita warga milik TPL, kebetulan disimpan di rumah ini). Polisi juga membongkar lumbung padi secara paksa tanpa disaksikan pemilik rumah. Selanjutnya polisi menanyakan dimana Bapak (suami), tetapi dijawab dengan tidak tahu. Ibu ini mengatakan sangat ketakutan dan trauma atas kejadian ini.
2. Rumah Op.Rikki Nainggolan, digeledah secara paksa, pemilik rumah dipaksa membuka lemari dan lumbung padi. Kemudian polisi masuk ke kamar dan menginjak-injak tempat tidur, kebetulan ada ibu (orang tua berumur 95 thn yang sedang sakit) berada di kamar tersebut terinjak oleh polisi. Katanya Polisi mencari sesuatu di rumah ini.
3. Salah seorang warga (Biner Lumbangaol) 56 tahun, diciduk polisi ketika membunyikan lonceng gereja di gereja HKBP, sebagai tanda agar warga berkumpul karena terjadi penangkapan atas warga. Sementara warga yang hendak membunyikan lonceng gereja GKPI sempat melarikan diri dan bersembunyi.
4. Ama Posma (James Sinambela) 50 tahun, diciduk dari ladangnya secara paksa, karena dianggap pemimpin warga.
5. Mausin Lumban Batu 60 tahun, diciduk di jalan sepulang dari acara pesta diketahui tidak ikut ke tombak (hutan ) karena sudah berusia lanjut (tua).

Atas tindakan aparat mengobrak abrik rumah dan pencidukan 3 warga, sekitar 200 warga (bapak, ibu, tua, muda) sepakat melakukan aksi ke kantor Polres.

Setiba di Polres (sekitar pkl 18.00 wib),warga tidak diperbolehkan masuk sehingga terjadi dorong-dorongan antara warga dengan aparat. Dalam aksi dorong-dorongan ini warga mendapat pukulan/pentungan dari aparat. Ada beberapa warga khususnya kaum ibu yang mengalami luka-luka ringan dan 2 orang ibu terjatuh ke parit, dan pingsan karena terpihak aparat. Dalam bentrok ini 3 orang lagi warga (Sartono Lumban Gaol, Nusantara Lumban Batu, Laham Lumbangaol) diciduk dari barisan warga. Selanjutnya warga dipaksa dan terpaksa mundur, sehingga warga mengambil tempat di seberang jalan di depan kantor Polres. Disanalah warga menunggu teman-teman mereka yang ditahan dibebaskan. Dalam bentrokan ini aparat merampas peralatan aksi warga seperti tenda, tikar, toa, sepeda motor, beras, dandang dan peralatan lainnya.

7. Kamis, 16 Juli 2009,
Rapat di kantor DPRD Humbahas, dihadiri Ketua DPRD. Sekwan, Anggota DPRD dan Dandim, serta 20 utusan warga, dan beberapa media. Warga kembali menyampaikan tuntutannya agar Polres membebaskan teman mereka (6 orang) yang ditahan Polres. Pihak DPRD berjanji akan membahasnya dalam rapat Muspida, dan menyampaikan tuntutan dan sikap warga.

Setelah pertemuan dengan warga usai, sesuai janji ketua DPRD bahwa hasil pertemuan akan dibawakan pada rapat Muspida. Sementara rapat berlangsung, utusan warga menunggu hasil rapat di luar kantor DPRD. Diperoleh informasi dari desa, per telepon, bahwa pihak TPL sedang melakukan aktifitas di hutan kemenyan. Mendengar informasi ini, utusan warga yang sedang di DPRD langsung menyampaikannya kepada pihak DPRD dan pihak Pansus DPRD langsung berangkat ke hutan kemenyan untuk memastikan informasi tersebut.
Sampai pkl 14.30 wib, belum juga ada hasil rapat. Sementara warga yang sudah bersiap-siap di desa sudah mendesak, dan bolak-balik menanyakan hasil rapat, dan apakah mereka sudah boleh berangkat dari desa untuk aksi ke kantor Polres Humbahas. Karena waktu yang disepakati sudah lewat, dan hasil rapat tidak ada (karena katanya Bupati dan wakil Bupati tidak ada di tempat) warga dari desapun berangkat menuju kantor Polres.

Ketika rombongan warga sampai di areal kantor Polres, sekitar pkl 16.00 wib warga turun dari berbagai angkutan (truk, angkot, bis dan sepeda motor) menuntut pembebasan 4 teman mereka yang ditahan di Polres. Warga menunggu sampai pagi hari, dihalaman terbuka, di seberang jalan di depan kantor Polres, namun belum juga mendapat jawaban dari pihak Polres.


8. Jumat 17 Juli 2009 (I)
Warga pun pulang sementara 10 orang utusan (penandatangan surat kuasa bersama salah seorang advokad dari PEPABRI pergi ke kantor DPRD, katanya untuk rapat Muspida). Ketika warga pulang 4 warga yang ditahan di Polres dipindahkan ke LP Siborongborong yakni:
Warga yang masih ditahan dan dipindahkan di LP:
1. James Sinambela 49 tahun, diciduk dengan paksa dari ladang miliknya.
2. Mausin Lumbanbatu, 62 tahun, diciduk di jalan sepulang dari acara pesta keluarga.
3. Sartono Lumbangaol, 43 tahun diciduk saat aksi di depan kantor Polres.
4. Medialaham Lumbangaol, 26 tahun diciduk saat aksi di depan kantor Polres.
Keempat orang warga yang ditahan dituduhkan melakukan tindak pengrusakan dan pencurian.

9. Jumat 17 Juli 2009 (II)
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Poldasu dan Polres Humbahas yang isinya perlindungan hukum kepada Suryati Simanjutak dan Guntur Simamora. Surat ini dikeluarkan setelah pihak kepolisian Resort Humbahas mendatangi desa Pandumaan dan Sipituhuta dan menanyakan keberadaan kedua orang dimaksud. Pendamping masyarakat yang merupakan staf KSPPM itu diduga telah dijadikan sebagai target operasi (TO) oleh pihak Polres Humbahas.

10. Minggu, 19 Juli 2009,
Warga melakukan ibadah bersama lintas gereja yang ada di 2 desa tersebut yakni: GKPI, HKBP, GPDI, GKLI, BETEL, Khatolik, GKI sebagai bentuk keprihatinan dan dukungan doa bagi perjuangan warga 2 desa dalam mempertahankan hak atas hutan kemenyan yang sudah dimiliki dan diusahai secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Juga sebagai doa bersama atas 4 warga yang masih ditahan. Ibadah ini dihadiri utusan dari pimpinan pusat gereja GKPI yakni (Pdt.Salomo Simanjuntak) sebagai pembawa kotbah, Pdt. H.Sirait (HKBP), Pdt.Anton Pasaribu (HKBP), Pdt.Sinambela (GPDI Ebenezer) dan penatalayan gereja lainnya yang ada di 2 desa. Ibadah ini dilakukan dihalaman terbuka, di lokasi SD Negeri Pandumaan yang dihadiri sekitar 600 warga/jemaat.

11. Selasa, 21 Juli 2009,
Sesuai janji ketika aksi dan desakan kepada Muspida, 4 warga yang masih ditahan akan dijadikan tahanan luar, utusan warga (20 orang) pun datang menjemput 4 warga tersebut ke kantor Polres Humbahas. Utusan melakukan pengurusan administrasi, dan menunggu pihak polisi menjemput 4 warga yang ditahan di LP Siborongborong. Sekitar pkl 15.00 wib, 4 warga pun tiba di Polres, dan bersama warga lainnya pulang ke desa Pandumaan. Warga yang tidak puas dengan penahanan beberapa orang petani kemenyan, hanya mendapat respon dari pihak kepolisian secara lisan. Polisi menyampaikan bahwa penangkapan dilakukan karena ada pengaduan dari pihak PT. TPL, sementara pengaduan dari masyarakat petani kemenyan tidak ada.

12. Senin, 27 Juli 2009
Sebagai respon dari sikap Polres Humbahas, petani kemenyan membuat pengaduan kepada Polres Humbahas, melaporkan peristiwa pidana pengrusakan dan perampasan tanah yang dilakukan oleh PT. TPL. Pengaduan dibuat oleh Saut Lumban Gaol sebagai perwakilan masyarakat petani kemenyan.

13. Kamis 27 Agustus 2009
Hingga saat ini, 4 orang petani kemenyan masih berstatus sebagai tahanan, dan 4 orang lainnya sebagai tersangka dan dalam proses pemanggilan oleh Pihak kepolisian Resort Humbahas.


Dibuat bersama oleh Bakumsu, KSPPM, dan Perwakilan Petani Kemenyan Pandumaan dan Sipituhuta

Medan, 27 Agustus 2009
Read more...

Peran Pemerintah Dalam Proses Pemusnahan Haminjon Batak

oleh : Limantina Sihaloho

PT TPL MERAMPAS TANAH ADAT WARGA DESA SIPITUHUTA DAN PANDUMAAN

Air mata bercucuran di wajah sekitar 400-an warga dua desa dari Sipituhuta dan Pandumaan yang mayoritas adalah para ibu ketika mereka mendatangi kantor bupati Humbahas pada tanggal 3 Agustus 2009 yang baru saja lalu. Di tengah deraian air mata warga itu, seorang ibu yang sudah tua di antara mereka sambil menangis, meneriakkan: “Bunu hamu ma hami sude parjolo; molo gabe rampason muna do tombak nami i sian hami!”; “Bunuh kami lebih dulu kalau kalian hendak merampas tombak kami itu dari kami!” Tombak adalah sebutan khas di kalangan masyarakat Batak secara khusus Batak Toba. Tombak berarti hutan.

Sehari sebelum mereka mendatangi kantor bupati pada 3 Agustus itu, gompul (beruang) telah masuk ke desa mereka mengobrak-abrik rumah beberapa warga. Kedatangan beruang ini merupakan ancaman bagi warga. Hutan rusak, beruang pun ikut terusir dari habitat aslinya. Sementara para perempuan berada di depan kantor bupati, para bapak dan pemuda berangkat ke Tombak Haminjon (Hutan/Ladang Kemenyan) mereka. Di sana mereka menemukan PT TPL sedang beroperasi; beberapa truk dan alat berat pembuat jalan dihentikan warga.
23 Juni 2009 yang lalu, warga Sipituhuta dan Pandumaan mengetahui bahwa Tombak Haminjon mereka dirambah oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dulu merupakan PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang terkenal dengan permasalahan yang ditimbulkannya bagi warga terutama Porsea dan sekitarnya. PT IIU tutup untuk beberapa tahun sebelum beroperasi kembali pada tahun 2005. Telah banyak masyarakat yang meninggal selama perlawanan menentang operasi PT IIU di Porsea tetapi pemerintah justru mengizinkan kembali PT itu beroperasi. TPL membabat rata pepohonan di atas tanah adat Tombak Haminjon warga yang terdiri dari tiga bagian itu: Lombang Na Bagas, Dolog Ginjang dan Sipitu Rura. Luas ketiga bagian ini sekitar 4100 ha. TPL telah merusak sekitar 2000 ha dari 4100 itu; menebang semua pohon yang sebagian sudah berusia berabad-abad; eukaliptus TPL yang rakus air itu akan menggantikan pepohonan alam dan haminjon yang ditumbangkan TPL.
Pada tanggal 23 Juni itu juga, secara spontan warga berangkat ke Tombak Haminjon mereka. Di sana mereka menemukan TPL sedang beroperasi. Warga lalu menyita peralatan TPL yang dipergunakan untuk menumbangkan pepohonan di atas tanah adat mereka. Warga marah melihat pohon-pohon haminjon mereka ditebang demikian juga pepohonan yang sangat penting bagi proses pertumbuhan dan produksi getah haminjon. Pohon haminjon tanpa pepohonan lain di samping dan sekitarnya akan membuat produksi getahnya menjadi sedikit dan kering.
Ketika warga berangkat lagi ke Tombak Haminjon mereka pada tanggal 14 Juli 2009, semakin meluas areal tanah adat mereka yang dirambah oleh TPL. Kayu-kayu besar telah menjadi bentuk gelondongan yang disusun bertumpuk-tumpuk siap diangkut oleh TPL ke luar dari tanah adat warga.
Esok harinya, 15 Juli menjelang siang sekitar 200-an polisi dan brimob naik truk dan mobil polisi memasuki kampung Sipituhuta dan Pandumaan. Aparat negara ini mengobrak-abrik sebagian rumah warga yang mereka anggap pimpinan kelompok dari warga dua desa. Seorang ibu yang baru pulang dari ladang ketakutan melihat anak-anaknya yang dia tinggalkan di rumah sudah berada di halaman dalam keadaan menangis gemetaran sementara polisi beroperasi di dalam rumahnya. Seorang ibu yang sudah tua (95 tahun) yang sedang tidur di tempat tidurnya terinjak oleh polisi yang sedang membongkar-bongkar isi rumah ibu tersebut. Polisi menciduk seorang bapak yang sedang membunyikan lonceng gereja, panggilan agar warga berkumpul. Polisi juga menciduk seorang bapak yang sedang bekerja di ladangnya demikian juga seorang bapak yang masih dalam perjalanan pulang usai menghadiri pesta keluarga. Sampai sekarang, ada empat bapak yang merupakan warga dua desa itu yang menjalani tahanan luar setelah sempat dipenjarakan di LP Siborong-borong. Keempat warga yang menjadi tahanan ini akan menjalani proses pengadilan di penghujung bulan ini.

PEMERINTAH DAN PEMODAL MEMPERALAT NEGARA
Alih-alih melindungi warga pemilik tanah adat Tombak Haminjon, pemerintah malah melindungi PT TPL. TPL berlindung di ketiak pemerintah lewat Kepres No 63 tahun 2004, Permen Perindustrian RI No. 03/M-IND/PER/ 4/2005 tanggal 19 April 2005 dan Surat Keputusan Kapolri Nopol. Skep/738/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 dan berbagai surat-surat keputusan lainnya yang mengizinkan TPL beroperasi bahkan di atas tanah adat rakyat.
Pemerintah memperalat negara bernama NKRI yang adalah milik semua warga Indonesia; pemerintah mengindentikkan dirinya seolah-olah menjadi pemilik tunggal negara ini. Pemerintah menjadikan dirinya seperti besi bermagnet sedang pemilik modal dan aparat keamanan negara (polisi dan tentara) seperti serbuk-serbuk yang secara otomatis menempel pada besi itu. Mayoritas warga negara, rakyat kebanyakan laksana dedaunan kering yang gugur yang sama sekali tidak akan menempel pada besi bermagnet ini karena ion-ion di antara keduanya tidak saling tari-menarik.
Pemerintah dan seluruh jajarannya termasuk aparat keamanan merasa berhak untuk melakukan apapun atas nama pembangunan- perekonomian yang hanya menguntungkan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab pada kelestarian lingkungan dan kepentingan rakyat banyak. Keadaan kini tak jauh beda dengan Orde Baru. Rumah warga boleh sewenang-wenang diobrak-abrik oleh aparat keamanan bahkan tanpa surat tugas/perintah yang justru membuat warga tidak aman dan menjadi trauma. Dalam kasus antara Sipituhuta dan Pandumaan, justru rakyat sebagai pemilik tanah adat Tombak Haminjon yang puluhan generasi telah bertani haminjon di Tombak Haminjon mereka yang ditangkap dan ditahan polisi. TPL yang menebangi pohon haminjon warga dan pepohonan lainnya di tanah adat warga malah dilindungi.
Pemerintah memperalat negara dan menjadikan dirinya berhak untuk memaksa dan mengeksploitasi warga dengan meminta pendataan atas tanah adat, siapa saja yang mempunyai bagian di tanah adat di Tombak Haminjon itu dan berapa luas luas tanah masing-masing warga. Pemerintah pura-pura lupa bahwa dalam tradisi Nusantara tanah adat adalah milik kolektif, bukan milik perseorangan. Menggiring warga untuk melakukan proses tidak terpuji macam itu tentu akan mempermudah pemerintah dan pemilik modal untuk melakukan proses devide et impera di kalangan warga baik itu di Sipituhuta dan Pandumaan maupun di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Beberapa warga di Sipituhuta dan Pandumaan sendiri telah menerima uang dari TPL seolah-olah mereka bisa menjual sebagian dari tanah adat di Tombak Haminjon dua warga desa itu. Untunglah bahwa warga masih menolerir keteledoran beberapa teman mereka atas apa yang mereka lakukan; mereka sadar itu cara-cara yang tidak terpuji untuk memecah belah mereka.
Pemerintah yang memperalat negara justru malah lebih kejam daripada Belanda yang pernah menjajah negeri ini. Belanda sebagai penjajah melakukan pemetaan wilayah Indonesia termasuk Tanah Batak demi kepentingan penjajahan mereka. Pada permulaan abad ke-20, Belanda melakukan pemetaan wilayah di Tanah Batak. Besar kemungkinan warga Sipituhuta dan Pandumaan pada permulaan abad ke-20 tidak mengetahui kalau Belanda dengan seenaknya menjadikan tanah adat mereka sebagai dari milik negara-kolonial.
Presiden, menteri dan kapolres, mungkin karena berada di Jakarta dan jauh dari daerah apalagi Sipituhuta dan Pandumaan dan sibuk dengan urusan-urusan mereka di Jakarta, dengan begitu saja bisa mengeluarkan surat-surat keputusan yang membuat PT TPL yang tadinya PT IIU itu berada di atas angin untuk beroperasi kembali pada tahun 2005 yang telah menimbulkan bencana bagi manusia dan alam.
Pemerintah bersama jajarannya justru tidak peduli pada kepentingan rakyat-banyak seperti penduduk di desa Sipituhuta dan Pandumaan. Jajaran pemerintah di daerah-daerah berlindung di balik berbagai keputusan-keputusan dari pusat (Jakarta) seolah-olah keputusan-keputusan itu adalah Tuhan yang tidak boleh dipertanyakan dan diganggu-gugat. Tiba-tiba warga di berbagai tempat di negeri ini bisa kehilangan rumah atau tanah termasuk tanah adat mereka sebab tak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan ketika aparat pemerintah datang menunjukkan berbagai macam ketentuan atau keputusan yang dikeluarkan atas nama negara; pemerintah dan jajarannya menjadi buta dan pura-pura buta terhadap bukti-bukti kultural dan historis yang dimiliki oleh warga.

MERAWAT NILAI KULTURAL HAMINJON
Haminjon tanah Batak sudah dikenal di dunia internasional selama ribuan tahun. Persoalan haminjon adalah juga persoalan identitas yang mengandung nilai-nilai historis dan kultural yang sangat kaya. Petani haminjon mempunyai kulturnya sendiri. Berangkat ke Tombak Haminjon, mereka harus suci dalam kata dan laku. Mereka (biasanya laki-laki) tinggal selama berhari-hari di Tombak Haminjon, mereka mempunyai gubuk di sana. Berbagai macam lagu tentang haminjon mereka nyanyikan selama berada di tombak. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi dengan haminjon. Itu sebab para ibu mengatakan kepada jajaran aparat pemerintah saat mereka mendatangi kantor bupati: “Asa boi pe hamu singkola timbo-timbo alani haminjon do!”; “Kalian bisa sekolah tinggi-tinggi adalah karena kemenyan.” Hampir semua aparat itu orang Batak. Walau orang tua mereka secara langsung bukan petani haminjon, kalau mereka punya perasaan, tentu mereka bisa menangkap arti dari kalimat itu: tanpa haminjon anak-anak Sipituhuta dan Pandumaan, sekarang dan di mana yang akan datang akan teramcam putus sekolah; warga desa akan terpuruk jatuh miskin.
Pemerintah memperalat negara, menjadikan dirinya identik dengan negara. Pemerintah menyokong dan melindungi pemilik modal melakukan tindakan-tindakan memonopoli perekonomian termasuk dengan cara merampas tanah adat warga mirip VOC di zaman penjajahan yang berakhir dengan kebangkrutan itu. Sistem perekonomian hanya bisa langgeng kalau ada nilai-nilai kultural yang menopangnya, tanpa itu akan ambruk dan berujung menjadi bencana.
Warga Sipituhuta dan Pandumaan tidak ada yang kena asam urat seperti banyak warga kota sebab mereka biasa berjalan kaki menginjak berbagai macam akar pepohonan. Perjalanan berpuluh km ke Tombak Haminjon adalah juga sebuah spiritualitas, latihan mental dan daya tahan. Berada di tengah tombak membuat jiwa mereka dekat dengan alam dan Pencipta; ini nampak antara lain lewat syair-syair yang mereka senandungkan saat bekerja atau berada di tombak. Dari generasi ke generasi mereka memelihara tradisi bahwa setiap orang yang berangkat bekerja ke tombak harus suci dalam kata dan laku; sebuah pendidikan karakter luhur yang bahkan di sekolah-sekolah dan universitas- universitas di negeri kita sudah sulit atau tidak bisa kita jumpai lagi. Kesucian dalam kata dan laku memberi mereka kekuatan bersahabat dengan alam di mana binatang-binatang buas seperti harimau dan beruang juga bertempat tinggal. Cara masyarakat berinteraksi dengan hewan-hewan buas ini juga merupakan kekayaan kultural tersendiri; mereka tidak menjadikan alam dan hewan sebagai objek tapi sebagai subjek.
Ada banyak unsur yang musti kita lindungi berkaitan dengan haminjon di Tanah Batak. Di samping haminjon sebagai mata pencaharian utama warga yang berprofesi sebagai petani haminjon, kita juga perlu mendukung mereka merawat nilai-nilai khas yang ada dalam tradisi bertani haminjon. Nilai-nilai ini sangat berharga, ibarat nafas bagi tubuh manusia. Tanpa nafas, apalah jadinya manusia kecuali sebagai mayat? Itu sebab mengapa paling tidak setiap orang yang punya akal dan hati nurani perlu mendukung perjuangan warga Sipituhuta dan Pandumaan. Kalau mereka kalah berhadapan dengan TPL maka ini akan menjadi tanda buruk bahwa pemerintah bersama jajaran dan aparat keamanannya serta pemilik modal akan terus melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji berikutnya yang mirip di tempat-tempat lain. Sebaliknya, kalau warga menang dalam mempertahankan apa yang menjadi milik mereka, tanah adat Tombak Haminjon mereka, maka ini menjadi tanda positif bahwa pemeritah dan konco-konconya harus menahan dan menghentikan langkah-langkah serupa dalam mempersulit, mengelabui dan menyiksa rakyat.*** 18 08 2009

Catt: saya sengaja mempergunakan kata: haminjon dan tombak dalam tulisan saya karena saya suka kata-kata itu. Saya juga senang dengan kemauan warga Sipituhuta dan Pandumaan dan para pejuang lainnya di Tanah Batak melawan PT IIU (TPL) yang mempergunakan bahasa Batak dalam berhadapan dengan aparat pemerintah. Terimakasih untuk Suryati Simanjuntak dari KSPPM untuk semua informasi yang telah disusunnya berkaitan dengan kasus yang terjadi di Sipituhuta dan Pandumaan; seorang pendamping rakyat paling baik yang kita miliki hari ini. Saya terkesan dengan bagaimana ia melakukan pekerjaannya; ia mengerti detak jantung warga desa Sipituhuta dan Pandumaan
Read more...

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi