Pekanbaru dan Jambi – INDONESIA—
Kepunahan hutan alam dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi di lansekap Bukit Tigapuluh, di Riau dan Jambi sudah di ambang mata. Hutan yang merupakan salah satu habitat kunci bagi harimau, gajah, dan orangutan Sumatera dan tempat bergantung hidup masyarakat tradisional ini mengalami ancaman serius, baik akibat penebangan masif yang sedang berlangsung maupun rencana Departemen kehutanan (Dephut) untuk mengkonversi eks HPH di sekitar Bukit Tigapuluh melalui perusahaan bubur kertas dan kertas, terutama oleh Asia Pulp & Paper (APP) beserta perusahaan mitra kerjanya.
Sejumlah organisasi lingkungan yang bekerja di lansekap Bukit Tigapuluh ini mengecam keras rencana penghancuran hutan alam tersebut secara sistematis yang akan mengancam habitat satwa liar, pengaturan tata air pada DAS Indragiri dan Reteh di Riau serta DAS Batanghari dan Pengabuan di Jambi, serta sumber penghidupan masyarakat setempat, terutama suku Talang Mamak dan Orang Rimba.
Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI WARSI), Yayasan Pusat Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), Frankfurt Zoological Society (FZS), Zoological Society of London (ZSL) dan Worldwide Fund for Nature (WWF)-Indonesia mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan nyata dalam melindungi lansekap Bukit Tigapuluh ini dari ancaman konversi hutan alam yang saat ini dilakukan oleh APP dan kelompok usahanya.
Jambi merupakan daerah hutan alam yang menjadi target pengalihan sumber bahan baku untuk produksi bubur kertas dan kertas APP, karena kegiatan konversinya di Riau saat ini dihentikan oleh pihak penegak hukum terkait tuduhan pembalakan liar dan kejahatan lingkungan.
Sejumlah konsesi HPH yang tidak beroperasi lagi di blok hutan Bukit Tigapuluh menjadi target pembukaan hutan untuk penanaman akasia oleh perusahaan HTI PT Arara Abadi dari Riau dan PT Wirakarya Sakti dari Jambi, keduanya adalah anak perusahaan APP, sangat ekspansif membuka hutan di wilayah ini dalam upaya memenuhi kebutuhan industri pulp dan kertas mereka.
Perusahaan APP telah menebang sekitar 20.000 hektar hutan alam yang merupakan bagian dari Bukit Tigapuluh lansekap, tepatnya di sekitar hutan lindung Bukit Limau guna menutupi kebutuhan produksi bubur kertas anak perusahaannya, baik PT Indah Kiat Pulp and Paper di Riau maupun PT Lontar Papyrus Pulp and Paper di Jambi.
Sejumlah investigasi yang dilakukan organisasi lingkungan di provinsi Riau dan Jambi telah menemukan adanya indikasi penebangan liar dan pembukaan jalan logging oleh APP dan mitra kerjanya di lokasi eks PT IFA dan PT Dalek Hutani Esa, dimana di areal tersebut tidak ada hak pengelolaannya. Pembukaan jalan tersebut telah membuka akses semakin parahnya laju kerusakan hutan alam, dan legalitasnya dipertanyakan oleh kelima kelompok konservasi tersebut. Penebangan hutan alam terjadi di dalam kawasan hutan lindung, disekitar hutan lindung, maupun kawasan untuk kehidupan orang rimba serta habitat satwaliar seperti orangutan, harimau dan gajah Sumatera. (Lihat terlampir Laporan Investigasi WWF.).
Para konservasionis sangat prihatin dengan semakin terancamnya habitat orang utan, harimau, gajah, maupun masyarakat asli setempat akibat maraknya pembukaan lahan hutan alam. Dibutuhkan keputusan yang bijak dari pemerintah dan dukungan seluruh pemangku kepentingan untuk melindungi lanskap Bukit Tigapuluh, sebelum semuanya terlambat.
Ian Kosasih, Direktur Program Kehutanan WWF-Indonesia meminta pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada ancaman ekosistem yang sedang terjadi di Bukit Tigapuluh. Tindakan responsif diperlukan dalam menindaklanjuti usulan dan rekomendasi lembaga konservasi non-pemerintah terkait perlindungan Bukit Tigapuluh yang merupakan salah satu habitat terakhir untuk harimau, gajah dan orangutan Sumatera di Riau dan Jambi. Sebagai hutan dengan nilai-nilai konservasi yang tinggi (High Conservation Value Forest) Bukit Tigapuluh semestinya tidak dikonversi.
“Sejumlah usulan dari kelompok konservasi terkait dengan perlindungan lansekap Bukit Tigapuluh selayaknya diperhatikan dan ditindaklanjuti, karena kegiatan konversi sangat cepat pengaruhnya dalam mengubah tutupan dan kondisi hutan alam,” ujar Ian Kosasih. “Oleh karena itu penebangan hutan alam di landskap Bukit Tigapuluh harus dihentikan secepatnya.”
Lima kelompok konservasi ini telah mengajukan surat bersama pada 3 September 2007 kepada Menteri Kehutanan terkait dengan rasionalisasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan perlindungan habitat harimau, gajah, dan orang utan di sekitar TNBT serta perluasan hutan lindung Bukit Sosah – Bukit Limau.
Tercatat tidak kurang 198 jenis burung (1/3 jenis burung di Sumatera) dan 59 jenis mamalia hidup di lansekap Bukit Tigapuluh (penelitian Danielsen dan Heegaard, 1995) serta terdapat flora endemik dan langka, cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii) dan Salo (Johanesteima altifrons). Masyarakat asli Talang Mamak, Orang Rimba dan Melayu Tradisional di lansekap Bukit Tigapuluh sudah mendiami wilayah hutan ini sejak lama dan sangat tergantung penghidupannya dengan kawasan hutan tersebut.
Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan hubungi:
Ø Diki Kurniawan (Warsi) : 08127407730 /dicky@warsi.or.id
Ø Peter H Pratje (FZS) : 08127495815 /phpratje@gmail.com
Ø Dolly Priatna (ZSL) : 081389001566 /Dolly.Priatna@zsl.org
Ø Nursamsu (WWF) : 08127537317 / Nursamsu@wwf.or.id
Ø M. Yunus (PKHS) : 081365705246 /yunus_pkhsb30@plasa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar