12.24.2013

Jejak Masalah dan Darah PT MAN di Rohul (1), Berharap Sejahtera, Warga Justru Masuk Perangkap

Selasa, 24 Desember 2013 13:47
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=68156
Bagi masyarakat Tambusai Utara PT MAN semula adalah harapan, namun kemudian berubah menjadi masalah dan malapetaka seolah tiada akhir.

RIAUTERKINI- Pada 1995 silam desa-desa eks transmigrasi di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu ( dulu masih Kecamatan Tambusai dan bagian Kabupaten Kampar) masih diliputi keterbatasan. Ekonomi terbatas, fasilitas terbatas dan peluang usaha yang terbatas. Jangankan sejahtera, sekedar bisa hidup cukup pun sudah sangat disyukuri.

Karena itu, kehadiran PT Merangkai Artha Nusantara (MAN) yang dimiliki pasangan Barmansyah dan Budhiarti (sudah lama bercerai) ibarat sebuah oase di padang pasir yang kering. Datang membawa harapan akan masa depan yang lebih memberi kepastian ketercukupi kebutuhan hidup.

Maka gayungpun disambut ribuan warga dari empat desa: Sukadamai, Mahato Sakti, Pagar Mayang dan Payung Sekaki. Mereka rela menyerahkan satu-satunya harta paling berharga yang dimiliki, berupa sertifikat tanah lahan garapan I dan sertifikat lahan garapan II kepada PT MAN, sebagai syarat menjalin kemitraan. Di Desa Sukadamai saja sebanyak 911 persil sertifikat diserahkan pada PT MAN.

Kesepakatan pun diteken. Selajutnya masyarakat menghitung hari. Menunggu masa di mana gilran menuai panen dari kerjasama tersebut bisa dinikmati. Bayangan indah memiliki 2 hektar kebun kelapa sawit membuat masyarakat dari empat desa semangat menyongsong masa depan.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tidak ada satupun dari ribuan masyarakat empat desa tersebut menyangkap bahwa kerjasama dengan PT MAN adalah perangkap. Jebakan yang membuat mereka seolah tersekat dalam masalah tiada akhir. Bahkan kini situasinya berkembang menjadi malapeta yang menghadirkan ketakutan dan ancaman.

Sejak 1996 hingga saat ini PT MAN gagal melaksanakan kewajibannya membuka plasma untuk ribuan warga empat desa. Ribuan hektar lahan bersertifikat milik warga memang sudah diubah menjadi kebun kelapa sawit, namun selalu disebut perusahaan sebagai kebun inti, bukan plasma. Berbagai alasan disampaikan perusahaan untuk menghindari kewajiban menyediakan kebun plasma.

Masyarakat pun dihadapkan pada buah simalakama. Ikut terus kerjasama tidak ada kepastian. Sementara mundur, lahan dan sertifikatnya terlanjur dikuasai perusahaan. Sejak itulah masalah demi masalah mendera masyarakat. Persoalan semakin pelik begitu ribuan hektarn kelapa sawit mulai berbuah dan siap panen. Sementara kebun yang ada tak kunjung dibagikan kepada para peserta kemintraan yang telah menyerahkan sertifikat pada perusahaan.

Ketika ribuan hektar kebun kelapa sawit di empat desa benar-benar panen, masalah pun semakin rumit dan cenderung memanas. Warga yang sudah tak sabar ingin menikmati hasil penantian panjang kerap dibuat geram oleh sikap perusahaan. Mereka tak diberi kepastian kapan bisa mendapatkan hasil dari kerjasama.

Perusahaan memang bukan sama sekali tak membagi, peserta kemintraan kemudian diberikan bagian dari hasil penen kebun kelapa sawit, namun bukan dalam bentuk lahan, melainkan pembagian uang hasil penjualan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Masalahnya, uang yang dibagikan kepada setiap warga dinilai sangat tidak layak. Dalam sebulan warga hanya menerima uang sekitar Rp 300 ribu. Pernah juga hanya diberi Rp 200 ribu sebulan. Sudahlah sedikit, pembagiannya pun tidak rutin. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir warga tak pernah lagi menerima pembagian apapun dari PT MAN selain masalah.

Anehnya, dalam jumpa pers yang digelar di Pekanbaru, Senin (23/12/13), PT MAN mengungkapkan fakta sebaliknya. Menurut pengacara perusahaan Suharman yang didampingi Staf Humas Budi Kaban Karo-karo, serta Kananda Syahputra, anak lelaki Barmansyah, pemilik perusahaan, kerjasama dengan masyarakat empat desa di Tambusai Utara sudah berjalan baik.

Suharman menambahkan, kerjasama PT MAN dengan warga di 4 desa di Kecamatan Tambusai Utara sudah berjalan baik dengan menggunakan sistem bagi keuntungan 60 : 40, 60 untuk masyarakat dan 40 untuk perusahaan.

“Kerjasama ini sudah berjalan. Oleh karena itu, kami menduga barangkali ada pihak ketiga yang tidak suka dengan kerjasama PT MAN dengan warga di 4 desa tersebut,” tandasnya. ***(ahmad s.udi/bersambung)

Keterangan foto:
Pengacara PT MAN Suharman bersama staf Humas Budi Kaban Karo-karo dan Kananda Syahputra, anak Barmansyah, pemilih perushaaan saat jumpa pers di Pekanbaru, kemarin.
 

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi