9.24.2008

Pembalakan Liar Kembali Marak di Riau




View Larger Map

Kompas/Syahnan Rangkuti
Pembalakan liar di hutan Riau masih berlangsung. Puluhan sawmill atau penggergajian kayu beroperasi di sebuah hutan konservasi di dekat Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil. Kondisi hutan di dekat beroperasinya sawmill terlihat bolong-bolong. Di jalur hutan terdapat rel-rel kayu untuk mendorong gelondongan kayu menuju sawmill. /

Senin, 22 September 2008 08:17 WIB
PEKANBARU, SENIN — Setelah berlalunya era Sutjiptadi sebagai Kepala Kepolisian Daerah Riau, pembalakan liar tampaknya kembali marak di Provinsi Riau. Pengamatan Kompas dari udara pada akhir pekan kemarin, belasan kilang penggergajian kayu (sawmill) beraksi dengan tenangnya di tengah hutan penyangga di wilayah Sungai Mandau, Kabupaten Siak, dan Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis.

Kilang-kilang kayu ilegal itu berjejer rapi di pinggir sebuah sungai. Bentuk bangunan seperti gudang beratap seng dengan dinding kayu. Dari bangunan tersebut keluar asap dari mesin gergaji yang sedang bekerja.


Di belakang dan samping bangunan terdapat tumpukan kayu yang sudah siap olah dalam bentuk balok dan papan. Jumlahnya diperkirakan mencapai ratusan meter kubik. Sementara itu, di sungai masih terdapat rangkaian kayu balok yang berjejer sepanjang ratusan meter.
Di lokasi sekitar kilang nyaris sudah tidak terlihat lagi kayu-kayu hutan alam. Lokasi di sana sudah bersih dari kayu-kayu besar. Di beberapa tempat tampak tanah yang menghitam bekas terbakar.

Di dekat sebuah kilang terdapat kebulan asap yang keluar dari kebakaran lahan yang disengaja. Api masih terlihat membara. Di lokasi itu sudah terdapat sebuah pondok kayu beratap seng.
Sekitar 1 kilometer di belakang kilang masih terlihat hutan alam dengan pohon-pohon hijau. Namun, di beberapa tempat di hutan itu tampak bolong-bolong bekas penebangan.
Lokasi kumpulan kilang yang satu berada pada koordinat 26'47 Bujur Timur dan 0119'46 Lintang Utara. Adapun kilang lainnya berada pada koordinat 101 30'24 BT dan 0123'46 LU.
Kepala Bidang Humas Polda Riau Ajun Komisaris Besar Zulkifli yang dihubungi, Minggu (21/9), mengaku belum mendapat informasi tentang pembalakan liar yang disampaikan Kompas. Zulkifli mengatakan, tampaknya para pembalak liar itu memanfaatkan kesibukan polisi Riau yang tengah mengamankan pemilihan kepala daerah pada 22 September ini.

"Memang dalam pengamanan pilkada kami sedikit mengurangi aktivitas razia terhadap illegal logging. Namun, Kepala Polda Riau Brigjen Hadiatmoko sejak awal sudah memprioritaskan melakukan perang terhadap illegal logging, penyelundupan, judi, dan narkoba," ujar Zulkifli.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf mengungkapkan, sekarang ini pihaknya belum pernah mengeluarkan izin rencana kerja tebangan untuk kayu alam untuk perusahaan yang memiliki izin. Apabila ada pekerjaan penebangan kayu hutan alam di seluruh provinsi Riau, dapat diartikan kegiatan itu ilegal.

Sahnan Rangkuti
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/22/08175479/pembalakan.liar.kembali.marak.di.riau

Read more...

Alam Dianaktirikan, Bencana Terjadi

Jumat, 19 September 2008 21:30 WIB
JAKARTA, JUMAT - Terjadinya perubahan iklim, pencemaran udara, lapisan ozon yang menipis dan permasalahan alam lainnya dikarenakan manusia menganaktirikan alam dalam pembangunan. Sejak revolusi industri bergema di abad 19 manusia membangun dunianya tanpa memperhatikan keseimbangan.

"Pembangunan yang hanya memperhatikan kepentingan manusia menyebabkan kerusakan lingkungan," kata Emil Salim dalam konferensi pers Pra Peluncuran Kehati Award 2009 di Jakarta, Jumat (19/9).


Akibat tindakan manusia ini, lanjutnya, alam melakukan serangan balik dalam bentuk kerusakan alam. "Jadi manusia membangun keliru, menggali lubang kuburannya sendiri," ungkapnya

Agar alam tidak semakin rusak, manusia dituntut untuk memerhatikan lingkungannya. Negara maju, menurut Emil, sudah menyadari pentingnya alam dan karenanya memerhatikan keseimbangan alam dalam pembangunan. Dia memberi contoh bagaimana negara maju mulai mengembangkan prinsip back to nature, seperti dikonsumsinya makanan organik, kosmetik organik, hingga obat-obatan organik.

Emil menyayangkan isu alam masih menjadi isu pinggiran. "Berita-berita tentang itu (alam) ke banting ke halaman 12 di antara advertising," kata Emil.
c13 08
Read more...

Kawasan Hutan di Sumut Diusulkan Diubah


Ilustrasi Hutan
Kamis, 18 September 2008 19:25 WIB
MEDAN, KAMIS - Kabupaten-kabupaten di Sumatera Utara mengusulkan perubahan kawasan hutan seluas 1,3 juta hektar menjadi kawasan bukan hutan. Rata-rata perubahan kawasan hutan yang diusulkan pemerintah kabupaten di Sumatera Utara tersebut menjadi perkebunan dan permukiman penduduk.

Usulan yang diajukan kabupaten mengurangi luas kawasan hutan di Sumut hingga 1,3 juta hektar. Namun usulan dari kabupaten ini masih belum lengkap. Kabupaten masih belum menyertakan, apa sebenarnya alasan mereka mengubah kawasan hutan menjadi kawasan bukan hutan, kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut JB Siringoringo, Kamis (18/9).

Usulan perubahan yang diajukan pemerintah kabupaten di Sumatera Utara (Sumut) ini terkait dengan usulan revisi Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan ka wasan hutan di Provinsi Sumut. Dalam SK tersebut, luas kawasan hutan di Sumut mencapai 3.679.338,48 hektar.

SK Menhut No.44/2005 diusulkan untuk direvisi karena dianggap menimbulkan kontroversi akibat adanya perbedaan luas hutan menurut SK tersebut dengan luas hutan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Sumut.

Dalam Perda No.7/2003 disebutkan luas kawasan hutan di Sumut hanya 3.679.338,48 hektar. Ada selisih antara SK Menhut dengan Perda RTRW Provinsi Sumut seluas 52.781,52 hektar. Padahal Perda RTRW Provinsi Sumut menjadi dasar keluarnya SK Menhut No.44/2005 tersebut. Rencananya, revisi SK Menhut ini akan menjadi salah satu dasar perubahan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Provinsi Sumut.

Deforestasi
Menurut Siringoringo, masih banyak kabupaten dari 28 kabupaten/kota di Sumut yang terkesan asal-asalan dalam mengusulkan perubahan kawasan hutan di wilayahnya. Ada yang mengusulkan kawasan hutan menjadi permukiman, tetapi tidak dijelaskan alasannya. "Kami khawatir, kabupaten-kabupaten ini mengusulkan kawasan hutan jadi permukiman penduduk, padahal mungkin di hutan tersebut hanya tinggal satu atau dua orang saja," kata Siringoringo.

Dinas Kehutanan Provinsi Sumut lanjut Siringoringo hanya memfasilitasi usulan perubahan dari kabupaten, untuk selanjutanya diteruskan ke Departemen Kehutanan. Akan tetapi kabupaten tetap tidak boleh asal mengubah kawasan hutan di wilayahnya. Dan belum tentu juga, usulan perubahan kawasan ini disetujui oleh Departemen Kehutanan, katanya.

Siringoringo mengakui, rata-rata kabupaten mengusulkan kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Baik perkebunan milik rakyat maupun perkebunan milik perusahaan perkebunan besar. Ada juga yang memang mengusulkan wilayah hutannya diubah karena dibutuhkan untuk pengembangana kawasan seperti Kabupaten Pakpak Bharat di mana 80 persen wilayahnya merupakan hutan, katanya.

Jika usulan kabupaten ini disetujui, maka akan menjadi deforestasi yang resmi dilakukan pemerintah. Padahal menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan Wahyudi Wardoyo, laju deforestasi di Indonesia saat ini saja sudah mencapai 1,08 juta hektar pertahun. Tingginya laju deforestasi membuat Indonesia dianggap sebagai negara yang punya andil besar dalam peningkatan gas rumah kaca, katanya.
Read more...

Moratorium, Solusi Atas Hutan Riau yang Semakin Menipis

Jumat, 5 September 2008 14:25 WIB
JAKARTA, JUMAT — Luas hutan Riau semakin menipis. Hingga tahun 2007, kondisi hutan alam tersisa 30 persen dan hutan gambut atau rawa 19 persen. Karen itu, Pemerintah Provinsi Riau harus segera melaksanakan moratorium.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) M Teguh Surya di Jakarta, Jumat (5/9). Penegasan tersebut juga didasari atas sikap politik Gubernur Riau, Wan Abubakar yang berkomitmen menindaklanjuti Pidato Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G-8 di Hokkaido, 5-7 Juli 2008. "Salah satu komitmennya adalah pengurangan emisi dari sektor kehutanan sebesar 50 persen pada tahun 2009. Kami ingin menuntut komitmen tersebut," katanya.

Teguh juga menambahkan, dalam moratorium atau jeda tebang nanti juga ditawarkan pelaksanaan seluruh rencana reformasi dan komitmen Pemerintah Riau di sektor kehutanan.
Indikator keberhasilan moratorium tersebut adalah jika tidak ada konversi lagi untuk kepentingan industri, adanya jaminan akses dan kontrol masyarakat, dan menolak pemberian izin di kawasan ekologi penting. Kawasan yang berfungsi lindung harus segera dipulihkan dan transparansi pemerintah dalam pemberian izin harus diwujudkan.

Tahun 2009, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memprogramkan moratorium di sejumlah kawasan hutan termasuk Riau, namun jeda waktu tersebut masih terlalu lama, sedangkan keadaan hutan setiap hari berkurang dengan cepat. "Kami ingin akhir bulan moratorium sudah dilaksanakan di Riau," kata Teguh.
Read more...

Hutan Dihabisi, Banjir Makin Menjadi-jadi

Sabtu, 20 September 2008 07:20 WIB
Dalam tiga tahun terakhir sejak 2006, Pulau Kalimantan boleh dikatakan luput dari bencana besar kebakaran hutan dan lahan serta dampak serbuan kabut asap. Itu bukan karena tidak ada kegiatan pembakaran hutan atau lahan, melainkan selama itu pulau tersebut beruntung karena tidak dilanda kekeringan panjang.

Namun, bagi yang berdiam di pulau yang kaya sumber daya alam ini bukan berarti bebas dari bencana. Pulau Kalimantan yang seharusnya sejak Juli 2008 memasuki kemarau, bahkan puncaknya September ini, justru terjadi sebaliknya.

Hujan terjadi hampir setiap hari. Tak heran bila sebagian wilayah di Kalimantan justru terjadi banjir beberapa kali karena perubahan iklim ini. Parahnya, banjir yang terjadi tidak hanya di satu lokasi, tetapi terjadi di beberapa daerah pada setiap provinsi dan cenderung terus meluas. Genangan banjir pun tidak hanya berlangsung lama, tetapi juga dalam dan sebagian berarus deras.

Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Palangkaraya Hidayat mengungkapkan, iklim tahun ini di Kalimantan akan turun sepanjang tahun, termasuk pada bulan-bulan musim kemarau. Kondisi ini disebut kemarau basah.

Masalahnya, hujan lebat yang turun seperti bulan Agustus lalu dua kali lipat dari kondisi normal. "Normalnya, pada bulan Agustus cuma 100-an milimeter per bulan. Sejauh ini malah sampai 200 milimeter," katanya.
Karena kondisi itulah, Hidayat sebelumnya mengimbau agar daerah di sisi hilir juga mewaspadai banjir kiriman dari hulu. Peringatan itu ternyata benar-benar terbukti ketika selama dua minggu kemudian banjir kiriman dari hulu menerjang kecamatan-kecamatan hilir Sungai Katingan.

Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), tercatat 19.814 keluarga di delapan kecamatan di Kabupaten Katingan terkena dampak banjir tersebut. Banjir juga menggenangi rumah milik 2.613 keluarga di empat kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur.

Hampir bersamaan waktunya, banjir juga melanda Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Kalimantan Timur (Kaltim). Pada Agustus dan awal September ini, misalnya, tiga kabupaten penghasil pertambangan batu bara dan bijih besi di provinsi Kalsel, yakni Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru, dilanda banjir besar. Banjir di sana tidak hanya merendam rumah penduduk, tetapi menewaskan empat warga yang terjebak banjir berarus deras.

Selain kerusakan jalan trans- Kalimantan pada ruas Banjarmasin-Batulicin semakin parah, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kalsel melaporkan sedikitnya lebih dari 1.000 hektar tanaman padi puso. Kerusakan tanaman padi seluas itu akibat banjir sejak Januari hingga September terjadi enam kali. Dari 13 kota/kabupaten, sebanyak 11 kabupaten hampir setiap tahun dilanda beberapa kali banjir. Tak heran bila Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana memasukkan Kalsel pada 11 provinsi di Indonesia yang rawan bencana.

Banjir tidak hanya menggenangi dataran rendah atau pinggiran sungai. Di Balikpapan, Kaltim, yang memiliki sebagian wilayah berbukit-bukit, misalnya, juga dilanda banjir. Banjir besar yang terjadi saat bersamaan dengan Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Kaltim pada Juli lalu, misalnya, disertai longsor sehingga menewaskan dua anak akibat tertimpa reruntuhan rumah.

Di Kalbar, banjir terparah justru terjadi bulan September yang melanda tiga kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Sintang, dan Melawi. Banjir yang paling parah, berdasarkan laporan, terjadi di Kabupaten Melawi karena merendam 10.000 rumah yang dihuni sekitar 50.000 warga. Sebagian dari mereka terisolasi selama sepekan akibat kepungan banjir.

Banjir di Kalimantan ternyata tidak hanya terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan catatan Kompas, selama sembilan bulan dalam tahun 2008 hampir setiap bulan terjadi banjir. Hanya bulan Februari dan Mei yang tidak ada laporan banjir.

Kondisi ini membuktikan bahwa banjir di Kalimantan bukan sekadar besaran curah hujan lagi sebab kalau itu masalahnya, dari dulu orang di sini telah mengantisipasi dengan mendirikan rumah panggung. Yang terjadi justru ini adalah buah dari kerusakan alam semakin parah. Kondisi ini setidaknya diakui Gubernur Kalsel Rudy Ariffin saat rapat mitigasi bencana beberapa waktu lalu di Banjarmasin, Kalsel.

Kondisi kerusakan lingkungan yang paling masif adalah terus berlangsungnya pembabatan hutan. Pada Januari-Februari di Kalbar, misalnya, digemparkan dengan penangkapan 34.500 batang kayu log ilegal di Sungai Kapuas. Kayu-kayu itu diklaim hasil tebangan sekitar 800 warga Kabupaten Kapuas Hulu. Tangkapan kayu itu merupakan yang terbesar sekaligus melibatkan pelaku terbanyak dalam sejarah penangkapan pembalakan liar di Kalbar.

"Kami terpaksa menebang kayu di sekitar Sungai Kapuas untuk bertahan hidup setelah hampir sebulan pada Desember 2007 desa kami tergenang banjir hingga 4 meter. Gara-gara terendam banjir, ladang kami gagal panen, menoreh getah karet tidak bisa, mencari ikan juga sulit," kata Jor (30), warga Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, yang ditemui beberapa waktu lalu.

Pembabatan hutan secara ilegal tidak hanya dilakukan warga di Kabupaten Ketapang, Kalbar, tetapi juga melibatkan pejabat dinas kehutanan dan kepolisian setempat. Jaringan perdagangan pun tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga untuk penyelundupan kayu ke Malaysia.

Tebang pohon
Menebang pohon untuk bertahan hidup pada saat banjir sudah menjadi mekanisme bertahan hidup turun-temurun masyarakat yang bermukim di daerah aliran Sungai Kapuas. Semakin tinggi dan lama banjir itu merendam permukiman dan ladang penduduk, hampir dipastikan semakin banyak pula kayu yang ditebang.
Memanfaatkan banjir untuk memilirkan kayu-kayu itu tidak hanya dilakukan rakyat, tetapi juga perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Cara ini ditempuh hampir di semua daerah aliran sungai (DAS) Kalimantan dan berlangsung puluhan tahun karena biayanya paling murah. Cara inilah yang dikenal banjir kap.

Semakin banyak kayu di DAS Kapuas yang ditebang, ini berarti semakin besar pula potensi banjir dengan frekuensi dan intensitas yang lebih banyak. Bencana banjir di Kalbar yang beberapa kali berlangsung dalam dua tahun terakhir ini setidaknya membuktikan hipotesis itu.

Dr Ir Gusti Zakaria Anshari MES, Ketua Pusat Penelitian Kehati dan Masyarakat Lahan Basah (PPKMLB) Universitas Tanjung Pura, Pontianak, sekaligus Ketua Forum DAS Kapuas, menilai, DAS Kapuas cukup mengkhawatirkan karena sumber daya hutan yang menjadi sumber tangkapan air juga sudah rusak. Pasalnya, selain pembabatan hutan, sekarang sebagian konversi lahan di DAS Kapuas menjadi perkebunan juga tidak direncanakan dan dilakukan dengan baik. Kondisi ini semakin parah dengan adanya penambangan emas tanpa izin (peti) di Sungai Kapuas.

"Sungai Kapuas sudah mengarah ke kondisi genting. Perlu penanganan serius agar jangan telanjur parah dan akan semakin sulit untuk mengobatinya," kata Gusti.

Panjang Sungai Kapuas, kata Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kapuas Suhartadi, sekitar 1.086 kilometer dan memiliki DAS 10,15 juta hektar. Sekitar 2,2 juta dari DAS itu termasuk kritis dan bahkan 607.253 hektar di antaranya dalam kondisi sangat kritis. DAS Kapuas yang tergolong agak kritis mencapai 4,24 juta hektar dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektar. "Deforestasi, penambangan liar, serta perubahan fungsi lahan turut memengaruhi kekritisan DAS Kapuas," kata Suhartadi.

Data Dinas Kehutanan Kalbar menunjukkan, dari total kawasan hutan di Kalbar yang mencapai 9,1 juta hektar, sekitar 2,1 juta hektar di antaranya tergolong lahan kritis. Di luar kawasan hutan, ada sekitar 3 juta hektar lahan yang kritis. Pada pertengahan tahun lalu, Masyarakat Perhutanan Indonesia Komda Kalbar sempat merilis, laju kerusakan hutan di Kalbar hampir 165.000 hektar per tahun atau 23 kali luas lapangan sepak bola per jam.

Jumlah kasus pembalakan liar di Kalbar yang turut mempercepat laju kerusakan hutan tergolong memprihatinkan. Dinas Kehutanan Kalbar mencatat, terdapat 406 kasus pembalakan liar di Kalbar dalam kurun waktu 2005-2007. Selain itu, kegiatan penambangan emas ilegal di pinggir-pinggir sungai di Kalbar juga cukup memprihatinkan. Data Dinas Pertambangan Kalbar tahun 2005 mencatat ada 1.480 peti yang melibatkan sekitar 10.093 penambang.

Keberadaan peti itu juga banyak memakai bahan kimia merkuri yang berpotensi mencemari sungai. Kerusakan lingkungan ini terus bertambah karena rehabilitasi lahan di Kalbar melalui program Gerakan Rehabilitasi Lahan dalam kurun waktu 2004-2006 sendiri baru 40.090 hektar.
DAS Kritis

Kondisi DAS yang sebagian kritis juga ada di 26 sungai besar lainnya di Kalbar. Tercatat dari 27 sungai di Kalbar yang memiliki DAS 14,86 juta hektar, sekitar 1,34 juta hektar pada kondisi sangat kritis, 2,1 juta hektar dalam kondisi kritis, 6,14 juta hektar dalam kondisi agak kritis, dan 3,73 juta hektar dalam kondisi potensial kritis.

"Jika kondisi ini tidak segera ditangani oleh berbagai pihak, bencana banjir yang lebih luas bisa menjadi ancaman serius bagi wilayah Kalbar," kata Suhartadi.

Ironis lagi, di tengah parahnya kerusakan hutan Kalbar, ternyata masih ada sedikitnya 62 izin perkebunan kelapa sawit di Kalbar yang diterbitkan di kawasan hutan seluas 430.810 hektar. Jika persoalan tumpang tindih izin ini tidak ditangani serius, bukan mustahil banjir yang terjadi semakin meluas akibat konversi hutan tersebut.

Fakta kerusakan DAS yang paling parah juga terjadi di Kalsel. Meski daerah ini hanya tinggal satu HPH yang beroperasi, kerusakan hutan terus berlangsung akibat pembukaan lahan untuk pertambangan batu bara dan bijih besi berlangsung besar-besaran sejak tahun 80-an. Tak heran bila kawasan Pegunungan Meratus yang menjadi daerah sumber aliran utama sungai-sungai di Kalsel dipenuhi lubang-lubang tambang yang menganga. Ironisnya, sebagian besar yang sudah tidak ditambang lagi ditinggalkan tanpa reklamasi.

Semestinya, kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalsel Rakhmadi Kurdi, DAS yang baik itu minimal 30 persen berupa hutan utuh pada satu wilayah kabupaten.

Akan tetapi, fakta di Kalsel, hutan gundul sangat luas, lubang bekas tambang yang tidak direklamasi juga terus bertambah. Dampaknya, erosi pun semakin besar, sungai-sungai akhirnya mendangkal dan bisa dipastikan ketika banjir air meluap ke mana-mana bahkan berarus deras. "Untuk mengatasi ini, kuncinya tidak hanya menghentikan pembabatan kayu dan pengendalian pembukaan tambang, yang lebih penting bagaimana semua pihak serius mengembalikan daerah-daerah yang mengalami kerusakan tersebut, termasuk lahan kritis menjadi hijau kembali. Jika tidak, bencana banjir semakin menjadi-jadi," katanya.

Budi, warga Katingan, Kalteng, menambahkan, pihaknya meminta kepada pemerintah lokal agar dalam melakukan reboisasi hutan yang gundul di pedalaman melibatkan masyarakat. "Jangan mereka diam saja dan hanya bisa mendirikan pos kesehatan dan kasih sedikit bantuan saat banjir tiba," ujarnya.
Sumber : Kompas Cetak

http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/20/07201186/hutan.dihabisi.banjir.makin.menjadi-jadi
Read more...

Pembalakan Akibatkan Kayu Indonesia Sulit Dipasarkan

Rabu, 10 September 2008 18:15 WIB
JAKARTA, RABU - Maraknya pembalakan liar di Indonesia mengakibatkan produk kayu asal Indonesia sulit diterima di pasar global. Untuk itu dibentuk suatu Sistim Verifikasi Legalitas K ayu (SVLK) yang akan memberikan keabsahan terhadap produk kayu asal Indonesia sehingga dapat diterima di pasar dunia.

Hal itu diungkap dalam Konsultasi Publik Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu : Bagaimana Menjamin Legal itas Produk Kayu dari Indonesia, di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (10/9).

Taufiq Alimi, Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) mengatakan bahwa produk kayu asal Indonesia sulit masuk ke negara-negara pengimpor kayu seperti Jepang, Amerika, Mexico, dan negara-negara Eropa. Mereka mengganggap kayu-kayu Indonesia dari penebangan liar. Biar bisa masuk produk kayu Indonesia diberi label dari negara lain seperti Vietnam, ujarnya.

Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang efisien, kredibel, dan adil yang dapat meyakinkan negara pengimpor bahwa Indonesia dapat menghasilkan produk kayu legal.

Nantinya akan jelas bahwa produk yang tidak berlabel SLVK asal Indonesia adalah barang haram dan itu akan menguntungkan pengusaha, ujarnya.

Ia mengatakan dengan penerapan standar legalitas diharapkan berbagai pungutan liar terhadap pengusaha bisa dihilangkan sehingga produksi bisa lebih efisien. Selain itu nantinya akan ada pengawasan secara terus menerus dari masyarakat sipil terhadap pelaksanaan verifikasi legalitas.

Senada dengan Taufiq, Direktur Jendral Bina Produksi Departemen Kehutanan, Dr. Ir. Hadi S. Pasaribu mengatakan dengan adanya lembaga yang memberikan legalitas dapat menghilangkan keraguan negara pengimpor terhadap produk kayu asal Indonesia. Setiap negara mempunya i standar aturan masing-masing dan mereka hanya menerima kayu yang legal atau berasal dari hutan yang dkelola secara lestari, ujarnya.

Hadi yang juga wakil ketua Pengarahan Nasional Pengembangan Kelembagaan SVLK menambahkan dengan adanya SVLK tersebut diharapkan akan mengurangi kerusakan hutan dari pembalakan liar. "Kita berharap lembaga ini sudah terbentuk akhir tahun ini sehingga tahun depan sudah bisa berjalan," tambahnya.

Sedangkan Robianto Koestomo dari Asosiasi Panel kayu Indonesia be rharap lembaga ini nantinya tidak menambah birokrasi dan biaya sehingga tidak mengganggu dunia usaha. "Intinya kita mengapresiasi lembaga ini," ujarnya.

Pembentukan standar legalitas kayu tersebut bermula dari MoU antara pemerintah Indonesia dan Inggris pada 9 Agustus 2002 untuk mengatasi pembalaka n liar dimana didalamnya ada rencana kegiatan mengembangkan standar legalitas kayu di Indonesia. Proses penyusunan berlangsung melalui banyak tahap dan melibatkan banyak pihak antara lai LEI, Telapak, AMAN, Depertemen Kehutanan, BRIK, dan APHI.
M15-08
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/10/18152066/pembalakan.akibatkan.kayu.indonesia.sulit.dipasarkan
Read more...

Pembalakan Liar Hutan di Indonesia Harus Diselesaikan Bersama

Selasa, 29 Juli 2008 20:18 WIB
JAKARTA, SELASA - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerjasama dengan Stimson Center, lembaga non profit yang berbasis di Washington, AS melakukan proses penjajakan berbagai solusi terhadap maraknya aksi pembalakan liar di Indonesia. Kedua pihak bersepakat, bahwa untuk memberantas pembalakan liar yang terjadi di Indonesia harus didukung oleh negara lain.

"Karena kasus seperti pembalakan liar atau juga kebakaran hutan tidak akan mungkin selesai tanpa didukung oleh negara lain. Sebab dalam kasus ini melibatkan banyak faktor, eksternal maupun internal," kata pakar lingkungan Universitas National Australia (ANU), Budi P. Resosudarmo Ph.D. di kantor CSIS, Jakarta, Selasa (29/7). Faktor dimaksud antara lain, perdagangan kayu ilegal selalu melibatkan transaksi lintas negara. Sebagian masyarakat juga tidak begitu paham akan fungsi hutan.

Masalah-masalah yang dihadapi kebanyakan negara di Asia dibahas dalam acara Natural Resources Workshop yang berlangsung di Jakarta, 28-29 Juli 2008. CSIS dan Stimson Centre mengundang perwakilan LSM di beberapa negara Asia antara lain dari Bahrain, Bangladesh, India, Kamboja, Pakistan, Srilangka, Thailand, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Ke depan, mereka akan terus menjalin komunikasi dan konsolidasi serta berupaya memberikan masukan kepada semua negara, khususnya yang berada di kawasan Asia untuk saling bantu-membantu dalam mencegah terjadinya pembalakan liar. Di samping itu, mereka juga akan memberikan masukan tentang pemeliharaan dan pengolahan SDA yang baik dan benar kepada negara di kawasan Asia.(C11-08)

http://www.kompas.com/read/xml/2008/07/29/20181877/pembalakan.liar.hutan.di.indonesia.harus.diselesaikan.bersama
Read more...

9.22.2008

Izin baru hutan tanaman disetop

Wednesday, 17 September 2008 Bisnis Indonesia,
Oleh Erwin Tambunan Bisnis Indonesia

JAKARTA -- Departemen Kehutanan akan menutup pintu permohonan Izin hutan tanaman Industri (HTI) terhitung mulai 30 Oktober 2008 untuk mengefektifkan izin yang sudah diberikan dan menyeimbangkan luas HTI dengan kebutuhan bahan baku Industri.

Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman Dephut Bejo Santosa mengatakan penutupan penerimaan permohonan izin HTI segera dilakukan per 30 Oktober.

Dia mengatakan penghentian penerimaan permohonan izin HTI dimaksudkan untuk mengefektifkan izin yang sudah diberikan.

Dephut, katanya, ingin agar izin HTI yang sudah diberikan benar-benar ditanami. "Kalau areal yang sudah diberikan ditelantarkan, izinnya akan kami cabut," kata Bejo, kemarin. Jumlah HTI yang baru dicabut Dephut mencapai 43 izin dengan luas areal 1,1 juta ha.

Menurut dia, hingga saat ini izin HTI yang sudah diberikan sembilan juta hektare (ha), sedangkan permohonan izin baru HTI yang masuk mencapai sekitar 4 juta ha dan target luas izin HTI hingga 2013 sebanyak 15 juta ha. "Itu artinya, dengan luas izin yang sudah ada saat ini, dibutuhkan 6 juta ha izin baru HTI," katanya.
Dia melanjutkan dengan luas HTI tersebut, kebutuhan bahan baku kayu dari HTI untuk industri kehutanan sudah mampu tercukupi. "Jika kebutuhan industri meningkat, penerimaan permohonan izin HTI kami buka lagi," ujar Bejo.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan M.S. Kaban mengatakan pemegang diberi waktu selama enam bulan untuk segera melakukan kegiatan setelah izin diberikan. "Jika dalam rentang waktu tersebut belum kegiatan, izin akan dicabut untuk diberikan ke peminat lain," tegas Kaban.

Hingga saat ini ada 97 perusahaan yang telah mengajukan permohonan penanaman di atas areal seluas 4 juta ha. Namun, dari jumlah itu, baru 21 perusahaan yang telah memperoleh persetujuan untuk mengelola areal seluas 1,3 juta ha, termasuk 270.000 ha kepada Medco.

Luas areal HTI yang dimohonkan, tambah Bedjo, tidak semua bisa dimanfaatkan sesuai dengan surat perizinan yang diberikan. Sebab dari areal yang ada mesti disisihkan untuk kepentingan sarana prasarana dan konservasi. "Ada aturan deliniasi makro-mikro yang mengharuskan kawasan lindung dipertahankan," ujarnya.
Penghentian sementara itu, katanya, tidak menutup kemungkinan dibuka kembali dengan mencabut izin usaha yang dinilai tidak serius mengembangkan penanamannya.

Izin dicabut
Dephut semakin memperketat izin yang diberikan. Pemegang IUPHHK hanya diberi waktu selama enam bulan untuk segera melakukan kegiatan. "Jika dalam rentang waktu tersebut belum kegiatan, izin akan dicabut untuk diberikan ke peminat lain," ujarnya.

Izin usaha yang dicabut, lanjut Bedjo, akan diberikan kepada pengusaha lain yang berminat. "Tujuannya agar mengefektifkan pengelolaan hutan tanaman untuk menunjang industri sektor kehutanan."

Hingga saat ini realisasi tanaman HTI seluas 3,8 juta ha. Namun, Bejo optimistis pada 2009 Dephut dapat merealisasikan tanaman seluas 1,2 juta ha untuk mencapai target penanaman 2009 seluas 5 juta ha. "Catatan realisasi tanam itu riil di lapangan berdasarkan laporan yang saya terima," ujarnya.

Berdasarkan data Dephut, hingga Juli 2008, izin definitive diberikan seluas 7,1 juta ha, izin sementara 0,6 juta ha dan izin pencadangan seluas 2,5 juta ha, sedangkan realisasi tanaman 3,8 juta ha dan target penanaman HTI hingga 2013 mencapai 15 juta ha. (erwin.tambunan@bisnis.co.id)
Read more...

Pertemuan Gubernur Se Sumatra 18 Sept 2008

Pada 18 September 2008 pukul 15.15 pertemuan Gubernur se-Sumatera diadakan di Istana Ballroom, Hotel Sari Pan Pacific dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Bapak Mardiyanto dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Bapak Rachmat Witoelar. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan 9 dari 10 propinsi di Sumatera yaitu Gubernur Jambi (H.Zulkifli Nurdin), Gubernur Sumatera Selatan (Prof. Dr. H.Mahyuddin NS), Gubernur Lampung (Drs Syamsurya Ryacudu), Gubernur Bengkulu (Agusrin M.Najamudin, ST), dan Gubernur Bangka Belitung (Ir. H. Eko Maulana Ali), sedangkan untuk Propinsi Sumatera Barat diwakili oleh Wagub (Prof. Dr.H.Marlis Rahman, M.Sc) , Propinsi NAD oleh Sekda (Husni Bahri Top), Propinsi Riau oleh Asisten 1 (Drs. Said Hasyim), dan Propinsi Sumatera Utara oleh Sekda (RE.Nainggolan). Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh
Bapak Emil Salim selaku Penasehat Presiden, Dirjen PHKA Dephut, Dirjen Tata Ruang Dept PU, Dirjen Bangda Depdagri, serta Direktur Eksekutif dari CI, WCS, dan FFI.

Pertemuan tersebut diakhiri dengan penandatanganan Kesepakatan Bersama Gubernur se-Sumatera Untuk Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera oleh para gubernur atau yang mewakili dengan disaksikan oleh empat menteri (Men-LH, Mendagri, MenPU dan Menhut). Isi kesepakatan tersebut mencakup kesepakatan untuk mendukung (1) Pengembangan Penataan Ruang Berbasis Ekosistem, (2) Restorasi daerah kritis, (3) Perlindungan kawasan bernilai tinggi bagi sistem kehidupan, keanekaragaman hayati,
dan perubahan iklim. Dalam pertemuan tersebut juga dibahas mengenai poin-poin penting yang perlu ditindaklanjuti :

• Mendagri meminta agar komitmen para Gubernur untuk penyelamatan ekosistem pulau Sumatera dapat direfleksikan dalam APBD 2009, sedianya anggaran untuk lingkungan harus ditingkatkan. Komitmen terhadap lingkungan tersebut juga harus terrefleksi dalam Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera yang akan dijalankan pada 2009. Penataan ruang yang baik semestinya juga menjadi alat untuk memitigasi bencana.

• MenLH menyampaikan pentingnya penyelamatan ekosistem Pulau Sumatera dalam kerangka penyelamatan iklim global yang menjadi komitemen Indonesia dalam Konferensi UNFCC di Bali Desember 2007. Kementrian LH telah mendapat mandat untuk memimpin koordinasi dalam penataan ruang berbasis ekosistem melalui UU 26/2007

• Bapak Emil Salim menekankan perlunya penugasan di tiap-tiap propinsi dan kabupaten agar komitmen tata ruang berbasis ekosistem ini bisa ditindaklanjuti ditingkat daerah. Gubernur dinilai mempunyai pandangan lintas kabupaten sehingga sinkronisasi bisa dilakukan dengan kewenangan para Bupati ditingkat kabupaten. Koordinasi dan pembagian tugas yang jelas juga harus dilakukan di tingkat nasional antara Departemen terkait (Dept PU, Menko Eku, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, Dirjen Bangda, Forum DAS, dan ForTRUST) untuk memfasilitasi dan membimbing Pemda membuat Rencana Bioregion Propinsi dan mengkoordinasikannya ditingkat daerah.

• Gubernur Jambi dan Wagub Sumbar menyarankan agar didalam draf Peraturan Presiden yang akan mengesahkan Penataan Ruang Pulau Sumatera dicantumkan wewenang para gubernur untuk memonitor pelaksanaan tata ruang tersebut, termasuk memberikan sanksi ketika peraturan tersebut dilanggar.

• Gubernur Jambi dan Wagub Sumbar menekankan perlunya sosialisasi komitmen dan kesepakatan ini ditingkat kabupaten mengingat Bupati terkadang memiliki agenda sendiri dalam era desentralisasi, misalnya terkait pengeluaran izin.

• Gubernur Bangka Belitung dan Gubernur Jambi menyarankan perlunya peraturan ditingkat Undang-Undang yang menjamin kewenangan Gubernur dalam pelaksanaan penataan ruang dalam kaitannya dengan desentralisasi daerah.

• Emil Salim menekankan perlunya kerja yang simultan di setiap level, termasuk perlunya beberapa penyempurnaan Undang-Undang, misalnya yang terkait dengan UU Pertambangan dan kehutanan.

• Sekda Aceh menyarankan agar prestasi daerah di tahun 2009 tidak lagi hanya dilihat dengan indikator PAD tetapi juga dengan keberhasilan daerah menjaga lingkungannya. Daerah yang mampu menjaga hutannya selayaknya mendapatkan reward, dan penambahan DAU/DAK. Selain itu, kebijakan-kebijakan yang ada harus diubah agar mengarah pada reward tersebut, sehingga mereka yang menjaga hutan tidak tergoda dengan tawaran-tawaran membuka hutan untuk meningkatkan PAD . Saran tersebut di sambut baik oleh Emil Salim dan MenLH.

• Sekda Aceh dan Wagub Sumbar menghimbau agar upaya menjaga hutan tidak lagi dilihat sebagai beban, tetapi sebagai kesempatan untuk mendapatkan kompensasi melalui skema karbon kredit atau sejenisnya. Perlu ada sosialisasi mengenai skema karbon kredit ini kepada daerah baik propinsi dan kabupaten. Saran tersebut di sambut baik oleh Emil Salim sekaligus memperkenalkan MenLH sebagai Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim yang terkait dengan saran tsb. Mengenai rencana penyampaian deklarasi penyelamatan ekosistem Sumatera dalam kongres IUCN di Barcelona 8-11 October mendatang, Depdagri akan mengkoordinir 5 orang yang akan mewakili pemerintah dalam event tersebut, tentunya setelah mendapat izin dari Mendagri dan Presiden.
Read more...

9.09.2008

Departemen Kehutanan Cabut Izin 43 Perusahaan

Perusahaan masih boleh mengajukan izin baru.

JAKARTA -- Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban membatalkan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu 43 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) seluas 1,14 juta hektare. Kebanyakan dari mereka, sejak diberi izin pencadangan pada 1990 hingga kini, tidak melengkapi analisis mengenai dampak lingkungan dan studi kelayakan kawasan.

Lahan yang dicabut izinnya itu terbentang dari wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. "Kami tidak ingin sumber daya hutan sia-sia karena ketidakseriusan pihak-pihak tertentu dalam mengelola hutan," kata Kaban, Jumat lalu.

Direktur Bina Pengembangan Hutan Tanaman Bejo Santosa menimpali, karena izinnya hanya pencadangan, pencabutannya dilakukan tanpa peringatan lebih dulu. Kawasan tersebut selanjutnya dikuasai negara dan dicadangkan kembali menjadi HTI.

"Kami akan menawarkan kepada sektor kehutanan lain yang berminat dan memiliki modal," ujarnya. Termasuk yang berhak menjadi investor adalah perusahaan yang sebelumnya menguasai lahan tersebut.

Bejo menjelaskan ketentuan perizinan HTI dan hak pengusahaan hutan (HPH) pada hutan alam pada 1990 terdiri atas tiga tahap: izin pencadangan, lalu surat keputusan sementara, dan terakhir izin HPH/HTI definitif.

Saat itu, dia menambahkan, perusahaan sudah boleh menanami lahannya meskipun baru mengantongi izin pencadangan. Karena itu, tak mengherankan jika sebagian besar lahan sudah ditanami jenis tanaman industri, seperti akasia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Nanang Rofandi Ahmad mendukung keputusan Departemen Kehutanan itu. Ia berkomentar pembatalan izin sudah sesuai dengan prosedur. "Itu bagus, memang harus dibatalkan kalau mereka tidak serius," kata Nanang saat dihubungi Tempo kemarin.

Menurut dia, pemerintah memang sedang menggalakkan percepatan pembangunan HTI dan hutan tanaman rakyat. Dalam percepatan itu, 50 persen area yang dimohonkan untuk HTI digunakan untuk hutan tanaman rakyat.

Bejo menambahkan, Departemen Kehutanan juga menerbitkan izin bagi 18 perusahaan pemohon izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu baru untuk membangun HTI seluas 1,1 juta hektare. Semua perusahaan itu sudah melewati tahap uji komitmen dengan pemerintah. "Lokasinya berbeda dengan area 43 perusahaan yang izinnya baru saja dicabut itu," katanya. ISMI WAHID

Mereka yang Izinnya Dibatalkan

Nama Lokasi Luas (hektare)
PT Perawang Lumber Industry Kampar, Riau 32.720
PT Surya Dumai Agrindo Bengkalis, Riau 22.150
PT Surya Dumai Industri Dumai, Riau 18.783
PT Titian Tata Pelita Bengkalis, Riau 1.450
Koperasi Perjuangan Tani Sejahtera Sumatera Utara 74.890
PT Simalungun Karet Lestari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara 4.042
Koperasi Asa Tuah Anak Negeri Siak, Riau 3.042
PT Dexter Tomber Perkasa Indonesia (KTH Wana Jaya) Riau 29.460
PT Insansastra Abadi Kampar, Riau 12.685
Koperasi Wana Karya Lestari Sumatera Selatan 24.750
PT Sama Jaya Nugraha Sumatera Selatan 8.950
PT Sumber Hutan Lestari Sumatera Selatan 28.390
PT Tunas Bentala Sumatera Selatan 9.180
PT Budi Cahaya Lestari Way Kanan, Lampung 12.000
PT Bhumi Artha Perkasa Lampung Selatan, Lampung 1.500
PT Bumi Sekar Aji Lampung Utara, Lampung 12.000
PT Indadi Setia Pontianak, Kalimantan Barat 23.560
Koperasi Pondok Pesantren Noor Khair Kalimantan Tengah 73.160
PT Kahayan Lumber Kalimantan Tengah 10.000
PT Mentarimulti Sarana Abadi Kalimantan Tengah 47.280
PT Mentaya Kalang Kalimantan Tengah 10.000
PT Rimba Abadi Intijaya Kalimantan Tengah 46.500
PT Sumber Mitra Jaya Kalimantan Tengah 49.800
PT Nava Dwi Hutani Kalimantan Selatan 24.440
PT Rezeki Alam Semesta Kalimantan Selatan 10.250
Koperasi Sinar Meranti Kalimantan Timur 70.000
PT Dharma Agrotama Nusantara Kutai, Kalimantan Timur 10.000
PT Dharma Trieka Sejahtera Kutai, Kalimantan Timur 38.990
PT Karya Lestari Jaya Berau, Kalimantan Timur 8.000
PT Marimun Timber Kutai, Kalimantan Timur 8.000
PT Oceanis Timber Product Kutai, Kalimantan Timur 15.700
PT Fendi Hutani Lestari Nusa Tenggara Barat 48.000
PT Kebun Sari Sulawesi Tengah 20.560
PT Timur Baverlindo Sulawesi Tengah 30.854
PT Guhara Cellulosa Sulawesi Tenggara 20.560
PT Hoga Prima Perkasa Sulawesi Tenggara 5.500
PT Youeai Koki Kendis Sulawesi Tenggara 6.600
PT Orion Marsela Best Indonesia Maluku 14.875
PT Darnmore Bayu Permai Industries Merauke, Papua 45.900
PT Kalimantan Hamparan Sawit Merauke, Papua 49.500
PT Mitra Jaya Agro Palm Merauke, Papua 49.500
PT Sumber Mitra Jaya Merauke, Papua 49.500
PT Sungai Rangit Merauke, Papua 49.500

Sumber: Departemen Kehutanan

Read more...

9.05.2008

Menhut: Haram Menambang di Taman Nasional

JAKARTA – Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban mengakui bahwa pihaknya membolehkan dilakukannya aktifitas penambangan di hutan lindung dan hutan produksi. Namun penambangan tidak boleh dilakukan di taman nasional.

“Kalau di hutan lindung dan hutan produksi, sesuai aturan yang ada boleh dilakukan penambangan. Tapi kalau di taman nasional, itu haram hukumnya,” tegas Menhut dalam raker dengan Komisi II DPR, di Gedung DPR/MPR RI, kawasan Senayan, Jakarta.

Menhut menambahkan, bila pertambangan dilakukan di hutan lindung, maka itu harus dilakukan secara tertutup. Tapi kalau dilakukan di hutan produksi, maka boleh dilakukan secara terbuka. “Aturannya begitu. Kita harapkan ini bisa jadi aturan main sehingga hutan bisa dijaga,” katanya.

Dalam raker tersebut, Menhut sempat dicecar berbagai pertanyaan terkait banyaknya masyarakat yang berkasus dengan soal kehutanan. Misalnya di Trenggalek, Jawa Timur, masyarakat mengklaim bahwa tanah di kawasan hutan itu adalah hak mereka, sementara Dephut mengklaim itu milik negara. Menhut diminta memberkan solusi terbaik bagi masyarakat. (eris)

Read more...

9.04.2008

Abad 21 Sungai Es Hilang, Jeda Tebang Perlu Disegerakan

Selasa, 2 September 2008 17:09
Pemanasan global sebagai hasil dari pembukaan kawasan tutupan hutan dan pembakaran hutan dan lahan berdampak kepada mencairnya gunung es. Untuk itu jeda tebang dan stop karhutla perlu disegerakan.

Riauterkini-PEKANBARU-Seperti yang dilansir AFP tentang Laporan Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Programme/UNEP) menyebutkan, meskipun secara alamiah penyusutan sungai es memang terjadi, namun tren yang terjadi sekarang berbeda.


Laporan tersebut juga mencatat bahwa trend penyusutan sungai es yang terjadi sekarang bersifat mendunia dan cepat, bahkan mengalami percepatan. Ini akan mengakibatkan banyak pegunungan di dunia kehilangan sungai es pada akhir abad 21.

Menangapi hal itu, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, Jhonsi Setuawan Mundung kepada Riauterkini selasa (2/9) mengatakan bahwa penyebab utama mencairnya gunung es dan gletser di kutub utara dan selatan disebabkan oleh terjadinya pemanasan gloibal. Selain tinginya industrialisasi dan pembakaran hutan dan lahan yang membolongi ozone, pemanasan global juga dipicu oleh pembalakan liar dan pembukaan kawasan tutupan hutan secara komprehensive dan tidak berwawasan lingkungan.

"Indonesia menjadi sorotan dunia sebagai salah satu negara pemicu pemanasan global yang menjadi penyebab utama pencairan gunung es dan gletser. Untuk itu sebelum terlambat, konsep jeda tebang dan stop karhutla perlu disegerakan. Terutama di kawasan lindung gambut," terangnya.

Menurutnya, pekan lalu dirinya sempat melakukan investigasi di kawasan HPH dan HTI PT CSS dan BBSI di perbatasan Riau-Jambi. Di daerah Ponti Anai, tidak jauh dari Simpang Lubuk Kandis terlihat masih ada kawasan yang terbakar dan bekas-bekas kebakaran hutan dan lahan.

Untuk itu, menurutnya pemerintah perlu secara tegas melaksanakan perlindungan terhadap hutan Riau yang semakin lama semakin sedikit. Untuk itu, perlu ada aksi terhadap penerapan aturan baku yang bisa menjadi dasar pencegahan terjadinya karhutla dan pembukaan kawasan tutupan hutan Riau. terutama kawasan lindung gambut. ***(H-we)
Read more...

Terkait Karhutla di Riau, BKSDA Tuding Pemprov Hanya Rapat Saja

Kamis, 4 September 2008 11:37
Tentang karhutla di Riau, BKSDA Riau menuding Pemprov hanya bisa rapat ke rapat saja. Namun itu dibantah Pemprov. Karena pelaksanaan penanganan karhutla di sesuaikan fungsi dan tugas masing-masing.

Riauterkini-PEKANBARU-Dalam presentasenya pada acara Kunjungan Jurnalis tentang Stop Asap 2008 di Riau di Ibis (4/9) Kepala BKSDA Riau, Rachman Sidik menuding dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan, pihak pemprov Riau hanya melakukan rapat dan rapat saja tanpa ada tindak yang nyata. Padahal untuk menangani masalah karhutla perlu tindak nyata. Paling tidak pemprov bisa mendistribusikan dana untuk pelaksanaan penanganan karhutla.


"Seharusnya dalam penanganan karhutla, Pemprov Riau menyediakan anggaran untuk Pusdalkarhutla. Karena dengan adanya dana, maka semua kegiatan pasti akan jalan," katanya.

Menanggapi hal itu, Kasubdin Pengendalian Kerusakan Lingkungan Bapedalda Riau, Arbaini mengatakan bahwa dalam penanganan masalah karhutla, Pemprov Riau memberikan penanganan secara serius. Baik melalui Pusdalkarhutla maupun Satpol PP.

"Saya pikir, setiap bagian dari pelaksanaan penanganan karhutla dapat menjalankan fungsinya masing-masing. Baik fungsinya sebagai admisnistrasi maupun eksekutor di lapangan," katanya.

Tentang masalah anggaran untuk pusdalkarhutla, Arbaini mengaku dana tersebut sudah disiapkan oleh Pemprov Riau yang berada di pos Dinas Kehutanan. Menurutnya sesuai dengan UU yang berlaku, dana pemprov Riau tidak bisa dianggarkan untuk instansi vertikal. Baik untuk Manggala Agni BKSDA maupun Kepolisian. ***(H-we)

Read more...

Kabupaten Pelalawan Pemegang Rekor Kebakaran Hutan dan Lahan

Kamis, 4 September 2008 11:02
Kabupaten Pelalawan menjadi 'pamuncak' untuk masalah kebakaran hutan dan alam di Riau. Namun tidak tertutup kemungkinan di kabupaten lain terdapat banyak titik api. Untuk menanganinya, KSDA membentuk Brigdalkarhut dan Masyarakat Peduli Api (MPA).

Riauterkini-PEKANBARU-Kasubdin Pengendalian Kerusakan Lingkungan Bapedalda Riau, Arbaini dalam kegiatan kunjungan jurnalistik tentang stop asap 2008 di Riau di Ibis Hotel Kamis (4/9) mengungkapkan bahwa untuk tingkat kerawanan karhutla di Riau, Kabupaten/Pelalawan menjadi 'pamuncaknya'. Bapedalda Riau di beberapa tahun terakhir mencatat temuan titik api di kabupaten Pelalawan tertinggi dibandingkan titik api di kabupaten lain di Riau.


Katanya, selain kabupaten Pelalawan, kabupaten lainnya juga termasuk menjadi daerah rawan karhutla. Diantaranya adalah Rohil, Inhu dan Inhil. Daerah lain menurut Arbaini juga ditemukan banyak titik api kendati tidak terlalu banyak.

"Kita mendapatkan data dari National Oceanic Atmosphere Administration (NOAA) tentang titik api. Lalu kita konverskan dengan data penggunaan kawasan lahan. Data menyebutkan bahwa kawasan terbakar tertinggi adalah dari areal penggunaan lain (APL). Kemudian kawasan kebun, lalu kawasan HTI dan eks HPH," katanya.

Menurut Arbaini, kebakaran yang paling sulit dilakukan penanganan adalah kebakaran hutan dan alam di kawasan gambut. Karena karakteristik lahan gambut yang unik membakar lahan dari lapisan bawah gambut. kendati di atas tidak nampak, tetapi di lapisan bawah gambut sudah terbakar luas.

Data Direktorat PKH Departemen Kehutanan RI mencatat bahwa sejak tahun 2000 hingga 2008, tahun 2005 dan 2006, hotspot yang terpantau paling tinggi. Tahun 2005 hotspot tercatat sebanyak 22.630 titik api dan tahun 2008 tercatat 11.526 titik api. Sementara Hotspot di Riau hingga 23 Juni 2008 tercatat 1.488 titik api.

Untuk melakukan penanganan karhutla, Kepala BKSDA Riau mengatakan bahwa akan memberdayakan anggota Manggala Agninya sebanyak 240 personil. Anggota Manggala Agni itu dibagi per kelompok sebanyal 15 orang.

"Ada 16 kelompok Brigdalkarhut dibawah Koordinasi BKSDA Riau. Kelompok-kelompok tersebut dioperasionalkan di kawasan Pekanbaru, Siak Dumai dan Rengat," katanya.

Selain itu, pihaknya juga melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang upaya minimalisasi pembukaan lahan dengan cara membakar. Terutama di kawasan lindung gambutt. "Saya yakin, kebakaran hutan yang terjadi tidak sendirinya. Pasti ada yang 'membakar'. Untuk itu perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas," katanya.

Bukan hanya itu, tambahnya, BKSDA juga mencoba untuk melakukan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat (Masyarakat Peduli Api/MPA) di sekitar kawasan hutan agar dapat melakukan tindakan antisipatif dan persuasif.***(H-we)

Read more...

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi