1.29.2008

Investor Terkendala Hak Ulayat dan Birokrasi

JAYAPURA-Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusahan Muda Indonesia (HIPMI) Papua, Andi Rukman Nurdin, mengatakan bahwa apabila ada satu investasi besar masuk Papua, maka dampaknya akan menjadi multi efek kepada usaha-usaha lainnya yang dapat memajukan perekonomian menuju Papua Baru.

"Mendatangkan investor ke suatu daerah tidak mudah, namun apabila ada 1 investor mulai berkarya di suatu daerah, maka hal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan investor lainnya masuk ke daerah tersebut,"katanya kepada wartawan sebelum membuka rapat pleno BPD HIPMI Papua, di Swiss belHotel Papua, Ahad (27/1), malam.

Menurutnya, 3 tahun yang lalu, BPD HIPMI Papua mengajak 14 investor ke Papua untuk ikut memberikan sumbangsih bagi pembangunan perekonomiannya Papua, namun baru sekitar 6 bulan mereka yang diantaranya terdapat Group Samporna dan Bentol Group tidak melanjutkan investasinya di Papua.

Dikatakannya, kendala yang dihadapi para investor pada saat itu sehingga tidak meneruskan upaya investasi di Papua, tidak jauh berbeda dengan beberapa investor yang akan masuk ke Papua saat ini. "Antara investor dahulu dengan sekarang mempunyai kendala sama,"jelasnya.

Lanjut dia, beberapa kendala investor masuk ke Papua, yang paling sulit dilalui adalah birokrasi dan masalah hak ulayat. Namun begitu, mengenai hak ulayat, saat ini sedang disusun perdasi dan perdasusnya, sehingga diharapkan dalam waktu dekat ini sudah dapat disahkan. Dengan demikian dapat memberikan kejelasan dan batasan mana yang harus dilakukan investor dalam berinvestasi di Papua.

Menyoal rapat pleno BDP HIPMI Papua, bahwa hal tersebut dilakukan untuk mengakhiri masa jabatannya setelah 3 tahun memimpin BDP HIPMI Papua, dengan memberikan kesempatan kepada kader-kader BPD HIPMI Papua lainnya meneruskan estafet dalam memajukan usaha sektor riil di Papua, sehingga kedepannya perekonomian di Papua tidak bergantung kepada proyek-proyek pemerintah.

Diungkapkannya, sejak kiprahnya di Papua sejak 1983 BPD HIPMI Papua sampai 2008 ini telah memiliki 20 cabang Se Provinsi Papua dan sampai 2008 telah melakukan pergantian kepengurusan sampai 8 kali, dimana 1 priode jabatan kepengurusan berlangsung selama 3 tahun. "Sebenarnya kepengurusa saya berakhir 24 November 2007, namun diberi tenggang waktu sampai 3 bulan ke depan sampai terbentuknya pengurus baru,"terangnya.

Untuk itu, sebagaimana dilakukan pemimpin-pemimpin BPD HIPMI Papua sebelumnya, maka para calon yang secara lisan telah ditetapkan, yaitu Max R. Krey, Syahril Hasan, Lutfi Arisandi dan bahlil LHD, harus melakukan road show ke daerah-daerah sebelum pemilihan dimulai, karena nantinya yang akan menentukan siapa yang akan menentukan Ketua Umum BPD HIPMI Papua adalah mereka-mereka yang ada di daerah.

Namun begitu, diharapkan Andi Rukman Nurdin, siapapun yang akan terpilih menjadi Ketua Umum BPD HIPMI Papua harus didukung, dan khusus bagi yang bersangkutan untuk tetap menjalin kerjasama dengan lainnya dalam membangun Papua melalui wadah BPD HIPMI Papua yang bekerjasama dengan elemen-elemen lainnya baik yang ada di Papua maupun di luar daerah.(api)
Read more...

1.22.2008

LEI: Imbauan Jikalahari Atas Sertifikasi PT RAPP Masukan Positif

Bogor, 18/1 (ANTARA) - Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) menilai imbauan koalisi LSM Riau untuk menimbang ulang proses sertifikasi PT RAPP Sektor Pelalawan seluas 75.640 hektar sebagai masukan positif.

"Seruan Koalisi LSM Riau yang disampaikan 15 Januari 2008 itu merupakan hal yang positif bagi terlaksananya proses sertifikasi yang transparan dan kredibel di Indonesia," kata Ketua Majelis Perwalian Anggota (MPA) LEI, Dr Ir Hariadi Kartodihardjo.Pernyataan itu disampaikan Hariadi di Bogor, Jumat, sebagai tanggapan resmi atas siaran pers koalisi LSM Riau yang tergabung dalam Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau), yang dikeluarkan pada 15 Januari 2007 di Riau.

LEI merupakan lembaga independen akreditasi sertifikasi yang mengembangkan sistem pengelolaan hutan tanaman lestari (PHTL) di Indonesia

Jikalahari terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, LSM Riau Mandiri, LSM Mitra Insani, Kelompok Advokasi Riau (KAR), LSM Kabut Riau, PPR (Partai Persyerikatan Rakyat) dan Perkumpulan Elang.

Susanto Kurniawan, Koordinator Jikalahari dalam pernyataan itu mengimbau LEI mempertimbangkan ulang proses sertifikasi PT RAPP Sektor Pelalawan (SK Menhut No. 356/KPTS-II/ 1997) seluas 75.640 hektar karena aspek legal kepastian lahan yang masih belum jelas.Areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT RAPP Sektor Pelalawan seluas 75.640 hektar telah disahkan secara definitif oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 356/Menhut-II/ 2004. Jika sebelumnya luas areal HTI PT RAPP hanya 159.500 hektar, dengan Surat Keputusan ini menetapkan HTI PT RAPP adalah seluas 235.140 hektar.Koalisi LSM ini menilai bahwa kondisi itu sangat tidak memungkinkan untuk tetap melaksanakan proses sertifikasi, dan jika proses sertifikasi ekolabel tetap dilaksanakan melalui PT Mutu Agung Lestari (MAL), sama saja artinya membenarkan perbuatan ilegal yang dilakukan PT RAPP sektor Pelalawan sehingga kredibilitas LEI akan dipertanyakan.

Berdasarkan hal ini, maka Koalisi LSM Riau menghimbau agar LEI menghentikan proses serifikasi PT RAPP sektor Pelalawan terlebih dahulu untuk memastikan permasalahan perizinan dan status lahan dari area PT RAPP sektor Pelalawan (SK 356/KPTS-II/ 2004).

Menurut Hariadi, adanya proses sertifikasi justru membuka ruang publik untuk memantau kinerja pengelolaan hutan, dan seruan LSM Riau itu merupakan masukan bagi lembaga yang melakukan sertifikasi terhadap PT RAPP.Ia menjelaskan, PT RAPP sektor Pelalawan kini sedang menjalani penilaian tahap awal sertifikasi bertahap PTHL LEI yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi oleh LEI yaitu PT Mutu Agung Lestari (MAL).Pada tahap ini Lembaga Sertifikasi melakukan survei awal dan konsultasi publik untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi PT RAPP saat ini.Diakuinya bahwa persoalan PT RAPP sektor Pelalawan (SK Menhut No. 356/KPTS-II/ 2004) disebabkan juga antara lain ketidakpastian hukum yang berlaku.

"Sama dengan sistem sertifikasi FSC (Forest Stewardship Council) Prinsip No. 1, sistem LEI mengacu pada peraturan dan hukum yang berlaku namun di saat peraturan dan hukum yang berlaku tumpang tindih, sistem LEI dapat membuka ruang kesepakatan antara para pihak yang terkait untuk mewujudkan kepastian hukum, sehingga tidak cenderung memihak Pemda ataupun Departemen Kehutanan," kata pakar kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

FSC didirikan oleh beragam perwakilan organisasi seperti organisasi lingkungan, kalangan pengusaha yang berkecimpung dalam perdagangan kayu, ahli profesional kehutanan, perhimpunan masyarakat tempatan dan lembaga-lembaga sertifikasi dari 25 negara pada tahun 1993.

FSC berperan sebagai lembaga akreditasi yang simbolnya juga digunakan sebagai label untuk menunjukkan bahwa suatu produk hasil hutan berasal dari areal yang telah dikelola dengan baik (well managed forest).

Sama halnya dengan FSC, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang pada tahun 1998 resmi berdiri sebagai yayasan, juga berperan sebagai lembaga akreditasi mulai tahun 2000.

Setelah sistem sertifikasi dikembangkan, langkah yang dilakukan LEI untuk memperoleh pengakuan di pasar internasional, adalah mengembangkan dan mempertahankan hubungan diantaranya dengan FSC, asosiasi-asosiasi perdagangan dan industri di negara-negara pengimpor dan Kelompok Pembeli Produk Kayu Bersertifikasi (Buyers Group of Certified Wood Products) yang disponsori oleh WWF di berbagai negara.

Usaha untuk memperoleh pengakuan internasional, terutama dalam kaitannya dengan FSC, telah menghasilkan penandatanganan sebuah Memorandum of Understanding antara LEI dan FSC pada tanggal 3 September 1999, di mana FSC menyetujui para lembaga sertifikasi yang diakreditasi oleh FSC yang beroperasi di Indonesia akan menggunakan standard sertifikasi hutan yang telah dikembangkan oleh LEI.

Periksa keabsahan izin
Sementara itu, Direktur Eksekutif LEI Taufiq Alimi melihat ada dua hal penting yang ingin disampaikan oleh Koalisi LSM Riau dan perlu mendapat perhatian serius oleh Lembaga Sertifikasi, yaitu adanya konversi terhadap lahan yang seharusnya dilindungi dan kegiatan konversi lahan walaupun izin definitifnya belum dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan.

"Kami menyambut baik imbauan Jikalahari itu sebagai masukan. LEI sendiri berkeyakinan bahwa konversi lahan hutan tidak boleh dilakukan di kawasan yang seharusnya dilindungi, dan sekaligus telah meminta PT MAL agar memeriksa dengan seksama keberadaan dan keabsahan izin-izin yang menjadi landasan operasi PT RAPP," katanya.Dijelaskannya, suatu kawasan harus dilindungi antara lain karena berada pada ketinggian di atas 3000 meter (mdpl), memiliki kelerengan lebih dari 40 derajat, menjadi habitat satwa endemik, menjadi warisan budaya (misalnya menjadi kawasan hunian adat, atau dinyatakan sakral oleh komunitas adat), merupakan daerah aliran sungai, memiliki gambut dalam dan karena hal-hal lain yang karena kondisinya menjadi kawasan yang harus dilindungi.

Ia mengajak semua pihak yang berkepentingan terhadap pelaksanaan pemanfaatan yang adil dan lestari di Indonesia untuk memanfaatkan sertifikasi LEI.

"Bila ada pihak yang merasa bahwa unit manajemen sesungguhnya tidak pantas untuk mendapat sertifikat ekolabel LEI, maka LEI membuka ruang yang seluas-luasnya melalui tim yang diturunkan lembaga sertifikasi dan melalui observer LEI yang juga turun ke lapangan pada setiap proses sertifikasi. LEI itu milik semua konstituen, jadi semua pihak bisa dan harus memberikan masukan pada setiap proses sertifikasi, " katanya.

Sedangkan Manajer Akreditasi dan Sertifikasi LEI, Daru Asycarya menambahkan, dalam sertifikasi bertahap, suatu unit managemen kehutanan dinilai dalam beberapa tahapan penilaian.

"Sertifikat ekolabel hanya akan diberikan bila unit manajemen telah melewati seluruh tahapan penilaian, dan dinyatakan lulus pada penilaian akhir sertifikasi, " katanya.

Menurut dia, sebelum pernyataan lulus diberikan, hasil masing-masing tahap penilaian, kendati bisa dimanfaatkan dalam komunikasi bisnis, tidak membuktikan bahwa unit manajemen yang bersangkutan telah mengelola hutannya secara adil dan lestari.

"Untuk memastikan proses sertifikasi bertahap telah dilaksanakan dengan baik, kami telah mengirim observer untuk memantau jalannya proses sertifikasi, " katanya.
(T.A035 (T.A035/A/S022/ C/S022) 18-01-2008 10:54:52 NNNNCopyright © 2007 LKBN ANTARA
Read more...

Siaran Pers NGO Riau

JIKALAHARI (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, LSM Riau Mandiri, LSM Mitra Insani, Kelompok Advokasi Riau (KAR), LSM Kabut Riau, PPR (Partai Persyerikatan Rakyat) dan Perkumpulan Elang himbau lembaga sertifikasi LEI untuk membatalkan pelaksanaan proses sertifikasi bertahap pengelolaan hutan tanaman lestari (PHTL) PT RAPP sektor Pelalawan (SK Menhut No. 356/KPTS-II/2004).

Pekanbaru, Koalisi LSM Riau menghimbau lembaga Sertifikasi LEI untuk mempertimbangkan ulang proses sertifikasi PT RAPP Sektor Pelalawan (SK Menhut No. 356/KPTS-II/1997) seluas 75.640 hectare dikarenakan aspek legal kepastian lahan yang masih belum jelas. Areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. RAPP Sektor Pelalawan seluas 75.640 hektar telah disahkan secara defenitif oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 356/Menhut-II/2004 Jika sebelumnya luas areal HTI PT. RAPP hanya 159.500 hektar, dengan Surat Keputusan ini menetapkan HTI PT. RAPP adalah seluas ± 235.140 (dua ratus tiga puluh lima ribu seratus empat puluh) hektar. Berdasarkan Citra Landsat 2007, area HTI PT. RAPP Sektor Pelalawan telah dikonversi hingga 65.218 ha atau sekitar 80% dari total areal. Dimana konversi dimulai tahun 2000 sekitar 6.458 ha, meningkat tajam tahun 2001-2002 seluas 54,218 ha, tahun 2003-2007 seluas 3.924 hectare. ”Izin yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan pada 2004, sementara berdasarkan fakta temuan dilapangan bahwa konversi telah dilaksanakan jauh sebelum izin diberikan” Susanto Kurniawan Koordinator Jikalahari.

Jonni S Mundung Direktur Walhi Riau menyebutkan ” Konsesi PT RAPP di sektor Pelalawan hampir keseluruhan atau 38.877 hectare arealnya berada pada kawasan lindung berdasarkan RTRWP Riau 1994” selain itu tambah Raflis Yayasan Kabut Riau ”kondisi pada keseluruhan areal HTI PT RAPP ini adalah gambut yang kedalamannya lebih dari 3 meter dan berdasarkan Kepres 32/1990 harus dilindungi”.

Menurut Dokumen Teknis LEI-04 Nilai (Skala Intensitas) Indikator-Indikator PHTL , Kepastian Lahan sebagai areal hutan tanaman adalah kesesuaian status areal unit manajemen terhadap tata guna lahan (Tata Guna Hutan/TGH, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi/RTRWP. Kondisi yang terjadi adalah HTI PT. RAPP Sektor Pelalawan berada pada Kawasan Lindung berdasarkan RTRWP Riau 1994, padahal menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tentang Kriteria Dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi, Tanggal 31 Januari 2001, Kriteria dan Standar Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi berdasarkan Tata Guna Hutan dan atau RTRWP.

Selanjutnya dalam Dokumen Teknis LEI-04 Nilai (Skala Intensitas) Indikator-Indikator PHTL disebutkan , Kepastian Lahan sebagai areal hutan tanaman adalah Adanya jaminan kepastian areal secara yuridis serta memperkecil konflik penggunaan areal di masa-masa mendatang, maka setiap bentuk pengubahan fungsi hutan baik yang disebabkan oleh adanya perubahan tata guna lahan harus segera dikukuhkan/ditetapkan kembali. Pal batas merupakan salah satu bentuk rambu yang memberikan pesan bahwa areal yang berada di dalamnya telah dibebani oleh hak dan fungsi tertentu. Koalisi LSM Riau ini bersepakat melihat Kondisi yang terjadi adalah HTI PT. RAPP Sektor Pelalawan, secara defenitif ditetapkan sebagai areal HTI pada tanggal 1 Oktober 2004 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 356/Menhut-II/2004 dan PT RAPP sektor Pelalawan telah melakukan konversi-penebangan hutan alam pada areal HTI sebelum memiliki izin defenitif.

Koalisi LSM ini menilai bahwa kondisi ini sangat tidak mungkin untuk tetap melaksanakan proses sertifikasi kepada PT RAPP sektor Pelalawan dan jika proses sertifikasi ekolabel tetap dilaksanakan oleh lembaga ekolabel indonesia melalui PT Mutu Agung Lestari (MAL) sama saja artinya memberikan legalitas terhadap PT RAPP sektor Pelalawan membenarkan perbuatan ilegal yang mereka lakukan. Dan lebih parah lagi bahwa kredibilitas Lembaga Ekolabel Indonesia akan dipertanyakan. Berdasarkan hal ini, maka Koalisi LSM Riau menghimbau agar lembaga ekolabel menghentikan proses serifikasi PT RAPP sektor Pelalawan terlebih dahulu untuk memastikan permasalahan perizinan dan status lahan dari area PT RAPP sektor Pelalawan (SK 356/KPTS-II/2004).
Read more...

1.15.2008

Diskusi Pulp dan Kertas di Pekanbaru


Pada hari selasa tanggal 3 januari 2008 Yayasan Kabut Riau mengadakan diskusi terkait perusahaan pulp dan kertas yang ada di provinsi riau yang diadakan di Kantor KBH Riau dan dihadiri oleh 3 jaringan ngo (Jikalahari , Walhi Riau dan Forum Komunikasi Daerah LEI), serta 3 organisasi massa (Sentra Gerakan Rakyat , Serikat Tani Riau, Aliansi Masyarakat Adat Riau) serta beberapa ngo yang berkonsentrasi pada issue pulp dan kertas diantaranya: Yayasan Kabut Riau, Yayasan Mitra Insani, Yayasan Alam Sumatra, Perkumpulan Sialang, Kelompok Advokasi Riau, KPA EMC2, Perkumpulan hakiki, Scale Up, KBH Riau, Scale Up, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo, LBH Pekanbaru dan Kudapan.

Hasil diskusi
Persoalan- persoalan yang mengemuka di riau terhadap industri pulp dan kertas diantaranya adalah:

Penegakan hukum
Sepanjang tahun 2007 seperti diketahui bahwa pihak kepolisian dalam hal ini khususnya POLDA Riau sedang memproses beberapa indikasi keterlibatan perusahaaan pulp kertas di Riau dalam kasus illegal logging yang dilakukan umumnya oleh anak perusahaan sebagai penyuplai bahan baku bagi pabrik. Juga diketahui bahwa penanganan proses hukum dalam kasus ini sempat menimbulkan perbedaan persepsi antar pihak yang berwenang seperti antara kepolisian dengan departemen kehutanan, juga di tingkat DPR RI juga terdapat beda pandangan antar beberapa komisi yang menangani bidang ini. Di sela berbagai perbedaan tersebut perusahaan juga memainkan perannya dengan ancaman akan mem-PHK ribuan tenaga kerjanya. Hingga saat ini proses hukum masih berlangsung diperlukan dukungan dari NGO dan pihak lainnya terhadap upaya yang sudah dilakukan kepolisian dalam penegakan hukum kasus-kasus tersebut.

Perampasan tanah

Saat ini Serikat Tani Riau (STR) sedang melakuakan aksi re-claiming terhadap lahan yang dikelola oleh PT Arara Abadi (APP Group) di wilayah Mandau Bengkalis. Aksi ini dilakukan karena perusahan telah merampas lahan masyarakat untuk ditanami akasia dan berakibat saat ini masyarakat di daerah tersebut kehilangan lahan sabagai sumber pencaharian sehari-hari yang selama ini sudah turun temurun mereka lakukan. Aksi penolakan, protes, dan unjuk rasa terhadap permasalahan ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2007 namun hingga saat ini belum ada kejelasaan terhadap penyelesaian permasalahan sehingga masyarakat memilih melakukan aksi re-claiming terhadap lahan di areal perusahaan yang dianggap milik mereka. Aksi dilakukan dengan melalukan pematokan dan mencabuti tanaman akasia yang sudah ditanami oleh perusahaaan. Sampai sekarang belum ada satupun kasus yang dimenangkan oleh STR namun aksi ini cukup memberi “pukulan” bagi perusahaan.

·Sertifikasi HTI
Setelah pada melakukan sertifikasi untuk areal HTI di sektor Tesso, kembali RAPP akan melakukan sertifikasi LEI terhadap lahan HTInya, kali ini untuk sektor Pelalawan. RAPP akan menguji segala sistem sertifikasi baik dalam dan luar negeri untuk membuktikan keberhasilannya dalam pengelolaan hutan tanaman. Selain RAPP, PT Arara Abadi dikabarkan juga akan melakukan sertifikasi untuk areal HTInya yang ada di Wilayah Bukit Batu.

·Korupsi
Merupakan salah satu dari tiga mainstream kejahatan dalam kasus yang melibatkan perusahaan pengelola Hutan Tanaman Industri di Riau selain dari Illegal logging dan perampasan tanah. Dari segala permasalahan terkait industri pulp dan kertas di Riau yang sangat lamban sekali proses penyelesaiannya apalagi jika permasalahan yang muncul berhadapan dengan masyarakat lokal sekitar HTI, diindikasikan banyak terjadi korupsi dan kolusi antara penguasa dengan pengusaha sehingga dalam segala permasalahan sealu yang menjadi korban adalah masyarakat kecil

·Tenaga kerja
Ditemukan banyak terjadi tindakan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh perusahaan terhadap karyawannya namun hal ini tidak pernah terdengar oleh publik dikarenakan para karyawan tersebut tidak melakukan perlwanan terhadap apa yang diterimanya. Saat ini ada satu kasus perlawanan mantan karyawan yang di PHK sepihak oleh anak perusahaan PT RAPP dan kasusnya saat ini sudah pada tingkat kasasi di Mahakamah Agung RI.

·Penggelapan pajak
Ada temuan indikasi penggelapan pajak dalam setiap kontrak kerja PT RAPP dengan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan di perusahaan tersebut. Jika hal ini terbukti benar dan sudah berlangsung lama maka dapat diperkirakan kehilangan pendapatan negara dari pajak harus dibayarkan oleh perusahaaan kepada negara.

·Suplai bahan baku dan ekspansi
Ada informasi bahwa saat ini PT Arara Abadi menerima pasokan bahan baku dari kalimantan dan untuk ekspansi perusahaaan saat ini sedang ada penerimaan karyawan oleh kedua grup industri pulp kertas (APP dan APRIL) untuk penempatan di kalimantan dan Papua
Read more...

1.11.2008

Hutan di Lansekap Bukit Tigapuluh Dibabat APP, Kehidupan Masyarakat Tradisional dan Satwa liar Sumatera Terancam

08 Januari 2008
Pekanbaru dan Jambi – INDONESIA—
Kepunahan hutan alam dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi di lansekap Bukit Tigapuluh, di Riau dan Jambi sudah di ambang mata. Hutan yang merupakan salah satu habitat kunci bagi harimau, gajah, dan orangutan Sumatera dan tempat bergantung hidup masyarakat tradisional ini mengalami ancaman serius, baik akibat penebangan masif yang sedang berlangsung maupun rencana Departemen kehutanan (Dephut) untuk mengkonversi eks HPH di sekitar Bukit Tigapuluh melalui perusahaan bubur kertas dan kertas, terutama oleh Asia Pulp & Paper (APP) beserta perusahaan mitra kerjanya.

Sejumlah organisasi lingkungan yang bekerja di lansekap Bukit Tigapuluh ini mengecam keras rencana penghancuran hutan alam tersebut secara sistematis yang akan mengancam habitat satwa liar, pengaturan tata air pada DAS Indragiri dan Reteh di Riau serta DAS Batanghari dan Pengabuan di Jambi, serta sumber penghidupan masyarakat setempat, terutama suku Talang Mamak dan Orang Rimba.

Komunitas Konservasi Indonesia WARSI (KKI WARSI), Yayasan Pusat Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), Frankfurt Zoological Society (FZS), Zoological Society of London (ZSL) dan Worldwide Fund for Nature (WWF)-Indonesia mendesak pemerintah untuk melakukan tindakan nyata dalam melindungi lansekap Bukit Tigapuluh ini dari ancaman konversi hutan alam yang saat ini dilakukan oleh APP dan kelompok usahanya.

Jambi merupakan daerah hutan alam yang menjadi target pengalihan sumber bahan baku untuk produksi bubur kertas dan kertas APP, karena kegiatan konversinya di Riau saat ini dihentikan oleh pihak penegak hukum terkait tuduhan pembalakan liar dan kejahatan lingkungan.

Sejumlah konsesi HPH yang tidak beroperasi lagi di blok hutan Bukit Tigapuluh menjadi target pembukaan hutan untuk penanaman akasia oleh perusahaan HTI PT Arara Abadi dari Riau dan PT Wirakarya Sakti dari Jambi, keduanya adalah anak perusahaan APP, sangat ekspansif membuka hutan di wilayah ini dalam upaya memenuhi kebutuhan industri pulp dan kertas mereka.

Perusahaan APP telah menebang sekitar 20.000 hektar hutan alam yang merupakan bagian dari Bukit Tigapuluh lansekap, tepatnya di sekitar hutan lindung Bukit Limau guna menutupi kebutuhan produksi bubur kertas anak perusahaannya, baik PT Indah Kiat Pulp and Paper di Riau maupun PT Lontar Papyrus Pulp and Paper di Jambi.

Sejumlah investigasi yang dilakukan organisasi lingkungan di provinsi Riau dan Jambi telah menemukan adanya indikasi penebangan liar dan pembukaan jalan logging oleh APP dan mitra kerjanya di lokasi eks PT IFA dan PT Dalek Hutani Esa, dimana di areal tersebut tidak ada hak pengelolaannya. Pembukaan jalan tersebut telah membuka akses semakin parahnya laju kerusakan hutan alam, dan legalitasnya dipertanyakan oleh kelima kelompok konservasi tersebut. Penebangan hutan alam terjadi di dalam kawasan hutan lindung, disekitar hutan lindung, maupun kawasan untuk kehidupan orang rimba serta habitat satwaliar seperti orangutan, harimau dan gajah Sumatera. (Lihat terlampir Laporan Investigasi WWF.).

Para konservasionis sangat prihatin dengan semakin terancamnya habitat orang utan, harimau, gajah, maupun masyarakat asli setempat akibat maraknya pembukaan lahan hutan alam. Dibutuhkan keputusan yang bijak dari pemerintah dan dukungan seluruh pemangku kepentingan untuk melindungi lanskap Bukit Tigapuluh, sebelum semuanya terlambat.

Ian Kosasih, Direktur Program Kehutanan WWF-Indonesia meminta pemerintah untuk memberikan perhatian lebih pada ancaman ekosistem yang sedang terjadi di Bukit Tigapuluh. Tindakan responsif diperlukan dalam menindaklanjuti usulan dan rekomendasi lembaga konservasi non-pemerintah terkait perlindungan Bukit Tigapuluh yang merupakan salah satu habitat terakhir untuk harimau, gajah dan orangutan Sumatera di Riau dan Jambi. Sebagai hutan dengan nilai-nilai konservasi yang tinggi (High Conservation Value Forest) Bukit Tigapuluh semestinya tidak dikonversi.

“Sejumlah usulan dari kelompok konservasi terkait dengan perlindungan lansekap Bukit Tigapuluh selayaknya diperhatikan dan ditindaklanjuti, karena kegiatan konversi sangat cepat pengaruhnya dalam mengubah tutupan dan kondisi hutan alam,” ujar Ian Kosasih. “Oleh karena itu penebangan hutan alam di landskap Bukit Tigapuluh harus dihentikan secepatnya.”

Lima kelompok konservasi ini telah mengajukan surat bersama pada 3 September 2007 kepada Menteri Kehutanan terkait dengan rasionalisasi Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan perlindungan habitat harimau, gajah, dan orang utan di sekitar TNBT serta perluasan hutan lindung Bukit Sosah – Bukit Limau.

Tercatat tidak kurang 198 jenis burung (1/3 jenis burung di Sumatera) dan 59 jenis mamalia hidup di lansekap Bukit Tigapuluh (penelitian Danielsen dan Heegaard, 1995) serta terdapat flora endemik dan langka, cendawan muka rimau (Rafflesia hasseltii) dan Salo (Johanesteima altifrons). Masyarakat asli Talang Mamak, Orang Rimba dan Melayu Tradisional di lansekap Bukit Tigapuluh sudah mendiami wilayah hutan ini sejak lama dan sangat tergantung penghidupannya dengan kawasan hutan tersebut.
Untuk keterangan lebih lanjut, silahkan hubungi:

Ø Diki Kurniawan (Warsi) : 08127407730 /dicky@warsi.or.id
Ø Peter H Pratje (FZS) : 08127495815 /phpratje@gmail.com
Ø Dolly Priatna (ZSL) : 081389001566 /Dolly.Priatna@zsl.org
Ø Nursamsu (WWF) : 08127537317 / Nursamsu@wwf.or.id
Ø M. Yunus (PKHS) : 081365705246 /yunus_pkhsb30@plasa.com
Read more...

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi