6.25.2008

Perbankan mulai lirik sektor kehutanan

Edisi: 24-JUN-2008

JAKARTA:Kepercayaan perbankan terhadap sektor kehutanan dalam mengucurkan kredit mulai tumbuh dalam dua tahun terakhir, setelah sempat bermasalah pada masa pascakrisis moneter.

"Kalangan perbankan melihat industri sektor kehutanan saat ini mempunyai prospek cerah pada masa depan," ujar Ketua Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), M.Masnyur kepada Bisnis, kemarin.

Dia mengakui kalangan perbankan sempat mengklaim industri kehutanan tidak disiplin dalam melunasi kreditnya.

"Pada saat terjadi krisis moneter, sebagian besar utang kalangan industri kehutanan tidak lancar, sehingga perbankan sulit memercayainya untuk kembali mengucurkan kredit," ungkap Mansyur.

Namun, dua tahun terakhir ini, lanjut Mansyur, kalangan perbankan mulai mengucurkan kredit bagi industri pulp dan kertas. Kredit itu umumnya dimanfaatkan 40% dari 80 anggota asosiasi pulp itu dan merupakan perusahaan berskala kecil dan menengah. "Mereka masih memanfaatkan kredit perbankan," ujarnya.

Perusahaan skala besar seperti PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper menggunakan uang sendiri.

Sebelum krisis keuangan di Indonesia pada 1997, menurut Newsletter International NGO Forum on Indonesia Development edisi Oktober 2005, bank-bank lokal di Indonesia menyediakan lebih dari US$4 miliar dalam bentuk pinjaman untuk industri kayu di Indonesia.

Industri kayu juga menerima lebih dari US$7 miliar dalam bentuk pinjaman jangka pendek dan pendanaan jangka panjang dari lembaga keuangan internasional.

Sepuluh bank lokal teratas di Indonesia mendanai industri kayu. Bank itu termasuk beberapa bank pemerintah yang sekarang bergabung menjadi Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank Umum Nasional (yang telah ditutup oleh pemerintah) dan Bank Internasional Indonesia. Lembaga internasional, Credit Suissee First Boston, ING Bank N.V. dan Credit Lyonnais dari Singapura juga mendanai ekspansi industri kayu.

Di samping lembaga itu, sampai 1999 empat bank dari Belanda-ABN-AMRO Bank, ING Bank, Rabobank and MeesPierson-mengembangkan perkebunan sawit 740.000 ha di Indonesia.

Willam Patinasrani dari Infid mengatakan industri perbankan di Indonesia belum layak mengucurkan kredit bagi sektor kehutanan berskala besar. "Industri pulp dan kertas membutuhkan lembaga keuangan besar berbentuk sindikasi," ujarnya.

Pesatnya pertumbuhan industri pulp dan kertas, menurut Willam, membutuhkan keuangan yang besar.

Namun, kondisi keuangan kalangan perbankan belum mampu memenuhi pertumbuhan itu.

Oleh Erwin Tambunan
Bisnis Indonesia
Read more...

[Forum-Diskusi-Jikalahari] Masyarakat Riau Jangan Pilih Illegar Logger]

Marissa Haque: Masyarakat Riau Jangan Pilih Illegar Logger
Laporan: Faisal Umar

[Selasa 24/06/08, 21:47:03]

PEKANBARU, TRIBUN - Puluhan mahasiswa dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau, BEM Unri dan UIN terlihat menunggu kedatangan rombongan Marissa Haque ke sekretariat di Jalan Bangau Sakti Panam, Selasa (24/6). Di ruangan yang sederhana, mereka menerima rombongan Marisa yang bersilaturahim dengan mahasiswa Riau ini.

Marissa yang memboyong langsung dua wartawan infotainmen yakni Kisah Informasi Seputar Selebritis (KISS) Indosiar dan Bibir Plus SCTV ini langsung melakukan syuting dengan background mahasiswa Riau tersebut.

Layak seorang dosen, istri Ikang Fauzi itu berceramah di depan para mahasiswa. Marisa lebih banyak bercerita tentang hukum dan politik. Sebagai sarjana hukum dan seorang politisi Marisa lebih banyak menjabarkan makna kedua istilah tersebut.


"Bagaimana pun juga mahasiswa harus paham politik. Berbicara politik sangat erat kaitannya dengan masalah hukum. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan, untuk itu seorang mahasiswa harus mengerti kedua hal tersebut," katanya.

Lebih lanjut dia bercerita tentang penegakan hukum yang ada di Riau, khususnya terkait kasus pembalakan liar (illegal logging). Ia sangat kehilangan figur polisi seperti Sutjiptadi yang berani perang terhadap pembalakan liar.

"Sayang memang, polisi yang bagus seperti Pak Sutjiptadi tidak lama bertahan di Riau. Sebab, bagaimana pun juga banyak pihak-pihak yang tidak ingin kepentingannya diganggu, bisa jadi Pak Sutjiptadi dipindahkan, dengan menambahkan satu bintang lagi di pundaknya," ucapnya.

Kepada para mahasiswa yang nota benenya aktivis tersebut Marisa berpesan, untuk mengkampanyekan "Jangan Pilih Illegal Logger".

"Sebentar lagi Riau akan melakukan pesta demokrasi, ini harus disuarakan kepada masyarakat Riau. Illegal Logger tidak boleh dipilih, sebab telah menyebabkan masyarakat menjadi sengsara," katanya. Tidak terasa, azan Zuhur pun berkumandang. Marissa pamit dan pertemuan diakhiri dengan berfoto bersama. (*)
Read more...

INDUSTRI PULP DAN KERTAS: ANCAMAN BARU TERHADAP HUTAN ALAM INDONESIA

E.G. Togu Manurung dan Hendrikus H. Sukaria (TM Juni 2000)


Pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia sungguh menakjubkan. Kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat tajam menjadi 7.232.800 ton. Bila memperhitungkan rencana perluasan dan investasi baru pada tahun 1998-2005 maka kapasitas produksi industri kertas sampai dengan akhir tahun 2005 dapat bertambah menjadi 13.696.170 ton (APKI Direktori, 1997).

Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat menjadi 3.905.600 ton. Sementara itu, pada tahun 1998-1999 telah direncanakan penambahan kapasitas produksi sebesar 1.390.000 ton. Dengan demikian, pada akhir tahun 1999 total kapasitas produksi industri pulp dapat mencapai 5.295.600 ton. Penambahan kapasitas produksi oleh industri pulp yang sudah ada dan adanya rencana investasi baru pada tahun 2000 - 2005 akan menambah kapasitas produksi industri pulp pada akhir tahun 2005 menjadi total 12.745.600 ton.


Ekspor dan konsumsi Indonesia semakin meningkat
Seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi, ekspor pulp dan kertas Indonesia terus meningkat. Bila sebelumnya Indonesia selalu menjadi net importir pulp maka sejak tahun 1995 berbalik menjadi net eksportir pulp. Angka pertumbuhan ekspor pulp tidak kurang dari 96 % antara tahun 1994-1996. Sebagai net eksportir kertas Indonesia sudah tidak asing lagi. Data APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) menunjukkan bahwa antara tahun 1987-1996 jumlah ekspor kertas Indonesia selalu lebih besar dari jumlah impornya, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 26,11 %.

Meningkatnya kapasitas produksi industri pulp dan kertas juga diikuti oleh kenaikan jumlah konsumsi kertas per kapita. Konsumsi kertas per kapita di Indonesia pada tahun 1992 baru mencapai 10 kg, kemudian meningkat menjadi 15,5 kg pada tahun 1996. Kenaikan konsumsi kertas per kapita di Indonesia utamanya dipicu oleh bertambahnya industri pers dan percetakan, meningkatnya kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran berupa kertas dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar.

Konsumsi kertas per kapita di Indonesia dipastikan akan terus meningkat. Kendati konsumsi kertas sebesar 15,5 kg per kapita pada tahun 1996 lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ternyata masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pada tahun 1996, Konsumsi kertas per kapita di Malaysia telah mencapai 87,4 kg per tahun, Singapura 161,2 kg dan Amerika Serikat sebesar 334,6 kg.

Harga pulp yang tinggi di pasar internasional (saat ini harganya US$ 680 - 700 per ton) dan konsumsi kertas yang terus meningkat merupakan dua faktor utama yang merangsang pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia. Meskipun harga pulp dan kertas di pasar internasional berfluktuasi dari waktu ke waktu, produsen pulp dan kertas di Indonesia sulit untuk rugi. Biaya produksi pulp di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi hanya US$ 217 per ton (saat ini US$ 250-300), jauh lebih rendah dibandingkan biaya pembuatan pulp di kawasan Asia/Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yaitu masing-masing US$ 250, 260, 300, 420, dan 590. Brazil dan Chile merupakan saingan kuat Indonesia, dengan biaya produksi pulp per ton masing-masing US$ 231 dan 241.

Asal bahan baku dari hutan alam
Mega sukses industri pulp dan kertas dapat dianggap sebagai dewa penyelamat terutama bila dikaitkan dengan krisis harga kertas yang sering terjadi. Industri pulp dan kertas juga dapat diandalkan untuk meraup Dollar. Karena itulah pemerintah telah mencanangkannya sebagai salah satu dari 10 komoditi andalan ekspor.

Namun bila mengetahui dari mana asal-usul bahan baku pembuat kertas, maka “wajah angker” industri pulp dan kertas akan terlihat jelas. Sampai sekarang tercacat beberapa bahan baku pembuat kertas, antara lain merang, bagas, bambu, kertas bekas dan kayu bulat. Industri pulp skala besar, yang kebanyakan didirikan di luar pulau Jawa, bahan baku utamanya adalah kayu bulat yang berasal dari hutan alam (aktivis LSM lingkungan hidup menyebutnya ‘pulping the rain forest”). Industri pulp yang telah lama didirikan di Pulau Jawa belakangan ini juga menggunakan kayu sebagai bahan baku utamanya. Sampai saat ini, masih lebih dari 90% bahan baku kayu untuk “memberi makan” industri pulp di Indonesia berasal dari hutan alam, utamanya adalah kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), yaitu kayu berbagai jenis yang dihasilkan dari kegiatan land clearing pada areal hutan alam yang akan dikonversi untuk berbagai keperluan, misalnya untuk areal pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.

Realisasi pembangunan HTI terlalu lambat
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas, sejak awal tahun 1990 pemerintah dan pengusaha melakukan pembangunan HTI, terutama HTI-pulp. Namun hampir semua industri pulp dan kertas telah beroperasi sebelum HTI-pulp dapat dipanen, bahkan sebelum HTI ditanam. Akibatnya, hutan alam yang telah lama mengalami over eksploitasi juga menjadi tumpuan utama sumber bahan baku industri pulp dan kertas.

Sementara itu, realisasi pembangunan HTI sangat lambat. Sampai Desember 1998 realisasi pembangunan HTI dilaporkan mencapai 1.642.583 ha, atau 22,2% dari total 7,385,948 ha luas konsesi Hak Pengusahaan HTI yang telah diberikan pemerintah kepada 161 perusahaan. Diantaranya telah dibangun HTI-pulp seluas 1.054.634 ha atau 21.35% dari total 4.939.282 ha areal konsesi HTI-pulp yang telah diberikan kepada 29 perusahaan pemegang HPHTI (Direktorat Bina Pengusaha Hutan,1999). Sebagian besar HTI yang telah dibangun sampai saat ini belum dapat dipanen. Data Statistik Pengusahaan Hutan menunjukkan pada tahun 1997/1998 produksi kayu HTI hanya 425.893 m3. Jika dibandingkan dengan kapasitas produksi industri pulp pada tahun 1997 maka jumlah tersebut sangatlah kecil

Semakin merusak hutan alam
Dengan diambilnya bahan baku kayu untuk industri pulp dari hutan alam maka tekanan terhadap hutan alam semakin besar. Sebelumnnya, sejak adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1980, di Indonesia telah terjadi booming pembangunan industri kayu lapis, industri kayu gergajian dan kemudian industri pengolahan kayu hilir. Perkembangan industri perkayuan yang sangat pesat menyebabkan kapasitas total industri perkayuan Indonesia melampaui kemampuan hutan produksi untuk menyediakan bahan baku secara lestari.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (1997), total kapasitas produksi industri perkayuan Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas produksi tersebut lebih 3 kali lipat dibandingkan dengan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu bulat secara lestari. Menurut Mantan Menteri Kehutanan Djamaludin Surjohadikusumo, pada awal tahun 1998 hutan alam produksi Indonesia hanya mampu menghasilkan 18 juta m3 kayu bulat. Jika ditambah dengan kayu dari hutan rakyat, HTI dan hutan konversi (kayu IPK) sebesar 12 juta m3 maka jumlahnya baru mencapai 30 juta m3. Ketimpangan antara kapasitas industri perkayuan dengan kemampuan hutan untuk menyediakan bahan baku secara lestari telah menyebabkan pengurasan (pengrusakan) sumberdaya hutan. Hal ini bertambah buruk dengan aktifitas penjarahan hutan (pencurian kayu, illegal logging) yang semakin marak. Akibatnya, kualitas dan kuantitas hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin menurun. Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000).

Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 4,5 m3 kayu bulat, maka industri pulp di Indonesia pada tahun 1999 memerlukan 24 juta m3 kayu bulat. Dengan asumsi potensi kayu bulat pada areal hutan konversi rata-rata 80 m3 per hektar, maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp harus ditebang sekitar 300.000 ha hutan alam. Areal hutan alam yang dirusak dengan tebang habis akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya kapasistas industri pulp dan kertas, sementara realisasi tanaman HTI-pulp masih sekitar 20%.

Jalan Keluar?
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri pulp dan kertas bagi perekonomian Indonesia sangat strategis, pengusahanya mendapatkan keuntungan besar. Dengan tidak mengimpor pulp dan kertas tentu akan menghemat cadangan devisa yang belakangan ini surut akibat krisis ekonomi. Selain itu, industri pulp mampu menciptakan lapangan kerja baru. Namun demikian, apakah arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan alam Indonesia? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?

Penulis merekomendasikan kepada pemerintah agar pabrik pulp dan kertas hanya diijinkan beroperasi bila sudah ada kepastian sumber bahan baku kayu pulp yang berasal dari Hutan tanaman. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan HTI harus diwujud-nyatakan. Pasokan bahan baku kayu untuk industri pulp dari hutan alam (kayu IPK) harus segera dihentikan. Untuk industri pulp yang telah beroperasi bahan bakunya harus diimpor (misalnya dari Australia atau New Zealand), sampai panen HTI-pulp mencukupi. Dengan demikian, ancaman kerusakan hutan alam Indonesia dapat dikurangi.

Read more...

GREENOMICS: RAPP KELEBIHAN BAHAN BAKU

Jakarta,
25/3 (ANTARA) - Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi, mengatakan bahwa perusahaan pulp dan kertas PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) sepanjang tahun 2007 diketahui mengalami kelebihan bahan baku, bukan defisit seperti yang mereka akui.

"RAPP kelebihan bahan baku hingga sekitar 1,56 juta meter kubik," kata Elfian di Jakarta, selasa, sekaligus menyanggah pernyataan manajemen RAPP yang mengaku sangat kekurangan bahan baku akibat operasi pemberantasan pembalakan liar di kawasan HTI di Provinsi Riau sepanjang tahun 2007.

"Greenomics akan meminta Departemen Kehutanan untuk melakukan audit terhadap kelebihan bahan baku RAPP tersebut," katanya menegaskan.

Verifikasi data realisasi pemenuhan bahan baku yang dilakukan oleh Greenomics menunjukkan bahwa pasokan bahan baku yang disetujui Departemen Kehutanan pada tahun 2007 untu k dikonsumsi oleh RAPP adalah sebesar 9 juta meter kubik, ujar Elfian, namun realisasinya mencapai 10,57 juta meter kubik.

Ada kelebihan sebesar 1,56 juta meter kubik, tambahnya, "Dan mereka berteriak kekurangan bahan baku ketika Polda Riau secara intensif melakukan investigasi pembalakan liar, padahal dalam kenyataannya mereka justru kelebihan bahan baku. Ini adalah bentuk pembohongan publik."

Elfian menyatakan, Greenomics juga akan meminta Komisi IV DPR-RI mengklarifikasi data realisasi RAPP tahun 2007, karena RAPP dianggap telah melakukan provokasi publik - dengan menggembar-gemborkan bahwa mereka menerima akibat buruk dari operasi pemberantasan pembalakan liar di Riau berupa kekurangan bahan baku secara signifikan.

"Data resmi realisasi pemenuhan bahan baku yang dikeluarkan pihak RAPP justru menunjukkan mereka surplus bahan baku," ujarnya.

Sebagai perbandingan, Greenomics juga melakukan investigasi terhadap data realisasi pemenuhan bahan baku tahun 200 7 yang dikonsumsi oleh perusahaan pulp dan kertas lainnya yang juga beroperasi di Riau, yakni PT. Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP).

Dari 14 juta meter kubik pasokan yang disetujui Departemen Kehutanan, realisasi yang terpenuhi oleh IKPP sebesar 10,2 juta meter kubik.

Itu artinya IKPP kekurangan bahan baku sebesar 3,8 juta meter kubik, katanya.

"Secara total, tingkat realisasi pasokan bahan baku IKPP pada tahun 2007 mencapai 72,81 persen, atau kekurangan bahan baku sebesar 27,2 persen. Angka realisasi ini lebih realistis," demikian Elfian.
(T.E012/B/M007) (T.E012/B/M007/M007) 25-03-2008 17:44:32 NNNN

Read more...

6.06.2008

Korsel Berminat Buka HTI di Kalsel

04/06/08 10:37
Banjarmasin (ANTARA News) - Pengusaha dari Korea Selatan akan segera menanamkan investasinya di bidang penanaman hutan tanaman industri (HTI) di beberapa daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel).Kepala Dinas Kehutanan Kalsel, Suhardi Atmorejo, Rabu,

mengungkapkan beberapa perusahaan asing maupun nasional, saat ini banyak yang berminat untuk mengembangkan HTI di Kalsel.Salah satunya yaitu perusahaan dari Korea, yang kini sedang mengurus proses perizinan ke beberapa instansi terkait, baik ditingkat daerah maupun pusat termasuk ke Departemen kehutanan (Dephut).Selain perusahaan dari Korea, dua perusahaan nasional atau dalam negeri, juga sudah mengajukan diri untuk berinvestasi di bidang penanaman HTI, yang kini juga sedang dalam proses pengurusan izin di Dephut.


Diungkapkannya, saat ini lahan kosong di beberapa daerah di Kalsel cukup luas, sehingga peluang untuk mengembangkan HTI masih sangat besar. "Salah satu program kehutanan Kalsel, yaitu mengembangkan HTI untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, kita berharap akan banyak investor masuk," katanya.Menurut dia, kendala yang ada sampai saat ini adalah pemberian izin investasi di bidang kehutanan sepenuhnya masih berada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini menteri kehutanan, sehingga daerah tidak bisa memberikan kebijakan apa-apa."Kita sudah menawarkan ke investor baik melalui media internet maupun lainnya, tapi terkendala perizinan yang masih berada di tangan pemerintah pusat," katanya.Beberapa daerah yang masih berpotensi besar untuk pengembangan HTI yaitu

Kabupaten Tanah Bumbu (Tanbu) dan Kabupaten Banjar. Dishut hingga kini belum mendata berapa luasan areal yang masih bisa dimanfaatkan untuk HTI.Sampai saat ini, tambahnya, dari 16 perusahaan HTI yang pernah mendapatkan izin menanam, hanya tinggal 10 perusahaan HTI yang berproduksi. Sebanyak tiga perusahaan telah dicabut izinnya dan tiga perusahaan lainnya sudah diusulkan dicabut karena higgga kini tidak berproduksi."Satu perusahaan HTI yang sangat mendesak untuk segera dicabut izinnya yaitu, PT Dwima Intiga. Tapi hingga kini belum mendapatkan tanggapan dari Dephut. Mungkin karena perusahaan bersangkutan masih banyak memiliki tanggungan utang, sehingga perlu dilakukan perhitungan lebih cermat," tambahnya.Sampai saat ini, total pencadangan lahan HTI di Kalsel mencapai 400 ribu hektare, selain potensi lahan tidur yang belum tergarap atau di luar penguasaan perusahaan HTI. (*)
COPYRIGHT © 2008

Read more...

6.03.2008

Pembangunan Pabrik Pulp Disoal

Selasa, 3 Juni 2008
Pembangunan Pabrik Pulp Disoal
PANGKALAN BUN – Pembangunan instalasi pabrik pulp kertas di Kecamatan Kumai milik PT Korintiga yang rencananya akan selesai tahun ini juga, disoal Borneo Lestari Foundation, sebuah lembaga pelestarian alam yang berpusat di Kecamatan Kumai.

Direktur Eksekutif Borneo Lestari Foundation Komaruddin Majeri mengungkapkan, masyarakat Kumai tidak mempersoalkan investasi pihak asing ke Kabupaten Kotawaringin Barat, khususnya Kecamatan Kumai, tetapi mereka meminta pembangunan pabrik itu juga harus melihat kemaslahatan warga Kumai yang banyak menggantungkan hidup dari Sungai Kumai.

Yang menjadi masalah adalah PT Korintiga membangun pabrik pulp dan kertas di bagian hulu Sungai Kumai yaitu di daerah peramuan Natai Aru Kelurahan Kumai Hulu, dimana lokasi itu sebagian juga masuk daerah Natai Kerbau Kecamatan Pangkalan Banteng.

Dari hasil investigasi Borneo Lestari Foundation dengan mengonfirmasi beberapa nelayan lokal yang kehidupannya bergantung pada Sungai Kumai, bahwa keberadaan pembanguan dermaga dan CPO saja sudah mengurangi tangkapan mereka, apalagi dengan pembangunan pulp dan kertas yang dipastikan menggunakan zat kimia antara lain zat pemutih kertas yang mengandung clorin yang membahayakan lingkungan.

“Dengan dibangunnya pabrik kertas itu dikhawatirkan limbahnya akan meracuni sungai, karena dipastikan mereka akan membuang limbah ke Sungai Kumai. Adanya limbah itu maka memusnahkan ikan dan udang yang menjadi pencarian rakyat kecil di Kumai,” kata Komarudin dalam rilis yang dikirimkan ke Kantor Biro Pangkalan Bun, Senin (2/6).

Selain itu Borneo Lestari Foundation khawatir warga Kumai yang berjumlah sekitar 27.000, termasuk Taman Nasional Tanjung Puting akan mendapatkan dampaknya berupa pencemaran air dan udara, terutama rakyat kecil di Kumai yang sebagian besar nelayan akan kehilangan penunjang kehidupan karena pencemaran itu.

“Kami menolak rencana pembangunan pabrik itu, dan kami meminta kepada regulator yang sudah memberikan izin untuk meninjau kembali mengenai lokasi tersebut,” kata Komarudin seraya menambahkan, bahwa mereka tidak ingin masalah PT Korintiga serupa dengan pembangunan yang dilakukan oleh PT Indorayon di Sumatera. (sub/hit)





Read more...

6.02.2008

Tidak Menyangka Areal HTI Begitu Luas

Yang Tersisa Kunjungan Menteri Kehutan Korea ke PT Korintiga

Minister of The Korea Forest Service atau Menteri Kehutanan Korea, Ha Yong Je didampingi Menteri Kehutanan RI, MS Kaban, Wakil Gubernur Kalteng H Ahmad Diran, Bupati Kotawaringin Barat H Ujang Iskandar dan Bupati Lamandau HGM Afhanie, terkagum-kagum melihat bentuk investasi bangsanya di Indonesia, Sabtu (31/5).

DARI menara dua PT Korintiga (Grup PT Korindo) di Bukit Macan Kecamatan Menthobi Raya Kabupaten Lamandau, Menteri Kehutanan Korea, Ha Yong Je terkagum-kagum melihat samudra hijau berupa 58.000 hektare tanaman hutan, yang telah terealisasi dari 95.420 hektare lahan yang diizinkan Pemerintah Indonesia kepada perusahaan itu.

Luas lahan yang tidak sebanding dengal luas lahan program revitalisasi perkebunan di Kabupaten Kotawaringin Barat itu ditanami jenis Eucalyptus pelita, Acasia mangium, dan Eucalyptus clone --jenis tanaman clonning dari Eucalyptus Sp yang dapat dipanen pada umur 2,5 tahun. PT Korintiga menerapkan teknologi pembibitan clonal test, kemudian pada Agustus 2003 lalu hasil clonal test baru ditanam.

Pada acara syukuran terhadap izin Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah Korea melalui PT Korintiga yang lahannya dalam konsensi di dua kabupaten, yaitu 60 persen di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 30 persen wilayah Kabupaten Lamandau, Ha Yong Je berkali-kali mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih atas pemberian izin Pemerintah Indonesia. Walaupun dihadapi banyak kesulitan tetapi pembangunan hutan yang luar biasa ini dapat terlaksana. Saya menghargai jerih payah karyawan di PT Korintiga, yang sampai saat ini tidak dapat berkembang tanpa bantuan pemerintah dan masyarakat sekitar hutan. Terima kasih,” katanya melalui penerjemah.

Ha Yong Je pun mencoba mengucapkan terima kasih dalam bahasa Indonesia, dan spontan hadirin yang hadir tersenyum disertai tepuk tangan yang menggema terbawa angin yang menerobos lebatnya hutan Korintiga yang dikelilingi perbukitan itu.

PT Korintiga merupakan salah satu anak perusahaan PT Korindo. Perusahaan itu mendapatkan Surat Keputusan Hutan Tanaman Industri (HTI) dari Pemerintah Indonesia tanggal 28 Februari 1998 yang pengajuannya telah diproses sejak tahun 1996-1997.
Awalnya SK HTI yang diberikan kepada PT Korintiga hanya seluas 95.150 hektar, tetapi pada tahun 2006 sekitar bulan April dan Mei ada penambahan luas lahan dan SK HTI PT Korintiga menjadi 95.420 hektare yang berasal dari lahan perkebunan sawit yang tidak jalan.

Pada tahun 1997 PT Korintiga telah melakukan uji coba penanaman seluas 100 hektare dan pada tahun 2000 PT Korintiga melakukan permanent nursery atau penanaman permanen seluas 10 hektare, dan kini, lahan seluas 95.420 hektare telah terpakai seluas 58.000 hektare.

Menurut pihak manajemen PT Korintiga, penanaman yang saat ini dilakukan perusahaan itu rata-rata bisa menghasilkan 543 meter kubik kayu per hektar per tahun, dan pada tahun ini perusahaan itu akan melakukan pemanenan yang rata-rata pemanenannya seluas 6.250 hektare. Jika target lahan terisi 550.000 meter kubik, maka rata-rata per tahun mampu memproduksi 1,1 juta meter kubik dari lahan seluas 6.250 hektare.

Dalam kontribusi pembangunan daerah terutama membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, PT Korintiga membentuk 12 desa binaan di Wilayah Kabupaten Kobar dan Kabupaten Lamandau termasuk memberikan beasiswa pendidikan di wilayah tersebut.

PT Korintiga juga mengembangkan peternakan sapi ras brahman dan sapi bali sebanyak 203 ekor yang rencananya digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Pada acara di menara II PT Korintiga itu secara simbolis diserahkan sembilan ekor sapi betina dan satu ekor sapi jantan kepada koperasi karyawan PT Korintiga. Selain itu PT Korintiga juga memberikan penghargaan bagi delapan karyawan yang telah berjasa.

Sementara itu chairman grup PT Korindo Eun Hong Seung memaparkan, bahwa PT Korintiga tidak cukup hanya 95.150 hektare di konsesi wilayah Kobar dan Lamandau, bahkan perusahaan yang memiliki empat camp dipusatkan di camp Pelita di Desa Nanga Mua Kecamatan Arut Utara Kotawaringin Barat ini, akan mengembangkan wilayah tanaman hutannya di wilayah Kabupaten Sukamara seluas 20.000 hektare.

“Untuk itu kepada Bapak Menteri Kehutanan dan Wakil Gubernur Kalteng kami mohon dukungan. Kami berjanji akan melakukan pembangunan hutan tanaman berdasarkan adat, pelestarian, ekonomi, sosial dan lingkungan agar kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat,” janji Eun Hong Seung.

Bahkan, rencananya PT Korintiga akan membuat koridor Kecamatan Kumai sepanjang 49,25 kilometer. Kemudian di Base Camp Pelita akan dibuat lapangan golf, pembangunan itu pada tahap awal akan dibuat enam hole dan totalnya akan dibuat 18 hole dan nanti juga akan disiapkan 100 hektare untuk pasar dan kebun raya.

Selain itu PT Korintiga mengincar proyek APMP Pulp di Kumai Hulu dengan luas lahan 335 hektare dan kapasitas 200.000 adm per tahun dari bahan baku kayu, dan bulan Mei 2007 sampai Juli 2008 target pemasangan instalasi.

Direncanakan, tahun 2010 PT Korintiga melakukan produksi perdana, produknya berupa kertas cetak dan alat tulis. Untuk menjalankan semua, itu PT Korintiga membutuhkan pasokan bahan bakar batu bara 550.000 ton per tahun.

Karena itu, PT Korintiga juga berencana membuka pertambangan batu baru di Pangkalan Banteng seluas 5.900 hektare. Saat ini masih menunggu izin kuasa pertambangan (KP) dari pemerintah. Dari hasil studi mereka, cadangan batu bara yang terukur mencapai 104,3 juta ton, terbagi dari pit A 25.264.137 ton, dan pit B 41.146.256 ton.

PT Korintiga juga merencanakan jalan angkut kayu melintasi PT Astra dan PTPN XIII, namun masih perlu bantuan pemerintah untuk memfasilitasi karena permasalahan KP batu baru masih terjadi over lap dengan PT SSS (Group Astra). (CHOLID TS, Pangkalan Bun)




Read more...

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi