E.G. Togu Manurung dan Hendrikus H. Sukaria (TM Juni 2000)
Pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia sungguh menakjubkan. Kapasitas produksi industri kertas pada tahun 1987 sebesar 980.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat tajam menjadi 7.232.800 ton. Bila memperhitungkan rencana perluasan dan investasi baru pada tahun 1998-2005 maka kapasitas produksi industri kertas sampai dengan akhir tahun 2005 dapat bertambah menjadi 13.696.170 ton (APKI Direktori, 1997).
Demikian juga halnya dengan industri pulp. Pada tahun 1987 kapasitas produksi industri pulp baru mencapai 515.000 ton, kemudian tahun 1997 meningkat menjadi 3.905.600 ton. Sementara itu, pada tahun 1998-1999 telah direncanakan penambahan kapasitas produksi sebesar 1.390.000 ton. Dengan demikian, pada akhir tahun 1999 total kapasitas produksi industri pulp dapat mencapai 5.295.600 ton. Penambahan kapasitas produksi oleh industri pulp yang sudah ada dan adanya rencana investasi baru pada tahun 2000 - 2005 akan menambah kapasitas produksi industri pulp pada akhir tahun 2005 menjadi total 12.745.600 ton.
Ekspor dan konsumsi Indonesia semakin meningkat
Seiring dengan meningkatnya kapasitas produksi, ekspor pulp dan kertas Indonesia terus meningkat. Bila sebelumnya Indonesia selalu menjadi net importir pulp maka sejak tahun 1995 berbalik menjadi net eksportir pulp. Angka pertumbuhan ekspor pulp tidak kurang dari 96 % antara tahun 1994-1996. Sebagai net eksportir kertas Indonesia sudah tidak asing lagi. Data APKI (Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia) menunjukkan bahwa antara tahun 1987-1996 jumlah ekspor kertas Indonesia selalu lebih besar dari jumlah impornya, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 26,11 %.
Meningkatnya kapasitas produksi industri pulp dan kertas juga diikuti oleh kenaikan jumlah konsumsi kertas per kapita. Konsumsi kertas per kapita di Indonesia pada tahun 1992 baru mencapai 10 kg, kemudian meningkat menjadi 15,5 kg pada tahun 1996. Kenaikan konsumsi kertas per kapita di Indonesia utamanya dipicu oleh bertambahnya industri pers dan percetakan, meningkatnya kebutuhan kertas industri, kemajuan teknologi informasi yang membutuhkan media keluaran berupa kertas dan diversifikasi penggunaan kertas yang semakin melebar.
Konsumsi kertas per kapita di Indonesia dipastikan akan terus meningkat. Kendati konsumsi kertas sebesar 15,5 kg per kapita pada tahun 1996 lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ternyata masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Pada tahun 1996, Konsumsi kertas per kapita di Malaysia telah mencapai 87,4 kg per tahun, Singapura 161,2 kg dan Amerika Serikat sebesar 334,6 kg.
Harga pulp yang tinggi di pasar internasional (saat ini harganya US$ 680 - 700 per ton) dan konsumsi kertas yang terus meningkat merupakan dua faktor utama yang merangsang pertumbuhan industri pulp dan kertas di Indonesia. Meskipun harga pulp dan kertas di pasar internasional berfluktuasi dari waktu ke waktu, produsen pulp dan kertas di Indonesia sulit untuk rugi. Biaya produksi pulp di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi hanya US$ 217 per ton (saat ini US$ 250-300), jauh lebih rendah dibandingkan biaya pembuatan pulp di kawasan Asia/Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara, Eropa Barat dan Jepang, yaitu masing-masing US$ 250, 260, 300, 420, dan 590. Brazil dan Chile merupakan saingan kuat Indonesia, dengan biaya produksi pulp per ton masing-masing US$ 231 dan 241.
Asal bahan baku dari hutan alam
Mega sukses industri pulp dan kertas dapat dianggap sebagai dewa penyelamat terutama bila dikaitkan dengan krisis harga kertas yang sering terjadi. Industri pulp dan kertas juga dapat diandalkan untuk meraup Dollar. Karena itulah pemerintah telah mencanangkannya sebagai salah satu dari 10 komoditi andalan ekspor.
Namun bila mengetahui dari mana asal-usul bahan baku pembuat kertas, maka “wajah angker” industri pulp dan kertas akan terlihat jelas. Sampai sekarang tercacat beberapa bahan baku pembuat kertas, antara lain merang, bagas, bambu, kertas bekas dan kayu bulat. Industri pulp skala besar, yang kebanyakan didirikan di luar pulau Jawa, bahan baku utamanya adalah kayu bulat yang berasal dari hutan alam (aktivis LSM lingkungan hidup menyebutnya ‘pulping the rain forest”). Industri pulp yang telah lama didirikan di Pulau Jawa belakangan ini juga menggunakan kayu sebagai bahan baku utamanya. Sampai saat ini, masih lebih dari 90% bahan baku kayu untuk “memberi makan” industri pulp di Indonesia berasal dari hutan alam, utamanya adalah kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), yaitu kayu berbagai jenis yang dihasilkan dari kegiatan land clearing pada areal hutan alam yang akan dikonversi untuk berbagai keperluan, misalnya untuk areal pembangunan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit.
Realisasi pembangunan HTI terlalu lambat
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp dan kertas, sejak awal tahun 1990 pemerintah dan pengusaha melakukan pembangunan HTI, terutama HTI-pulp. Namun hampir semua industri pulp dan kertas telah beroperasi sebelum HTI-pulp dapat dipanen, bahkan sebelum HTI ditanam. Akibatnya, hutan alam yang telah lama mengalami over eksploitasi juga menjadi tumpuan utama sumber bahan baku industri pulp dan kertas.
Sementara itu, realisasi pembangunan HTI sangat lambat. Sampai Desember 1998 realisasi pembangunan HTI dilaporkan mencapai 1.642.583 ha, atau 22,2% dari total 7,385,948 ha luas konsesi Hak Pengusahaan HTI yang telah diberikan pemerintah kepada 161 perusahaan. Diantaranya telah dibangun HTI-pulp seluas 1.054.634 ha atau 21.35% dari total 4.939.282 ha areal konsesi HTI-pulp yang telah diberikan kepada 29 perusahaan pemegang HPHTI (Direktorat Bina Pengusaha Hutan,1999). Sebagian besar HTI yang telah dibangun sampai saat ini belum dapat dipanen. Data Statistik Pengusahaan Hutan menunjukkan pada tahun 1997/1998 produksi kayu HTI hanya 425.893 m3. Jika dibandingkan dengan kapasitas produksi industri pulp pada tahun 1997 maka jumlah tersebut sangatlah kecil
Semakin merusak hutan alam
Dengan diambilnya bahan baku kayu untuk industri pulp dari hutan alam maka tekanan terhadap hutan alam semakin besar. Sebelumnnya, sejak adanya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 1980, di Indonesia telah terjadi booming pembangunan industri kayu lapis, industri kayu gergajian dan kemudian industri pengolahan kayu hilir. Perkembangan industri perkayuan yang sangat pesat menyebabkan kapasitas total industri perkayuan Indonesia melampaui kemampuan hutan produksi untuk menyediakan bahan baku secara lestari.
Berdasarkan data Departemen Kehutanan (1997), total kapasitas produksi industri perkayuan Indonesia setara dengan 68 juta m3 kayu bulat. Kapasitas produksi tersebut lebih 3 kali lipat dibandingkan dengan kemampuan hutan produksi Indonesia untuk menghasilkan kayu bulat secara lestari. Menurut Mantan Menteri Kehutanan Djamaludin Surjohadikusumo, pada awal tahun 1998 hutan alam produksi Indonesia hanya mampu menghasilkan 18 juta m3 kayu bulat. Jika ditambah dengan kayu dari hutan rakyat, HTI dan hutan konversi (kayu IPK) sebesar 12 juta m3 maka jumlahnya baru mencapai 30 juta m3. Ketimpangan antara kapasitas industri perkayuan dengan kemampuan hutan untuk menyediakan bahan baku secara lestari telah menyebabkan pengurasan (pengrusakan) sumberdaya hutan. Hal ini bertambah buruk dengan aktifitas penjarahan hutan (pencurian kayu, illegal logging) yang semakin marak. Akibatnya, kualitas dan kuantitas hutan Indonesia dari tahun ke tahun semakin menurun. Laju deforestasi hutan Indonesia pada periode tahun 1985-1998 tidak kurang dari 1,6 juta hektar per tahun (Dephutbun, 2000).
Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 4,5 m3 kayu bulat, maka industri pulp di Indonesia pada tahun 1999 memerlukan 24 juta m3 kayu bulat. Dengan asumsi potensi kayu bulat pada areal hutan konversi rata-rata 80 m3 per hektar, maka untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pulp harus ditebang sekitar 300.000 ha hutan alam. Areal hutan alam yang dirusak dengan tebang habis akan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya kapasistas industri pulp dan kertas, sementara realisasi tanaman HTI-pulp masih sekitar 20%.
Jalan Keluar?
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri pulp dan kertas bagi perekonomian Indonesia sangat strategis, pengusahanya mendapatkan keuntungan besar. Dengan tidak mengimpor pulp dan kertas tentu akan menghemat cadangan devisa yang belakangan ini surut akibat krisis ekonomi. Selain itu, industri pulp mampu menciptakan lapangan kerja baru. Namun demikian, apakah arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan alam Indonesia? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?
Penulis merekomendasikan kepada pemerintah agar pabrik pulp dan kertas hanya diijinkan beroperasi bila sudah ada kepastian sumber bahan baku kayu pulp yang berasal dari Hutan tanaman. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan HTI harus diwujud-nyatakan. Pasokan bahan baku kayu untuk industri pulp dari hutan alam (kayu IPK) harus segera dihentikan. Untuk industri pulp yang telah beroperasi bahan bakunya harus diimpor (misalnya dari Australia atau New Zealand), sampai panen HTI-pulp mencukupi. Dengan demikian, ancaman kerusakan hutan alam Indonesia dapat dikurangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar