2.26.2009

Top Skorer Titik Api pada Konsesi HTI (2000-2008)

Oleh
Raflis[1] dan Dede Khunaifi[2]
Yayasan Kabut Riau

Link Download

Pendahuluan
Setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kejadian ini sudah menjadi issu penting dan merupakan sebuah rutinitas yang menghabiskan APBN dan APBD yang cukup besar jumlahnya untuk pemadaman kebakaran. Belum lagi kalau dihitung dampak kesehatan terhadap jutaan masyarakat yang terkena dampak dari asap yang ditimbulkan.

Sampai Saat ini penanggulangan kebakaran hutan sebatas upaya pemadaman api pada saat kebakaran terjadi. Sedangkan perencanaan menyeluruh belum dilakukan bahkan dalam konfrensi pers yang dilakukan wakil gubernur riau yang juga menjabat sebagai ketua pusdalkarhutha (Pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan) baru baru ini tidak menggambarkan perencanaan yang utuh dalam penaggulangan kebakaran hutan dan lahan.


Box 1 : Pernyataan Ketua Pusdalkarhutla terhadap kebakaran hutan dan lahan di riau Sebuah Pernyataan yang kontroversial.


Fakta Kebakaran Hutan dan lahan di Provinsi Riau.

Berdasarkan pantauan satelit Modis (Terra dan Aqua) Periode September 2000 sampai Juli 2008 di wilayah Provinsi Riau Dijumpai 57972 titik api yang terdistribusi ke dalam 12 kabupaten/ kota. Kejadian ini hampir setiap tahun berulang ditempat yang sama terutama pada kawasan bergambut.

Gambar 1 Distribusi Titik Api Periode September 2000 sampai Juli 2008

Sebaran Titik Api Berdasarkan Jenis Tanah

Gambar 2. Perbandingan Jumlah Titik api pada tanah gambut dan tanah Mineral

Titik api tersebar pada dua tipe tanah, yaitu tanah mineral dan tanah gambut. Dari 57027 titik api yang ditemukan 17259 titik api ditemukan pada tanah mineral atau 30,24% sedangkan 39813 atau 69,76% lainnya dijumpai pada tanah bergambut dengan kedalaman bervariasi. Lihat gambar 1 dan tabel 1

Tabel 1. Distribusi titik api pada kawasan bergambut.

Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa distribusi titik api paling banyak terdapat pada gambut dengan kedalaman 4 meter lebih dengan jumlah titik api ditemukan sebanyak 13909 atau 24,37%. Sedangkan paling kecil berada pada kawasan gambut dangkal dengan kedalaman kurang dari 0,5 meter dengan jumlah titik api sebanyak 239 buah atau 0,4%. Dalam beberapa regulasi telah ditegaskan bahwa kawasan bergambut dengan kedalama 3 meter atau lebih harus dilindungi. Regulasi yang mengatur itu diantaranya:

  1. Kepres No 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung
  2. PP 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional yang sebelumnya diatur dengan PP 47 tahun 1997.
  3. SK.101/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas.
  4. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 246/Kpts-II/1996 tentang Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri
  5. UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

Dalam implementasinya regulasi tentang perlindungan kawasan bergambut ini tidak dijalankan dengan sungguh sungguh, yang terjadi adalah Baik mentri, guberbur maupun bupati berlomba menerbitkan izin pemanfaatan ruang pada kawasan tersebut. Jadi tidaklah mengherankan kalau kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi langganan tahunan di provinsi riau.

Kebakaran pada lahan gambut ini selalu berulang setiap tahun pada lokasi yang sama, ini menunjukkan bahwa pengelolaan lahan gambut memiliki resiko yang besar terhadap kebakaran. Hal ini dikarenakan oleh pembuatan kanal kanal sebagai drainase untuk pengeringan lahan gambut tersebut. Sehingga terjadi penurunan muka air tanah pada kawasan bergambut yang akhirnya berdampak pada kekeringan yang tinggi dan mudah terbakar baik disengaja maupun tidak.

Dibukanya lahan gambut oleh perusahaan besar berdampak nyata dengan kedatangan migran dan masyarakat lokal yang juga berlomba membuka lahan yang berdekatan dengan konsesi perusahaan karena telah dibuat akses jalan/ kanal sehingga memudahkan eksploitasi oleh masyarakat tempatan. Akibatnya terjadi pergeseran pola penggunaan lahan yang biasanya arif dan bijaksana oleh masyarakat ke pola pola destruktif.

Distribusi Titik api berdasarkan penguasaan lahan
Berdasarkan Pola penguasaan lahan atau izin pemanfaatan ruang maka titik api terdistribusi pada Kawasan Kelola masyarakat dan kawasan lindungKawasan yang telah diberikan hak pemanfaatan ruang (HTI dan Perkebunan)

Tabel 2. Distribusi Titik Api Berdasarkan Penguasaan Lahan

Dilihat dari pola penguasaan lahan maka distribusi titik api lebih banyak berada pada kawasan yang telah diberikan izin pemanfaatan ruang (HTI dan Perkebunan). Sekitar 60,88% sedangkan pada kawasan kelola masyarakat dan kawasan lindung hanya 39,12%

Dari porsi ini dapat secara jelas terlihat bahwa yang berkontribusi besar dalam melakukan kebakaran hutan adalah pemilik izin pemanfaatan ruang (HTI dan Perkebunan). Karena ketika izin tersebut diberikan oleh negara terhadap pemilik izin tersebut maka serta merta tanggung jawab negara dalam mengelola kawasan tersebut berpindah ketangan penerima izin, beserta dampak dampak yang ditimbulkannya. Posisi pemerintah dalam hal ini berada pada penegakan hukum lingkungan baik itu atas kesengajaan maupun kelalaian.

Fakta penegakan hukum yang dilakukan aleh aparat penegak hukum lebih cenderung pada petani skala kecil, yang melakukan pembakaran lahan utk bertani maupun berkebun. Sedangkan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh koorporasi atau perusahaan sangat minim. Semenjak tahun 2000, Perusahaan yang divonis bersalah oleh pengadilan hanya 2 perusahaan yaitu PT Jatim jaya Perkasa dan PT Adei Plantation. Sedangkan gugatan lingkungan yang dilakukan oleh para aktifis lingkungan selalu kalah di pengadilan


Titik Api pada konsesi Perusahaan

Tabel 3 Distribusi Titik Api pada jenis konsesi

Dari tabel 3 dapat kita lihat bahwa titik api terbanyak dijumpai pada konsesi HTI, yaitu sekitar 20.353 atau sekitar 35,66% sedangkan pada konsesi perkebunan sebanyak 14395 titik api atau 25,22%.

Tabel 4. Sepuluh Konsesi HTI terbanyak yang terdeteksi memiliki titik api dari 68 perizinan HTI.

Kebakaran berulang pada tempat yang sama (Studi kasus PT Bukit Batu Hutani Alam)

Jumlah titik api yang dijumpai Konsesi PT Bukit Batu Hutani Alam pada periode september 2000 sampai Juli 2008 adalah sebanyak 1704 atau 2,99% dari total titik api. Setiap tahun ditemukan titik api pada kawasan ini.

Gambar 3 Frekwensi titik api periode 2002-2008 Pada PT Bukit Batu Hutani Alam

Gambar 4 Distribusi Titik api pada PT Bukit Batu Hutani Alam


Penyebab Kebakaran Lahan Gambut

Pengelolaan lahan gambut pada umumnya dilakukan dengan cara membuat kanal sebagai upaya pengeringan lahan tersebut untuk ditanami tanaman pertanain, perkebunan maupun kehutanan. Akibat dari pembuatan kanal ini maka akan terjadi penurunan muka air pada kawasan gambut. Pada musim kemarau terjadi kekeringan pada permukaan gambut, sedangkan gambut dengan kadar air rendah akan sifatnya sangat mudah terbakar karena mempunya kandungan karbon yang cukup tinggi.

Gambar 5 Plang Nama Perusahaan Doc Kabut Riau 2005
Gambar 6 Lahan Gambut Bekas Terbakar Doc Kabut Riau 2005
Gambar 7Kanal Utama Sebagai Jalur Transportasi Doc: Kabut Riau 2005
Gambar 8Gambut Kering Doc: Kabut Riau 2005


Kawasan Rawan Bencana

Kalau dilihat dari pemakaian istilah “kebakaran hutan” kuranglah tepat. Yang tepat adalah “pembakaran hutan”. Kenapa? karena istilah pertama cenderung menghasilkan perngertian ketidaksengajaan dalam kejadian kebakaran. Padahal dengan kondisinya yang seperti itu, hutan, sangatlah tidak mungkin menciptakan kondisi dimana api dapat menyala secara alami. Olah karenanya, “pembakaran hutan” merupakan istilah yang sangat tepat. Dan yang dapat mengintervensi segitiga api adalah manusia.

Terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan karakteristik lahan yang sama setiap tahun. Beberapa dampak yang ditimbulkan diantaranya:

Box 2. Beberapa Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran lahan antara lain:

Kawasan bergambut yang setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa kawasan tersebut telah gagal dikelola sebagai kawasan budidaya. Melihat dari besarnya dampak yang ditimbulkan sudah seharusnya dilakukan penanggulangan menyeluruh terhadap kebakaran ini dalam rencana tata ruang provinsi dengan menetapkan kawasan rawan kebakaran ini sebagai kawasan rawan bencana.


Kesimpulan:

  • Munculnya bencana asap di riau setiap tahun (periode 2000-2008) diakibatkan oleh izin pemanfaatan ruang yang diberikan terhadap perusahaan besar yang ada di provinsi riau dengan kontribusi titik api berjumlah sekitar 34748 atau 60,88%.
  • Kebakaran Terjadi Akibat degradasi lingkungan sebagai akibat dari pemberian izin pemanfaatan ruang pada kawasan yang berkategori lindung menurut kepres 32 tahun 1990, PP 47 tahun 1997 dan PP 26 tahun 2008.
  • Jumlah Titik api yang menimbulkan asap berada pada kawasan bergambut pada periode 200-2008 dengan jumlah titik api 39.813 atau 69,76% dari total titik api.
  • Penyebab dari kebakaran pada kawasan bergambut terjadi karena pembuatan drainase skala besar, sehingga mengganggu keseimbangan hidrologi pada kawasan gambut pada musim kemarau.
  • Terjadinya kebakaran berulang setiap tahun mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan bergambut gagal dikelola sebagai kawasan budidaya.
Saran:
  • Kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih harus ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) sebagaimana yang diamanatkan Kepres No 32 Tahun 1990 dan PP 26 tahun 2008.
  • Kawasan Bergambut yang rawan terbakar atau terjadi kebakaran berulang setiap tahun sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana dalam Rencana tata ruang Provinsi maupun kabupaten, serta dilakukan pemulihan fungsi hidrologi dengan menutup kanal kanal yang terdapat pada kawasan tersebut.
  • Seluruh Izin Pemanfaatan ruang yang berada pada kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih harus dicabut perizinannya sesuai dengan amanat UU no 26 tahun 2007.
  • Kawasan budidaya yang berada pada kawasan bergambut yang kurang dari 3 meter, harus dikelola dan diawasi dengan ketat.
  • Melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan yang melakukan pembakaran lahan baik secara sengaja ataupun akibat dari kelalaian pengelolaan.
  • Menghentikan sementara (moratorium) aktifitas konversi lahan gambut serta melakukan riset dan pembuatan peta lahan gambut yang boleh dikonversi atau harus dilindungi sebagai kawasan bergambut atau kawasan rawan bencana.

Daftar Pustaka:

  1. http://www.detiknews.com/read/2009/02/18/154817/1086819/10/pemprov-riau-nilai-kebakaran-hutan-tidak-disengaja
  2. Kepres No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
  3. PP No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
  4. UU No 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang
  5. http://id.wikipedia.org/wiki/Kebakaran_liar
  6. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2001-2015
  7. Data Hotspot November 2000 sampai Juli 2008 satelit Modis (terra dan Aqua)

Read more...

2.13.2009

KPK Kembangkan Kasus Pelalawan"Akan kami telusuri sampai pelaku utamanya."

Koran Tempo/12 Feb 09
http://groups.yahoo.com/group/Forum-Diskusi-Jikalahari/message/2905

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi mengembangkan penyidikan kasus dugaan korupsi di Kabupaten Pelalawan. "Makanya pekan lalu tim penyidik diturunkan ke Riau untuk melakukan supervisi," kata Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar memastikan hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di gedung DPR kemarin.

Antasari menjelaskan, bisa saja ada tersangka baru dari pengembangan kasus ini. Namun, Komisi masih berfokus pada tiga tersangka yang saat itu menjabat Kepala Dinas Kehutanan Riau. Ketiga tersangka itu adalah Syuhada Tasman, Asral Rachman, dan Burhanuddin Husin. Penyidik, ujarnya, masih mengumpulkan alat bukti untuk memperkuat kasus ini bisa dibawa ke
pengadilan.

"KPK tidak bisa mengeluarkan SP3. Jadi, kalau sudah tersangka, kasus harus sampai ke pengadilan," kata Antasari menjawab anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDIP, Gayus T. Lumbuun, yang mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi segera memproses kasus Pelalawan ke pengadilan.

Memang sejauh ini baru mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar yang dibawa ke pengadilan. Ia dijatuhi hukuman 16 tahun penjara oleh majelis hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada akhir Desember 2008. Sebelumnya, pada 16 September 2008, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Azmun 11 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan membayar uang pengganti Rp 12,36 miliar. Ia terbukti menyalahgunakan penerbitan Iuran Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman. terhadap sejumlah perusahaan.

Azmun memprotes langkah Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani kasusnya. "Jika saya dihukum karena korupsi, mengapa cuma saya sendiri yang dihukum? Dengan siapa saya melakukan korupsi, kalau begitu?" kata Azmun kepada Tempo, akhir Januari lalu.

Lagi pula, kata Azmun, sekitar 10 izin yang dikeluarkannya sudah diverifikasi oleh Departemen Kehutanan. Hasilnya tidak ada pelanggaran. "Tapi kenapa sekarang saya diseret dalam kasus ini? Mana yang lain? Ini tidak adil," ujarnya kesal.

Pengacara Azmun, Maqdir Ismail, menambahkan, "Ini kan ibarat korupsi berjemaah, tapi yang dihukum kok cuma Pak Azmun?" Menurut Maqdir, dia tengah mempersiapkan memori kasasi untuk menuntut keadilan hukum bagi kliennya.

Sebelumnya, Bibit menjelaskan, pengembangan kasus Pelalawan memang tengah membidik pelaku lainnya. Namun, penyidik perlu berhati-hati dalam menanganinya. Misalnya mengenai dugaan keterlibatan Gubernur Riau Rusli Zaenal. Komisi, ujarnya, masih mencari alat bukti lain. "Kita perkuat dulu karena baru satu alat bukti. Paling tidak ada dua alat bukti. Yang jelas, kalau dia ikut salah, apa boleh buat," ujar Bibit kepada Tempo, akhir Januari lalu, di ruang kerjanya.

Namun, apa saja alat bukti itu, Bibit menolak menjelaskannya dengan alasan untuk keamanan pengusutan kasus. "Saya tidak bisa omongi itu karena, kalau diomongi, pasang kuda-kuda dia, memberi peluru buat dia," kata Bibit.

Dari Riau, sumber Tempo kemarin mengungkapkan bahwa pekan depan Gubernur Riau Rusli Zaenal akan diperiksa kembali oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Bibit, yang diminta konfirmasinya, hanya berujar, "Mudah-mudahan, kita lihat saja nanti." Sedangkan Ferry Wibisono mengatakan belum ada jadwal untuk memanggil Rusli Zaenal. "Belum ada, " ujarnya kemarin.

Sedangkan dugaan keterlibatan 15 perusahaan yang disebut-sebut terafiliasi dengan PT Riau Andalan Pulp & Paper dan PT Indah Kiat Pulp & Paper, Bibit mengatakan Komisi dapat menggunakan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur Komisi berwenang menangani korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang-orang yang terkait dengan ini. "Kalau memang (15 perusahaan) ada bukti ikut merekayasa keluarnya izin."

Bahkan, menurut pelaksana tugas Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, Ferry Wibisono, putusan pengadilan banding untuk Azmun menjadi terobosan bagus bagi pengembangan penyidikan kepada 15 perusahaan itu. "Majelis hakim memerintahkan penyitaan kayu dari perusahaan-perusaha an itu," ujarnya kepada Tempo kemarin.

Namun, dari rapat dengan Komisi Hukum DPR kemarin, Antasari menjelaskan dari penyidikan kasus Pelalawan ternyata berkembang ke sejumlah kabupaten lainnya. Komisi, ujarnya, berpedoman pada laporan Kepala Kepolisian Daerah Riau di masa Sutjiptadi. Di masa Sutjiptadilah genderang perang melawan pembalakan liar ditabuh.

Bibit mengungkapkan tiga tersangka kasus Pelalawan tersebut diduga melakukan praktek serupa di sejumlah kabupaten lainnya di Riau, seperti di Kabupaten Indragiri Hulu, Rokan Hilir, Rokan Hulu, dan Siak. "Tiga mantan kepala dinas ini juga mengeluarkan RKT (rencana kerja tahunan) untuk kabupaten lain," katanya.

Mencermati kasus yang tengah berkembang ini, Bibit mengaku pihaknya harus hati-hati karena tak mudah mengurai benang kusut kasus korupsi tersebut. Namun, dia berjanji akan mengusut kasus ini sampai tuntas. "Akan kami telusuri sampai pelaku utamanya," Bibit menegaskan (Lihat
"Kesaksian yang Menyudutkan").
Menurut Bibit, modus yang ditemukan sama. Selain izin pemanfaatan kayu yang keluar tidak mematuhi peraturan, ujarnya, karena ada temuan dugaan praktek suap di sejumlah kabupaten lainnya. Sehingga mengakibatkan kerugian negara bisa jadi lebih besar lagi.

Sebagai gambaran, untuk kasus Pelalawan, penyidik menghitung kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun. Angka sebanyak itu diperoleh setelah menghitung nilai kayu yang diambil 15 perusahaan penerima RKT dari tiga tersangka dan izin usaha dari Bupati Pelalawan setelah dikurangkan setoran provisi sumber daya hutan dan dana reboisasi.

Bisa dibayangkan besarnya kerugian negara jika kejahatan serupa terjadi di sejumlah kabupaten lain. Maria Hasugian Cheta Nilawaty Jupernalis Samosir

Kesaksian yang Menyudutkan
Kasus pengungkapan dugaan korupsi Rp 1,2 triliun pemberian izin kehutanan di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, tidak akan berhenti pada vonis yang diterima bekas Bupati Pelalawan Tengku Azmun. Komisi Pemberantasan Korupsi berjanji akan terus mengembangkan kasus ini dan menjerat pejabat lain yang terlibat. Gubernur Riau Rusli Zainal adalah salah satu tokoh yang disebut-sebut terkait dengan kasus ini. Rusli pernah diperiksa penyidik KPK. Sejumlah saksi yang dihadirkan dalam persidangan Azmun dan dokumen pemeriksaan di KPK menyudutkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Riau itu.

Bekas Kepala Dinas Kehutanan Riau Syuhada Tasman "RKT ini kan rutin. Di samping itu, kita perlu percepatan pembangunan hutan tanaman. Siapkan saja. Kalau perlu, saya tanda tangani," ujar Rusli Zainal seperti dituturkan Syuhada kepada penyidik KPK pada 13 November 2007.

Jaksa KPK Riyono
"Langkah Rusli Zainal meneken dan mengesahkan RKT itu melanggar kewenangannya sebagai gubernur. Sebab, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6652/KPTS-II/2002 tanggal 4 Juli 2002, kewenangan itu ada pada Kepala Dinas Kehutanan Riau."

Bekas Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Frederick Suli "Izin RKT yang diberikan Rusli terdapat di area hutan alam yang masih terdapat tegakan pohon. Kebijakan ini juga menyimpang karena pemberian izin RKT tidak berdasarkan perhitungan di lapangan, melainkan hanya
perhitungan yang tercantum dalam dokumen." (Saat bersaksi dalam persidangan Azmun Jaafar pada 4 Juli 2008)

Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto
"Dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum, perbuatan itu dilakukan bersama-sama dengan Gubernur Riau."

Gubernur Riau Rusli Zainal
"Saya pernah sahkan RKT pada triwulan pertama 2004, ketika saya pertama kali menjadi gubernur. Itu berdasarkan pertimbangan teknis kepala dinas. Apabila ada kekeliruan, merupakan tanggung jawab kepala dinas." (Saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, 22 Juli 2008).

"Saya teken dengan catatan memperhatikan nota kepala dinas. Saya gubernur, kalau dikasih persoalan teknis, mana tahu urusan-urusan kehutanan."

"Saya akan hormat dan penuhi proses hukum di KPK."


Read more...

KPK Kaji Ambil Alih Kasus 13 Perusahaan Kehutanan di Riau

Koran Tempo/12 Feb 2009
Sumber: http://asia.groups.yahoo.com/group/Pulp_and_paper_forum/message/446

JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi membuka kemungkinan mengambil alih kasus dugaan pembalakan liar oleh 13 perusahaan di Provinsi Riau yang telah dihentikan penyidikannya oleh polisi.

Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja mengatakan pengambilalihan dilakukan karena penyidikan oleh Kepolisian Daerah Riau memiliki titik singgung dengan pengungkapan kasus serupa yang dilakukan KPK.

Apalagi, menurut dia, dalam pengungkapan kasus yang melibatkan Bupati Pelalawan, terbukti ada unsur melawan hukum dalam prosedur pemberian izin. "Dengan alasan itu, KPK akan terus mengembangkan kasus ini," ujar Ade dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta kemarin.

Ade melanjutkan, penyidikan KPK akan berfokus pada penyimpangan izin yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan tersebut. Sebab, izin yang diberikan dalam undang-undang adalah melakukan aktivitas penebangan kayu hutan. "Tapi pada faktanya izin diberikan di atas hutan alam," ujarnya.

Dia menegaskan, koordinasi dengan aparat kepolisian baru akan dilakukan apabila ditemukan indikasi korupsi. Namun, meski dalam surat perintah penghentian penyidikan (SP3) 13 perusahaan oleh Kepolisian Daerah Riau indikasi yang ditemukan masih pidana umum, KPK tetap meneliti kasusnya. "Pasti akan kamu kembangkan penyidikan kasus ini," katanya.

Langkah Kepala Polda Riau Brigadir Jenderal Hadiatmoko (saat ini menjabat Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian RI) mengeluarkan SP3 terhadap 13 perusahaan pada 22 Desember 2008 telah menuai kecaman dari sejumlah kalangan. Hadiatmoko beralasan keluarnya SP3 itu karena adanya perbedaan persepsi antara polisi sebagai penyidik dan jaksa penuntut.

Sehubungan dengan itu, Komisi Hukum DPR menyelidiki terbitnya SP3. "Kami mau melihat apakah SP3 tersebut diterbitkan sesuai dengan perundang-undangan, " kata Mayasyak Johan, anggota Komisi Hukum DPR.

Ketua Jurusan di Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Zul Akrial, mengatakan SP3 bukan merupakan putusan final dan berkekuatan tetap. Dalam hukum pidana, kata dia, SP3 itu masih dalam proses dan tidak berkekuatan tetap. "Sangat terkesan kuat, polisi melindungi perusahaan," ujarnya. SETRI CHETA NILAWATY

Read more...

2.11.2009

Walhi: Usut Alih Fungsi Hutan Lindung Muarojambi

Ekosistem hutan agar dipulihkan.

JAMBI - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak kasus alih fungsi Taman Hutan Raya Senami untuk lahan transmigrasi diusut tuntas. "Ini telah melanggar undang-undang tentang kehutanan," kata Koordinator Walhi Jambi Arif Munandar kemarin.

Pemerintah Kabupaten Muarojambi membabat 133,1 hektare lahan di kawasan Taman Hutan Raya Senami. Semula, lahan itu rencananya akan dijadikan kawasan permukiman untuk transmigran asal Blitar, Jawa Timur.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Muarojambi Muhammad Yamin sebelumnya mengatakan pembangunan permukiman di kawasan itu tidak disengaja. Dia mengaku tidak tahu bahwa daerah itu termasuk kawasan taman hutan raya. Statusnya baru jelas ketika proyek hampir selesai. "Ini akibat kekeliruan membaca peta," katanya, Kamis lalu.

Pembangunan 131 unit rumah di Desa Aur, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi, itu sudah dilakukan sejak Mei silam. Proyek ini menghabiskan anggaran belanja negara sekitar Rp 6,7 miliar, yang akhirnya terbuang percuma.

Menurut Arif, alih fungsi hutan semestinya harus mendapat izin dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen Kehutanan. Namun, prosedur itu telah dilanggar oleh pemerintah Kabupaten Muarojambi.

Bupati Muarojambi Burhanuddin Mahir hanya mengusulkan kepada gubernur untuk membangun kawasan transmigrasi di hutan lindung Senami. Usulan itu tertuang dalam surat tanggal 10 Desember 2008.

Selain mendesak agar kasus ini diusut tuntas, Walhi meminta fungsi hutan Senami dikembalikan seperti semula, yaitu sebagai ekosistem yang dibutuhkan untuk lingkungan sekitar.

Sebelumnya, Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Muarojambi Syaifuddin Anang meminta agar lokasi permukiman bagi transmigran, segera dipindahkan. "Jika ternyata ada pihak yang bersalah, kami akan bertindak tegas," katanya.

Yamin sudah menyatakan pembangunan tidak akan diteruskan dan segera dipindahkan ke tempat lain. Dia juga akan meminta tanggung jawab kontraktor proyek, yaitu PT Gemilang Bangun Utama, untuk membangun kembali rumah baru bagi transmigran.

Ketika dimintai konfirmasi tentang masalah ini, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muarojambi Agus Priyanto menolak berkomentar. Dia beralasan kasus itu sudah ditangani polisi. "Tanyakan saja langsung ke pihak kepolisian," katanya, Kamis lalu. Kepala Kepolisian Resor Muarojambi Ajun Komisaris Besar Tedjo Dwikora sebelumnya mengatakan kasus ini sudah dilimpahkan ke Kepolisian Daerah Jambi. SYAIPUL BAKHORI

Sumber :
Koran Tempo
Read more...

2.09.2009

Hentikan Sertifikasi PHTL pada Hutan Tanaman Industri

PRESS RELEASE (FWI dan Telapak)

Lembaga Ekolabel Indonesia Harus Hentikan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari Pada Konsesi Hutan Tanaman Industri

Bogor, 9 Pebruari 2009. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) harus berhenti mengeluarkan sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) bagi perusaan HTI yang melakukan konversi hutan alam atau membuka ekosistem gambut ketika membangun hutan tanamannya, demikian diserukan 2 LSM lingkungan, Forest Watch Indonesia (FWI) dan Telapak hari ini.

LEI yang baru saja menyelenggarakan kongres keduanya di Bogor telah mengeluarkan sertifikasi PHTL kepada dua perusahaan HTI. Kedua perusahaan tersebut adalah PT. RAPP di Riau dan PT.WKS di Jambi yang dalam prakteknya melakukan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman di areal konsesinya. Sebagian areal konsesi kedua perusahaan ini juga terbukti berada pada ekosistem gambut.

Wirendro Sumargo, Direktur Eksekutif FWI mengatakan, “Selama ini sertifikasi PHTL LEI hanya melihat kelestarian pengelolaan setelah hutan tanaman terbangun, tetapi melupakan dampak ekologi ketika hutan alam dikonversi terlebih di areal bergambut. HTI yang dibangun dengan melakukan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman monokultur jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari”.

Pemerintah sendiri telah mengeluarkan kriteria areal untuk pembangunan HTI yaitu pada kawasan berupa areal kosong dan areal yang penutupan vegetasinya berupa non hutan (semak belukar, padang alang-alang, dan tanah kosong). Akan tetapi kenyataannya banyak HTI yang dibangun pada kawasan hutan bekas tebangan yang masih produktif (logged-over area) atau bahkan pada kawasan hutan perawan ( virgin forest).

Sementara itu pada tahun 2008 pemerintah kembali mengeluarkan ijin baru untuk 18 perusahaan HTI, salah satu di antaranya adalah PT. Semesta Inti Selaras yang merupakan anak perusahaan Medco Group. Perusahaan ini memperoleh ijin konversi hutan alam asli di Papua seluas lebih dari seperempat juta hektar yang berdasarkan pemantauan Telapak sebagian besar di antaranya masih dalam kondisi baik.

“ Membuka areal HTI pada kawasan hutan alam dan ekosistem gambut sama artinya dengan mengabaikan resiko deforestasi, kebakaran hutan, konflik sosial, dan perubahan iklim. Sertifikasi PHTL pada HTI harus segera dihentikan sampai ada jaminan areal HTI tidak dialokasikan pada kawasan hutan alam yang masih produktif dan pada lahan gambut!” demikian kembali ditegaskan Wirendro.

Sementara itu Husnaeni Nugroho, juru kampanye Telapak menambahkan, “Sertifikasi di Sumatera ini terlihat seperti sebuah label kelestarian yang menyesatkan. LEI harus menghentikan skema ini, atau resiko kerusakan hutan yang sama akan menimpa hutan-hutan Papua.”
# # #

Informasi lebih lanjut:
Wirendro Sumargo, +62-815 9280 585, rendro@fwi.or.id
Husnaeni Nugroho, +62-813 2884 1307, unang@telapak.org

Catatan Editor:

  1. Forest Watch Indonesia merupakan jaringan pemantau hutan independen yang terdiri dari individu-individu dan organisasi-organisasi yang memiliki komitmen untuk mewujudkan proses pengelolaan data dan informasi kehutanan di Indonesia yang terbuka sehingga dapat menjamin pengelolaan sumberdaya hutan yang adil dan berkelanjutan.
  2. Telapak adalah organisasi lingkungan berbasis individu yang berkedudukan di Bogor.
  3. Kongres II LEI diselenggarakan di Bogor pada 7-8 Februari 2009 dan diikuti oleh seluruh konstituen LEI dari berbagai stakeholder. Keadilan dan kelestarian pengelolaan sumberdaya alam menjadi tema sentral dalam perhelatan empat tahunan ini.
  4. PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam pembangunan HTI di bawah payung usaha Asia Pacific Resources International Holdings Ltd. (APRIL). Sedangkan PT WKS (Wira Karya Sakti) merupakan salah satu perusahaan di bawah payung usaha Asia Pulp and Paper Company Ltd. (APP) yang tergabung dalam grup Sinar Mas
  5. Forest Watch Indonesia melakukan analisis perubahan tutupan hutan antara tahun 1989 hingga 2006 di Provinsi Riau dan Jambi, di mana masing-masing mengalami kehilangan hutan sebesar 3,1 juta hektar dan 1,1 juta hektar. Secara khusus di areal konsesi HTI PT RAPP dan PT WKS, terjadi kehilangan hutan masing-masing sebesar 176 ribu hektar dan 75 ribu hektar, termasuk di dalamnya 71 ribu hektar dan 17 ribu hektar di atas lahan gambut.
  6. Hutan alam dan ekosistem gambut merupakan kawasan yang khas dan memiliki keanekaragamanan hayati tinggi dan penting bagi kehidupan masyarakat adat/lokal yang mendiaminya. Ekosistem gambut juga menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar.
  7. PT.Selaras Inti Semesta adalah perusahaan HTI dengan ijin luasan konsesi sebesar 259.000 ha, berlokasi di Distrik Muting, Kurik, Kaptel, dan Animha, kabupaten Merauke, Papua. Hasil analisis data dari dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) yang dilakukan Telapak menunjukkan bahwa 124.456 hektar (48%) dari areal konsesinya merupakan hutan alam dengan kondisi baik, dan hanya 84.247 hektar (33 %) saja yang bukan kawasan berhutan.

Read more...

2.08.2009

Kebijakan Hutan Adat Kedepan


Peraturan pemerintah mengenai hutan adat adalah mandat dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pembahasan RPP Tata Cara Penetapan Dan Pengelolaan Hutan Adat (disingkat RPP HA) ini telah berlangsung hampir sepuluh tahun dan saat ini RPP HA ini telah sampai pada proses pembahasan antar departemen. Isu-isu penting dalam RPP ini diantaranya :

  1. RPP ini mengatur tentang pengukuhan dan hapusnya masyarakat adat.
  2. RPP ini menempatkan hak kelola hutan adat berupa hak berian, bukan hak bawaan sebagai masyarakat adat
  3. RPP ini menginginkan hutan adat itu hanya berada pada kawasan hutan produksi dan Lindung, serta bukan diwilayah konservasi.
  4. RPP ini menentukan bahwa pengelolaan hutan adat hanya dalam lingkup pemanfaatan hasil hutan kayu dan non kayu untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan bukan untuk diperdagangkan.
Download dokumen:
1. Download Pdf Draft RPP 29 Januari 2008
2. Download Pdf Presentasi Dephut mengenai arah kebijakan hutan adat
3. Download Pdf Paper RPP Hutan Adat LEI
4. Download Pdf Peluang dan Tantangan Hutan Adat

http://andiko2002.multiply.com/journal/item/57/Kebijakan_Hutan_Adat_Kedepan
Read more...

Protest against fire-bombing of Indonesian village linked to plantation company

Since 24.12.08 1276 people have participated in this protest action.
Procedure: if you sign, your signiture an adress will be sent automatically to the email adresses below. But if you want to do more we encourage you to send individual messages to the adresses below.
INFO:
On 18th December, a village in Riau Province, Sumatra, was attacked by armed police and paramilitaries and also fire-bombed from a helicopter. This is a serious escalation of violence and human rights abuses in one of many land conflicts related to plantation expansion in Indonesia. The village of Suluk Bongkal was attacked by the police and by over 500 paramilitaries, armed with fire-arms and tear gas. A helicopter dropped incendiary devices which eye witnesses reported contained napalm. Although the nature of the bombs has not yet been confirmed, hundreds of houses immediately went up in flames. Two toddlers were killed, 400 villagers fled into the forest. Others were detained and 58 people remain in the village, under enormous psychological pressure and cut off from the outside. On 20th December, a helicopter dropped stones on tents set up by refugees from the village.

The violence is linked to Sinar Mas, one of the largest pulp and paper and palm oil plantation companies in Indonesia. This particular plantation belongs to Sinar Mas subsidiary Asia Pulp and Paper (APP), which reportedly owns the helicopter used in the attacks. APP is one of the two largest pulp and paper companies in Indonesia. Many of their plantations have been set up in contravention of Indonesian laws, involving the destruction of highly biodiverse rainforests, plantings in water catchment areas and on steep slopes, and the displacement of communities. The plantation industry in Riau province is also linked to the deforestation, drainage and burning of peat swamps, one of the largest single sources of climate-change causing carbon dioxide emissions in the world.


Please sign the letter below which will be sent to authorities in Indonesia and which supports demands by WALHI (Friends of the Earth Indonesia) that the state authorities must guarantee the human rights of the population and investigates and punishes those responsible for this crime, and that the business permit granted to the plantation company in question must be withdrawn and that the rights of the population must not be sacrificed for companies’ economic interests.

Fax addresses:
Arara Abadi Fax 0062 761-91320
President of Indonesia Fax : 0062-213452685
Mabes Polri (Police Headquarter in Jakarta ) Fax : 0062-21 7207277
Kapolres Bengkalis (Police in Bengkalis District) Fax : 0062-766 23540
Bupati Bengkalis (District Head in Bengkalis) Fax : 0062-766 21669
Governor of Riau Province, Fax : 0062-761 33477
Polda Riau (Police in Riau Province), Fax : 0062-761 20084
Email copy of pdf to: National Human Rights Commission, Komnas: info@komnasham.go.id, webmaster@komnasham.go.id – Alex Mandalika ( Dir Reksrim Polda Riau )
by text message/SMS
+62 812 – 6201 -962.
- General Bambang Hendarso Danuri
Chief of National Police
Jl. Trunojoyo No. 3
Jakarta Selatan
INDONESIA
Fax: +62 21 720 7277
Tel: +62 21 721 8012
Email: info@polri.go.id
- Mr. Ifdhal Kasim
Chairperson
KOMNAS HAM (National Human Rights Commission)
Jl. Latuharhary No. 4B Menteng
Jakarta Pusat 10310
INDONESIA
Fax: +62 21 3151042/3925227
Tel: +62 21 3925230
E-mail: info@komnasham.or.id .
- Mr. Susilo Bambang Yudoyono
President
Republic of Indonesia
Presidential Palace
Jl. Medan Merdeka Utara
Jakarta Pusat 10010
INDONESIA
Fax: + 62 21 231 41 38, 345 2685, 345 7782
Tel: + 62 21 3845627 ext 1003
E-mail: presiden@ri.go.id

Read more...

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi