1.21.2009

Keterangan Saksi Ahli Kasus Illegal Logging Riau

Lihat Video


Sekilas Betjo Sentosa

S3 nya dari ekonomi, S1 dan S2 dari kehutanan. Sewaktu menjadi saksi ahli untuk 13 kasus ilegal logging di Riau masih menjabat sebagai Kasubdit Rencana Kerja, dimana beliau ditunjuk oleh menteri kehutanan sebagai saksi ahli. Istrinya adalah orang Riau. Dan Betjo ini juga pernah menjadi saksi ahli pada persidangan kasus adelin lis, ilegal logging papua dan Kaltim.


Menurut Betjo, terkait dengan kasus-kasus dimana dia menjadi saksi ada 2
bentuk pelanggaran :
1. Pelanggaran administrasi, misalnya menebang diluar blok tebangan
2. Pelanggaran pidana, misalnya menabang diluar areal konsesi

Terkait dengan PP 34/2002 yang dikeluarkan 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, *Pasal 42, */Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur /Menurutnya, jika permohonan sudah sampai pada persetujuan prinsip sebelum PP tersebut keluar maka dapat dilanjutkan selambatnya sampai dikeluarkannya SK Menhut No 32/2002. Kemudian Jika permohonan diajukan setelah PP tersebut keluar, maka akan dilakukan sistem lelang sampai selambatnya 5 Februari 2003

Menurut Dr Ir Betjo Sentosa, MSi dimana ada sejumah peraturan yang menyebutkan bahwa areal HTI dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi yang tidak produktif seperti Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 tentang pedoman pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman, tanggal 6 November 2000 dan Kepmenhut 21/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman pada hutan produksi, tanggal 31 Januari 2001 adalah *INKONSISTEN* TERHADAP ATURAN YANG LAINNYA. PP 7/1990 juga menyebutkan izin HTI harus berada di areal hutan produksi yang tidak produktif.

Dasar ARGUMENTASINYA : PP 6 tahun 1999, yang menyebutkan *AREAL TIDAK TUMPANG TINDIH dengan areal konsesi lainnya Kesimpulan dari Betjo : SEPANJANG TIDAK TUMPANG TINDIH MAKA IZIN BOLEH DIBERIKAN, MESKIPUN DI HUTAN ALAM

Faktanya dari 13 perusahaan yang di SP3 kan:
1. PT Madukoro tumpang tindih dengan HPH PT Yos Raya Timber
2. PT Bukit Betabuh Sei Indah tumpang tindih dengan HPH PT IFA

Terkait dengan peruntukan, Menurut Departemen Kehutanan sebelum adanya paduserasi antara RTRWP (Rencana Tataruang provinsi) dengan TGHK, maka yang menjadi acuan pemberian izin adalah *TGHK*, Faktanya dari 13 perusahaan yang di SP3 kan :
1. PT Merbau Pelalawan Lestari berada di peruntukan HPK (hutan produksi yang dapat di konversi) dan HPT (hutan produksi terbatas)
2. PT Nusa Prima Manunggal berada di peruntukan HPT
3. PT Bukit Betabuh Sei Indah berada di peruntukan HPT
4. PT Citra Sumber Sejahtera berada di peruntukan HPT
5. PT Mitra Kembang Selaras berada di peruntukan HPT dan HPK
6. PT Inhil Hutan Pratama berada diperuntukan HPT, HP (Hutan Produksi) dan HPK
7. PT Arara Abadi Minas berada diperuntukan HPT dan HPK
8. PT Suntara Gaja Pati berada di peruntukan HPT, HPK dan HP

Sayangnya pertanyaannya TIDAK DILANJUTI DENGAN HAMPARAN GAMBUT.........In attachment contoh lokasi yang dikunjungi oleh Tim Dephut dan POLRI, dimana Betjo Santosa dan Hadiatmoko (Kapolda Riau sekarang) menyaksikan KERUSAKAN AREAL TERSEBUT
Sumber:


Dalam Penataan Ruang
Hutan Produksi terbatas hanya diperbolehkan untuk "budidaya hutan alam". (PP 26 2008)
Izin Pemanfaatan Ruang harus ditertibkan (UU No 26 2007)
"Izin yang tidak sesuai atau akibat perubahan rencana tata ruang harus dicabut "

Ini merupakan studi kasus penertiban pola pemanfaatan ruang yang menarik, dan barangkali berguna bagi penyusunan PP yang mengatur Mekanisme penertiban perizinan dalam Penataan Ruang
Read more...

1.11.2009

Dephut Izinkan Gunakan Kayu Hutan Alam

JAKARTA, JUMAT - Departemen Kehutanan (Dephut) memberi kesempatan kepada industri pulp dan kertas menggunakan kayu dari hutan alam jika pasok kayu dari hutan tanaman industri (HTI) belum siap akibat adanya gangguan pembangunan dua tahun terakhir.

"Kebijakan penggunaan kayu dari hutan alam untuk industri pulp dan kertas bisa saja diperpanjang," kata Menteri Kehutanan, MS Kaban di Jakarta, Jumat (9/1).

Sebelumnya, Dephut telah mengeluarkan kebijakan yang melarang industri pulp dan kertas menggunakan kayu dari hutan alam melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.101/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman untuk Pemenuhan bahan Baku Industri Pulp dan Kertas.

Dalam ketentuan tersebut, perusahaan HTI yang mempunyai keterikatan dengan industri pulp dan kertas harus menyelesaikan penanaman seluruh arealnya paling lambat 2009.

Menhut menjelaskan, dua tahun terakhir muncul kasus dugaan pembalakan liar yang dituduhkan kepada sejumlah perusahaan HTI. Akibatnya, banyak perusahaan HTI yang khawatir dikenakan tuduhan serupa. Hal itu juga membuat realisasi tanaman dan pembangunan HTI terganggu.

"Tanaman dengan daur panen enam-tujuh tahun, terpaksa harus dipanen lebih awal. Akibatnya, kurva stok tegakan yang dimiliki HTI tidak teratur," jelas Kaban.

Meski demikian, Kaban tidak menyebut batas waktu perpanjangan penggunaan kayu dari hutan alam oleh indsutri pulp dan kertas. "Tergantung pada Rencana Karya Tahunan (RKT) masing-masing perusahaan HTI."

Walaupun memberi kemudahan, Kaban tetap mendesak agar perusahaan HTI segera menyelesaikan penanaman di arealnya. Apalagi, kasus dugaan pembalakan liar kini sudah diselesaikan oleh kepolisian.

Dia juga mengingatkan kewajiban untuk melakukan kegiatan pengelolaan HTI selambat-lambatnya enam bukan setelah izin diberikan.

Bagi mereka yang terlambat, menurut dia, pemerintah bisa memberi sanksi berupa pencabutan izin. "Penanaman HTI juga harus menjunjung prinsip pengelolaan hutan lestari dengan menerapkan deliniasi makro-mikro untuk menyelamatkan kawan lindung yang ada di arealnya," katanya.

Kaban juga menyatakan, saat ini adalah waktu yang tepat untuk meningkatkan investasi di sektor kehutanan karena cerahnya prospek sektor kehutanan di masa yang akan datang.

Dephut menargetkan, sampai 2009 berakhir luas areal HTI mencapai 5 juta ha. Sampai akhir 2008, realisasi tanaman HTI sudah mencapai 4,3 juta hektare.

Saat ini, Dephut mencatat ada 222 unit perusahaan HTI yang beroperasi dengan luas areal 9,807 juta ha terdiri dari 164 unit (7,1 juta ha) yang sudah mengantongi izin definitif dan 26 unit (2,03 juta ha) mengantongi izin pencadangan dan sisanya HTI transmigrasi sebanyak 32 unit dengan luas areal 300.000 hektar.

XVD
Sumber : Ant

Read more...

Penyidikan Pembalakan di Riau Bisa Dilanjutkan

Jumat, 9 Januari 2009 00:50 WIB

Medan, Kompas - Kepolisian pada prinsipnya dapat melanjutkan penyidikan kasus pembalakan liar yang diduga dilakukan 13 perusahaan di Riau, meski tanggal 23 Desember lalu sudah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas seluruh kasus tersebut. Demikian penegasan Kepala Divisi Humas Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, Kamis (8/1) di Medan, Sumatera Utara.

"Saya dengar sudah ada yang mengajukan gugatan praperadilan atas keluarnya SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) itu. Siapa pun yang merasa tak puas dengan keluarnya SP3 kasus tersebut, silakan mengajukan gugatan praperadilan. Jika nanti pengadilan memutuskan bahwa SP3 itu tidak sah, polisi jelas akan mengangkat kembali kasus tersebut," tambah Abubakar.

Namun, lanjutnya, jika polisi kembali menyidik kasus itu, tidak ada jaminan pihak kejaksaan akan meneruskan berkas penyidikannya ke pengadilan. "Terbitnya SP3 oleh Polda (Kepolisian Daerah) Riau tak lepas dari bolak-baliknya berkas penyidikan dari kepolisian ke kejaksaan hingga sembilan kali," papar Abubakar.

Sebagaimana diberitakan, pada tanggal 23 Desember 2008 Polda Riau mengeluarkan SP3 terhadap kasus pembalakan liar yang dituduhkan kepada 13 perusahaan di Riau. Dari 14 perusahaan yang diproses terkait kasus pembalakan liar, hanya kasus yang melibatkan PT Ruas Utama Jaya yang dilanjutkan penyidikannya.

Persepsi berbeda

Menurut Abubakar, ada persepsi hukum yang berbeda antara polisi dan kejaksaan terhadap pelanggaran Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Polisi menganggap ke-14 perusahaan yang merupakan anak perusahaan dua industri besar bubur kertas dan kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (Grup Raja Garuda Mas) dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (Grup Sinar Mas) melanggar UU Kehutanan.

Salah satu yang dijadikan alasan polisi, kata Abubakar, adalah fakta izin hutan tanaman industri (HTI) ternyata dikeluarkan di hutan rimba yang memiliki tegakan kayu dengan diameter sampai 1 meter lebih, sesuatu yang jelas dilarang UU Kehutanan. Selain itu, polisi berbekal keterangan saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor.

"Namun, kejaksaan berpegang pada saksi ahli dari Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, yang menyatakan tidak ada pelanggaran dalam kasus tersebut. Karena itu, berkas penyidikan bolak-balik terus. Kami juga mempertimbangkan kepastian hukum. Kasus ini tidak boleh digantung terus dan hanya kejaksaan yang mempunyai kewenangan agar berkas perkaranya dilimpahkan ke pengadilan," kata Abubakar lagi. (BIL)
Read more...

Tragedi Hutan Riau

Senin 05 Januari 2009
Forum Keadilan

Penggundulan hutan berselimut izin membuat pembalakan liar di Riau makin meluas. Kasus teranyar, setelah 22 bulan terkatung-katung, Polda Riau akhirnya menghentikan penyidikan 13 berkas perkara pembalakan liar. Kenyataan ini mentasbahkan pendapat bahwa kerusakan hutan di Indonesia tidak lepas dari tiga elemen masyarakat, pejabat elit, dan pengusaha. Benarkah?

Di Balik ANGKA 13
Setelah 22 bulan terkatung-katung, Polda Riau akhirnya menghentikan penyidikan 13 berkas perkara pembalakan liar. LSM bersiap mengajukan gugatan praperadilan.

Kabar mengejutkan datang dari bumi Lancang Kuning, Senin, 22 Desember 2008. Siang itu, di kantor Kejaksaan Tinggi Riau, Jalan Sudirman, Pekan baru, dalam sebuah jumpa pers bersama. Kepolisian Daerah Riau mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 13 dari 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam pembalakan liar di Riau.

Brigadir Jenderal Hadiatmoko menyatakan perintah penghentian itu dikeluarkan karena berbagai syarat hukum yang tidak terpenuhi. "Kami melakukan SP3 terhadap 13 perusaan karena kekurangan bukti, sedangkan dari Kementrian Lingkungan Hidup dinyatakan tidak ada bukti pengerusakan, sedangkan dari Dephut 13 perusahaan itu mengontongi izin. Dua institusi itu adalah saksi ahli kami dalam kasus 13 perusahaan," terang Brigjen yang mulai menjabat Kepala Kepolisian Daerah Riau pada 15 Mei 2008.

Kapolda menjelaskan hanya satu perusahaan yaitu perusahaan PT Ruas Utama Jaya (RUJ) anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang tidak memiliki izin. "Perusahan ini akan kami lanjutkan penyidikannya," terang Kapolda.

Dengan dihentikannya penyidikan atas perkara tersebut, Polda Riau juga akan segera mengembalikan barang bukti berupa satu juta meter kubik kayu sitaan hasil operasi pembalakan liar itu. "Supaya tidak ada ekses ke depan. Pengembalian barang bukti itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Kapolda.

Sebagai kilas balik, pada tahun 2007, Brigadir Jenderal Sutjiptadi sebagai Kapolda saat itu gencar melakukan pemberantasan pembalakan liar, seratusan tersangka dan ribuan kubik kayu hasil kejahatan hutan pun disita polisi. Bahkan sekitar tahun Febuari 2007 Mabes Polri pun mengambil alih kasus pembalakan di Riau dan menetapkan 14 perusahaan tersebut sebagai pelaku pembalakan liar.

Empat belas perusahaan perkayuan itu adalah milik dua raksasa bubur kertas, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Penyidikan terhenti setelah Polda Riau mengaku berkonsultasi dengan pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Depertemen Kehutanan kalau perusahaan itu tidak menyalahi izin dan melakukan pengerusakan lingkungan 13 perusahaan itu merupakan dari kelompok PT IKPP seperti, PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana (BDL) PT Rimba Mandau Lestari (RML), PT Ruas Utama Jaya.

Sedangkan dari PT Riau Andalan Pulp And Paper seperti RAPP PT Madukoro. PT Merbau Pelalawan Lestan (MPL), PT Nusa Prima Manunggal (NPM), PT Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI). PT Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT Mitra Kembang Selaras (MKS).

Selain menyeret 13 perusahaan, kasus ini juga menyeret Gubernur Riau Rusli Zainal dan 5 Bupati karena terindikasi menandatangi sejumlah izin terhadap keluarnya 13 perusahaan pelaku pembalakan liar. Bahkan berkas keterlibatan Gubernur Riau dan para bupatinya ini telah diserahkan Sutjiptadi yang saat itu menjabat Kapolda Riau, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hingga berita ini diturunkan, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan belum bisa dimintai tanggapan. Namun, sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengatakan penolakan penerimaan berkas 13 perusahaan kehutanan itu karena tidak lengkap.

Koran Tempo edisi 31 Desember 2008 menulis, keputusan menerbitkan SP3 sesungguhnya dibuat setelah ada pertemuan antara petinggi kepolisian. Kejaksaan, dan Gubernur Riau Rusli Zainal. Rusli, saat dimintai konfirmasi, tidak membantah. "Saya hanya dipanggil hadir dalam rapat yang dihadiri Kepala Polri dan Jaksa Agung," katanya. "Dalam pertemuan itu, saya menyampaikan soal ancaman pengangguran."

Apapun itu, tiga lembaga swadaya masyarat (LSM) telah mencium adanya ketidakberesan penerbitan SP3 tersebut. Mereka. Indonesia Corruption Watch (ICW), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Telapak, menduga ada konspirasi di balik terbitnya SP3 kasus dugaan illegallogging 13 perusahaan kayu di Riau. Konspirasi diduga dilakukan Kapolda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau yang melibatkan dua perusahaan besar, yakni IKPP dan RAPP. "Keluarnya SP3 terhadap 13 perusahaan kayu di Riau merupakan preseden buruk terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan pemberantasan illegal logging yang dikampayekan pemerintah. Patut diduga kuat adanya konspirasi dibalik keluarnya SP3 tersebut," kata peneliti ICW, Febridiansyah,dalam jumpa pers bersama Institute Hijau Indonesia di kantor ICW. Jakarta, Jumat (26/12).

Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi M Teguh Surya menambahkan, sejak awal penyidikan sudah tercium adanya indikasi kuat aparat penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, hendak membebaskan 13 perusahaan. Buktinya. Polda Riau selaku penyidik telah mengabaikan saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). "Ahli IPB secara tegas menyatakan ada kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan perizinan, yang menguatkan temuan-temuan Walhi sebelumnya," kata dia. Dari berbagai keganjilan itu, Unang dari Telapak mengatakan bahwa sulit untuk menepis dugaan intervensi di balik terbitnya SP3. "Apakah hal ini terkait dengan kuatnya posisi RAPP dan IKPP? Sulit mengatakan tidak ada intervensi dibalik penghentian penyidikan tersebut," kata dia.

Di Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyatakan kekecewaan mendalam atas keputusan tersebut. Ketua Jikalahari Susanto Kurniawan mengatakan, pihaknya yang merupakan pelapor kasus itu pada masa Kepala Polda Riau dijabat Brigadir Jenderal (Pol) Sutjiptadi mengetahui bahwa perusahaan HTI itu memiliki izin. Namun, izin itu bermasalah karena dikeluarkan bupati dengan dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/2000. Padahal, izin bupati dikeluarkan setelah keputusan itu dicabut dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No 34/2002. "Instruksi presiden juga menegaskan bahwa gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter wajib dilindungi. Sementara di Riau, izin konsesi HTI yang menyalahi itu justru diberikan di areal hutan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter," kata Susanto.

Ia menambahkan, izin HTI juga hanya boleh dikeluarkan di lahan tidak produktif, sementara pada kenyataannya izin itu berada pada hutan rimba raya yang memiliki banyak kayu. PT RAPP juga terbukti mengelompokkan kayu log sebagai kayu bahan baku serpih. Itu merupakan penipuan pajak. Kenapa jaksa dan polisi tidak melandaskan tuduhan dan persoalan ini," kata Susanto.

Jikalahari pun menduga keputusan itu keluar karena ada intervensi dan perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam pembalakan hutan Riau. "Kami menilai polisi dalam hal ini banyak mendapat intervensi dai berbagai pihak, kami melihat SP3 dan diskenariokan untuk dihentikan. Dan hal ini dilakukan dua perusahaan besar itu (PT RAPP dan PT Arara Abadi)," terang Susanto.

Skenario itu menurutnya diduga sudah sejak lama direncanakan oleh pihak perusahaan, Polda Riau, pemerintah, kalangan dewan. "Kami lihat perusahaan kertas seperti RAPP selama ini gencar melakukan ekpos sana sini di media dan melakukan lobi-lobi terhadap pemerintah, serta kalangan dewan, ini dilakukan perusahaan milik Sukanto Tanoto (orang terkaya di Indonesia, red) adalah upaya untuk memperluas HTI mereka. Apalagi RAPP mengaku kekurangan bahan baku dan mengancam melakukan PHK karyawannya, ini akal-akalan PT RAPP saja, untuk mendapatkan bahan baku," tandasnya. (Baca Bayang-bayang Tanoto di Kejaksaan)

Berbagai kejanggalan itulah yang membulatkan tekad Jikalahari untuk mengajukan gugatan praperadilan atas keputusan tersebut. Gugatan dilakukan di delapan pengadilan negeri, tempat perusahaan-perusahaan yang dituding terlibat dalam pembalakan liar itu beroperasi. "Kami masih melakukan koordinasi dengan organisasi lain untuk mengumpulkan bukti-bukti guna mempraperadilankan kasus ini," ujar Susanto Kurniawan.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR asal Riau, Azlaini Agus, juga merasa heran atas penolakan jaksa terhadap kesaksian pakar dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Gadjah Mada tentang pembalakan liar dan perusakan lingkungan di Riau. "Mengapa jaksa memiliki standar ganda dalam kasus di Riau. Seharusnya jaksa meneruskan kasus ini ke pengadilan agar hakim yang memutus, kata Aziaini yang juga menjadi dosen hukum Universitas Islam Riau ini.

Azlaini curiga ada skenario besar hingga SP3 itu keluar. Ia menuturkan belum lama ini sejumlah perusahaan kayu di Riau melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam pertemuan itu, PT RAPP menyebutkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan, karena kekurangan bahan baku. Padahal, lanjut Azlaini, persoalan yang sebenarnya bukan karena bahan baku, tapi lebih pada krisis global.

"Dan dalam pertemuan perusahaan dan sejumlah instansi pemerintah bersama Gubernur Riau belum lama ini, gubernur juga menginginkan kasus illegal logging itu dihentikan. Ya memang kalau diteruskan gubernur juga terlibat," kata Azlaini.

Dia menyebut, bahwa gelombang PHK yang terjadi di dua pabrik kertas di Riau, PT RAPP dan PT IKPP, semata-mata imbas dari krisis global, bukan karena kekurangan bahan baku. "Kalau memang kekurangan bahan baku, mestinya sejak dulu perusahaan itu sudah mengambil langkah untuk mem-PHK karyawannya. Jadi ancaman PHK yang dilakukan RAPP itu hanya sebagai bentuk penekanan kepada pemerintah agar kasus illegal logging mereka dihentikan. Dan sekarang kasus itu pun telah dihentikan. Kita sangat kecewa sekali," kata Azlaini.

DI Jakarta, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, mengatakan, Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau harus menjelaskan kepada publik dasar-dasar penerbitan SP3. Transparansi penting agar publik tidak menafsirkan keputusan hukum tersebut dari berbagai perspektif.

Ia mengatakan, publik membutuhkan keterbukaan informasi agar pro dan kontra dalam kasus ini tidak bercampur antara opini, advokasi, dan dasar hukum penerbitan SP3. Kasus ini juga bisa menjadi preseden bagi penegak hukum dalam menjalankan operasi serupa di daerah lain.

Atas keputusan yang telah dibuat institusinya, Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas atas penghentian kasus itu melakukan upaya hukum. "SP3 bukan proses hukum yang telah selesai," ujar Bambang. "Pihak-pihak yang tak puas silakan mengajukan gugatan praperadilan."

Terpisah, Direktur Utama PT RAPP Rudi Fajar, menyatakan terima kasih dengan langkah berani yang dilakukan Polda Riau. Dengan adanya keputusan SP3 itu, kata Rudi, RAPP merasa lega. Diharapkan tidak berapa lama lagi, satu juta meter kubik kayu yang dibatasi garis polisi akan dapat digunakan lagi. Kami berharap bahan baku itu dapat segera kami ambil untuk bahan baku produksi pabrik. Kami juga mengharapkan, setelah kasus ini berakhir, muncul kepastian hukum agar kami dapat bekerja optimal mengatasi ketertinggalan selama ini," kata Rudi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Wilayah Provinsi Riau Endro Siswoko mengusulkan, pemerintah seyogianya dapat meringankan beban pengusaha perkayuan Riau yang babak belur selama dua tahun sebelum munculnya keputusan SP3. jsukowatiutami
Read more...

1.09.2009

Kutuk Penyerangan Warga Dusun Suluk Bongkal

Kamis, 01/01/2009 01:08 WIB
Soemardi Kutuk Penyerangan Warga Dusun Suluk Bongkal

JAKARTA--Anggota DPD RI dari Riau Soemardi Thaher menyesalkan dan mengutuk terjadinya kasus penyerangan penyerangan di Suluk Bongkal, Duri, Bengkalis. Sebagai abdi utama masyarakat, Soemardi pun menyayangkan aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian Polda Riau terhadap warga dusun Suluk Bongkal hingga tewas, Kecamatan Tasik Serai, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.

"Saya menyesalkan penggusuran paksa yang dilakukan aparat kepolisian yang menyebabkan jatuhnya korban balita, " ujarnya Rabu (31/12) di gedung DPR/MPR RI, Jakarta.

Seperti diketahui, pada Kamis (18/12) lalu, sekitar 500 anggota Polda Riau dari empat Polres mengevakuasi massa Serikat Tani Rakyat (STR) yang mendiami lahan bersengketa di KM 42, Dusun Suluk Bongkal, Bengkalis. Lahan tersebut sudah sejak setahun terakhir ditetapkan status quo oleh Polda Riau karena konflik antara warga Suluk Bongkal dengan PT Arara Abadi. Buntut penyerangan itu, seorang bayi bernama Putri (2,6 tahun) tewas setelah terjatuh ke sumur tanah saat lari menyelamatkan diri ketika polisi datang.

Ditegaskan mantan Sekjen PGRI itu, seharusnya aparat kepolisian melakukan survey terlebih dahulu sebelum melakukan aksi evakuasi massa STR itu. Langkah itu dilakukan untuk mengetahui apakah ada anggota masyarakat yang terkait hak ulayat atau ada pihak-pihak yang membonceng kassus itu. "Jangan semua massa yang berada di dusun itu digusur semua, " ujarnya.

Selain meminta Pemprov Riau dan Pemkab Bengkalis menuntaskan masalah sengketa agrarian dengan PT Arara Abadi itu, Soemardi meminta agar Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) juga turun tangan membantu menyelesaikan masalah itu. Munculkan kasus ini kata calon anggota legislative dari Partai Persatuan Daerah (PPD) itu menilai inilah kesempatan emas bagi LAMR untuk menunjukkan kecintaannya terhadap rakyat, dari image selama ini yang selalu pro-pemerintah.

"LAMR harus pro aktif melihat secara langsung bagaimana kondisi masyarakat adat di sana. Inilah saatnya LAMR peduli kepada rakyat. Sebab selama ini LAMR terlalu asyik dengan acara seremonial pemberian gelar terus, " ujarnya.

Sebagai dewan penesehat LAMR pun, Soemardi Thaher tak tinggal diam. Pihaknya akan berusaha menemui pimpinan LAMR agar bersikap pro-rakyat atas kasus ini. LAMR harus meminta aparat kepolisian bertanggungjawab jika korban tewas itu akibat dari penyerbuan ratusan aparat kepolisian.

"Apapun yang terjadi LAMR harus pro-rakyat. Ketidakadilan dan keangkuhan yang menyengsarakan rakyat harus dihentikan segera!, " katanya.

Read more...

1.02.2009

Siaran Pers

Pemerintah Lebih Mengutamakan Kepentingan Modal Daripada Keselamatan Warga
Siaran Pers
JIKALAHARI (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) mengecam Polda Riau yang telah mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Pemeriksaan) terhadap 13 perusahaan yang sebelumnya dituduh melakukan tindak kejahatan kehutanan


Pekanbaru, INDONESIA, Koordinator Jikalahari Susanto Kurniawan mengecam Kapolda Riau yang telah mengeluarkan SP-3 terhadap 13 perusahaan yang diduga melakukan pengrusakan hutan alam di Riau.

"Kami mengecam dan menyesalkan tindakan pengeluarkan SP3 yang menurut kami harusnya tidak terjadi", ujar Susanto.

November 2007 yang lalu, Menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI selaku Koordinator Penanggulangan Pembalakan Ilegal (illegal logging) yang telah ditunjuk oleh Presiden RI, mengumumkan 14 dari 21 perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diindikasikan melakukan pembalakan ilegal dan meminta Kepolisian Daerah Riau untuk segera memroses secara hukum.

Dari ke-14 perusahaan tersebutlah 13 diantaranya di-SP3 kan oleh Kapolda Riau Brigjen Hadiatmoko.

"Telah terjadi kerusakan hutan yang masif di Riau dimana luas kerusakan tahun 2005-2006 mencapai 200.000 hektar. Kerusakan tersebut yang menjadi pemicu timbulnya banjir yang telah merugikan warga di sembilan kabupaten/kota di Provinsi Riau, kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan 7.608 anak terpapar dampak berupa penyakit ISPA pada tahun 2005. Belum terhitung pelepasan emisi karbondioksida akibat penggundulan hutan di Riau sebesar 58% dari tingkat emisi tahunan Australia, atau 39% dari total emisi tahunan Inggris, serta lebih tinggi dari total emisi tahunan Belanda. Warga hanya menikmati lahan seluas 0,46 hektar/Kepala Keluarga (KK) karena kekayaan alam yang ada di Riau telah dikuras kuasa-kuasa modal," ujar Hariansyah Usman Wakil Koordinator Jikalahari

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanggal 14 Desember 2007 yang lalu telah menahan Bupati Pelalawan, Riau, H.Teuku Azmun Jaafar, SH. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 serta sejumlah peraturan lainnya. Akibat perbuatannya negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,306 triliun. Kerugian negara dihitung berdasarkan hilangnya tegakan pohon yang terdapat pada areal hutan tersebut. Selain menerbitkan perizinan IUPHHK-HT/HTI, H Teuku Azmun Jaffar, SH. juga menerima pemberian uang atau gratifikasi senilai lebih dari Rp 1 miliar. Seperti halnya kasus ini, pelanggaran hukum juga terjadi terkait dengan perijinan bagi sembilan perusahaan oleh beberapa bupati di Riau. Kesembilan perusahaan tersebut merupakan sebagian dari ketigabelas perusahaan yang telah di-SP3-kan.

Apabila ketigabelas perusahaan tersebut beroperasi kembali maka sedikitnya 172.000 hektar hutan di Riau akan menghadapi tekanan berupa penggundulan hutan, karena kawasan tersebut berada pada hutan alam yang masih baik dengan potensi kayu komersial yang tinggi. Merujuk kepada Rencana TataRuang Riau (Perda 10/1994), kawasan dimana ketigabelas perusahaan tersebut beroperasi berada pada zona dengan peruntukan sebagai kawasan lindung. Lebih buruk lagi, ketigabelas perusahaan itu beroperasi di lahan gambut yang memiliki peran penting dalam upaya Pemerintah mengendalikan emisi karbondioksida yang bersumber dari deforesasi dan pengeringan lahan gambut.

"Keluarnya SP3 ini menjadi pembuka pintu bagi meningkatnya intensitas penggundulan hutan alam (deforestasi), serta merangsang dikeluarkannya izin-izin baru baik untuk izin HTI maupun pemberian RKT (Rencana Kerja Tahunan) bagi izin-izin HTI yang berada dikawasan gambut dan kawasan hutan yang masih produktif. Agaknya keputusan SP3 itu telah mempertaruhkan keselamatan warga atas nama kepentingan segelintir pemilik perusahaan," tambah Susanto Kurniawan.

Kejahatan-kejahatan kehutanan harus diberantas tanpa pandang bulu karena akan menimbulkan kerugian negara dan mengancam keselamatan warga Riau.

Karena tidak pedulinya orang-orang yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, baik nasional maupun daerah, terhadap penderitaan warga Riau, Jikalahari mengajak warga Riau untuk sadar terhadap hak-hak asasi mereka memperoleh hidup layak dan sehat, serta menutut Pemerintah segera mengadili penjahat-penjahat kehutanan yang secara langsung maupun tidak langsung telah menyengsarakan warga Riau. Untuk itu Jikalahari menuntut dilakukannya gelar perkara terhadap 13 perusahaan yang sebelumnya dituduh melakukan pengrusakan lingkungan.

Guna menuntaskan penderitaan warga yang berkepanjangan Jikalahari menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Riau untuk:
1.Mengutamakan keselamatan warga yang selama ini terus didera penderitaan akibat banjir, kekeringan, penyakit ISPA, yang berpangkal pada praktik-praktik penggundulan hutan skala massif.
2.Segera memberlakukan moratorium (jeda) penggundulan hutan guna mengambil jarak agar dapat dilakukan pembenahan dan perbaikan tata kelola (governance) kehutanan melalui inventarisasi dan verifikasi terhadap perijinan berbasis lahan di Provinsi Riau.
3.Khususnya bagi Departemen Kehutanan, Departemen Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap industri kertas (pulp and paper) yang ada di Indonesia.
4.Khususnya bagi Departemen Kehutanan, segera menghentikan pemberian izin konsesi yang berada di hutan alam dan kawasan lindung.
5.Segera meminta pertanggungjawaban pihak Sinarmas dan APRIL atas kerusakan hutan yang luar biasa di wilayah Indonesia secara umum dan wilayah Riau pada khususnya.

Sekretariat Jikalahari
Jl Meranti No. 35 Labuh Baru – Pekanbaru
Telp/Fax : (62)761-21870
Email : sekretariat@jikalahari.org

Read more...

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi