1.02.2009

Siaran Pers

Pemerintah Lebih Mengutamakan Kepentingan Modal Daripada Keselamatan Warga
Siaran Pers
JIKALAHARI (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) mengecam Polda Riau yang telah mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Pemeriksaan) terhadap 13 perusahaan yang sebelumnya dituduh melakukan tindak kejahatan kehutanan


Pekanbaru, INDONESIA, Koordinator Jikalahari Susanto Kurniawan mengecam Kapolda Riau yang telah mengeluarkan SP-3 terhadap 13 perusahaan yang diduga melakukan pengrusakan hutan alam di Riau.

"Kami mengecam dan menyesalkan tindakan pengeluarkan SP3 yang menurut kami harusnya tidak terjadi", ujar Susanto.

November 2007 yang lalu, Menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI selaku Koordinator Penanggulangan Pembalakan Ilegal (illegal logging) yang telah ditunjuk oleh Presiden RI, mengumumkan 14 dari 21 perusahaan pemegang konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diindikasikan melakukan pembalakan ilegal dan meminta Kepolisian Daerah Riau untuk segera memroses secara hukum.

Dari ke-14 perusahaan tersebutlah 13 diantaranya di-SP3 kan oleh Kapolda Riau Brigjen Hadiatmoko.

"Telah terjadi kerusakan hutan yang masif di Riau dimana luas kerusakan tahun 2005-2006 mencapai 200.000 hektar. Kerusakan tersebut yang menjadi pemicu timbulnya banjir yang telah merugikan warga di sembilan kabupaten/kota di Provinsi Riau, kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan 7.608 anak terpapar dampak berupa penyakit ISPA pada tahun 2005. Belum terhitung pelepasan emisi karbondioksida akibat penggundulan hutan di Riau sebesar 58% dari tingkat emisi tahunan Australia, atau 39% dari total emisi tahunan Inggris, serta lebih tinggi dari total emisi tahunan Belanda. Warga hanya menikmati lahan seluas 0,46 hektar/Kepala Keluarga (KK) karena kekayaan alam yang ada di Riau telah dikuras kuasa-kuasa modal," ujar Hariansyah Usman Wakil Koordinator Jikalahari

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tanggal 14 Desember 2007 yang lalu telah menahan Bupati Pelalawan, Riau, H.Teuku Azmun Jaafar, SH. yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menerbitkan perizinan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau Hutan Tanaman Industri (HTI) yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2002 serta sejumlah peraturan lainnya. Akibat perbuatannya negara mengalami kerugian sekitar Rp 1,306 triliun. Kerugian negara dihitung berdasarkan hilangnya tegakan pohon yang terdapat pada areal hutan tersebut. Selain menerbitkan perizinan IUPHHK-HT/HTI, H Teuku Azmun Jaffar, SH. juga menerima pemberian uang atau gratifikasi senilai lebih dari Rp 1 miliar. Seperti halnya kasus ini, pelanggaran hukum juga terjadi terkait dengan perijinan bagi sembilan perusahaan oleh beberapa bupati di Riau. Kesembilan perusahaan tersebut merupakan sebagian dari ketigabelas perusahaan yang telah di-SP3-kan.

Apabila ketigabelas perusahaan tersebut beroperasi kembali maka sedikitnya 172.000 hektar hutan di Riau akan menghadapi tekanan berupa penggundulan hutan, karena kawasan tersebut berada pada hutan alam yang masih baik dengan potensi kayu komersial yang tinggi. Merujuk kepada Rencana TataRuang Riau (Perda 10/1994), kawasan dimana ketigabelas perusahaan tersebut beroperasi berada pada zona dengan peruntukan sebagai kawasan lindung. Lebih buruk lagi, ketigabelas perusahaan itu beroperasi di lahan gambut yang memiliki peran penting dalam upaya Pemerintah mengendalikan emisi karbondioksida yang bersumber dari deforesasi dan pengeringan lahan gambut.

"Keluarnya SP3 ini menjadi pembuka pintu bagi meningkatnya intensitas penggundulan hutan alam (deforestasi), serta merangsang dikeluarkannya izin-izin baru baik untuk izin HTI maupun pemberian RKT (Rencana Kerja Tahunan) bagi izin-izin HTI yang berada dikawasan gambut dan kawasan hutan yang masih produktif. Agaknya keputusan SP3 itu telah mempertaruhkan keselamatan warga atas nama kepentingan segelintir pemilik perusahaan," tambah Susanto Kurniawan.

Kejahatan-kejahatan kehutanan harus diberantas tanpa pandang bulu karena akan menimbulkan kerugian negara dan mengancam keselamatan warga Riau.

Karena tidak pedulinya orang-orang yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, baik nasional maupun daerah, terhadap penderitaan warga Riau, Jikalahari mengajak warga Riau untuk sadar terhadap hak-hak asasi mereka memperoleh hidup layak dan sehat, serta menutut Pemerintah segera mengadili penjahat-penjahat kehutanan yang secara langsung maupun tidak langsung telah menyengsarakan warga Riau. Untuk itu Jikalahari menuntut dilakukannya gelar perkara terhadap 13 perusahaan yang sebelumnya dituduh melakukan pengrusakan lingkungan.

Guna menuntaskan penderitaan warga yang berkepanjangan Jikalahari menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Riau untuk:
1.Mengutamakan keselamatan warga yang selama ini terus didera penderitaan akibat banjir, kekeringan, penyakit ISPA, yang berpangkal pada praktik-praktik penggundulan hutan skala massif.
2.Segera memberlakukan moratorium (jeda) penggundulan hutan guna mengambil jarak agar dapat dilakukan pembenahan dan perbaikan tata kelola (governance) kehutanan melalui inventarisasi dan verifikasi terhadap perijinan berbasis lahan di Provinsi Riau.
3.Khususnya bagi Departemen Kehutanan, Departemen Keuangan, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap industri kertas (pulp and paper) yang ada di Indonesia.
4.Khususnya bagi Departemen Kehutanan, segera menghentikan pemberian izin konsesi yang berada di hutan alam dan kawasan lindung.
5.Segera meminta pertanggungjawaban pihak Sinarmas dan APRIL atas kerusakan hutan yang luar biasa di wilayah Indonesia secara umum dan wilayah Riau pada khususnya.

Sekretariat Jikalahari
Jl Meranti No. 35 Labuh Baru – Pekanbaru
Telp/Fax : (62)761-21870
Email : sekretariat@jikalahari.org

Tidak ada komentar:

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi