Sekilas Betjo Sentosa
S3 nya dari ekonomi, S1 dan S2 dari kehutanan. Sewaktu menjadi saksi ahli untuk 13 kasus ilegal logging di Riau masih menjabat sebagai Kasubdit Rencana Kerja, dimana beliau ditunjuk oleh menteri kehutanan sebagai saksi ahli. Istrinya adalah orang Riau. Dan Betjo ini juga pernah menjadi saksi ahli pada persidangan kasus adelin lis, ilegal logging papua dan Kaltim.
Menurut Betjo, terkait dengan kasus-kasus dimana dia menjadi saksi ada 2
bentuk pelanggaran :
1. Pelanggaran administrasi, misalnya menebang diluar blok tebangan
2. Pelanggaran pidana, misalnya menabang diluar areal konsesi
Terkait dengan PP 34/2002 yang dikeluarkan 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana pengelolaan Hutan, Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, *Pasal 42, */Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam atau izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur /Menurutnya, jika permohonan sudah sampai pada persetujuan prinsip sebelum PP tersebut keluar maka dapat dilanjutkan selambatnya sampai dikeluarkannya SK Menhut No 32/2002. Kemudian Jika permohonan diajukan setelah PP tersebut keluar, maka akan dilakukan sistem lelang sampai selambatnya 5 Februari 2003
Menurut Dr Ir Betjo Sentosa, MSi dimana ada sejumah peraturan yang menyebutkan bahwa areal HTI dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi yang tidak produktif seperti Kepmenhut 10.1/Kpts-II/2000 tentang pedoman pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman, tanggal 6 November 2000 dan Kepmenhut 21/Kpts-II/2001 tentang kriteria dan standar
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman pada hutan produksi, tanggal 31 Januari 2001 adalah *INKONSISTEN* TERHADAP ATURAN YANG LAINNYA. PP 7/1990 juga menyebutkan izin HTI harus berada di areal hutan produksi yang tidak produktif.
Dasar ARGUMENTASINYA : PP 6 tahun 1999, yang menyebutkan *AREAL TIDAK TUMPANG TINDIH dengan areal konsesi lainnya Kesimpulan dari Betjo : SEPANJANG TIDAK TUMPANG TINDIH MAKA IZIN BOLEH DIBERIKAN, MESKIPUN DI HUTAN ALAM
Faktanya dari 13 perusahaan yang di SP3 kan:
1. PT Madukoro tumpang tindih dengan HPH PT Yos Raya Timber
2. PT Bukit Betabuh Sei Indah tumpang tindih dengan HPH PT IFA
Terkait dengan peruntukan, Menurut Departemen Kehutanan sebelum adanya paduserasi antara RTRWP (Rencana Tataruang provinsi) dengan TGHK, maka yang menjadi acuan pemberian izin adalah *TGHK*, Faktanya dari 13 perusahaan yang di SP3 kan :
1. PT Merbau Pelalawan Lestari berada di peruntukan HPK (hutan produksi yang dapat di konversi) dan HPT (hutan produksi terbatas)
2. PT Nusa Prima Manunggal berada di peruntukan HPT
3. PT Bukit Betabuh Sei Indah berada di peruntukan HPT
4. PT Citra Sumber Sejahtera berada di peruntukan HPT
5. PT Mitra Kembang Selaras berada di peruntukan HPT dan HPK
6. PT Inhil Hutan Pratama berada diperuntukan HPT, HP (Hutan Produksi) dan HPK
7. PT Arara Abadi Minas berada diperuntukan HPT dan HPK
8. PT Suntara Gaja Pati berada di peruntukan HPT, HPK dan HP
Sayangnya pertanyaannya TIDAK DILANJUTI DENGAN HAMPARAN GAMBUT.........In attachment contoh lokasi yang dikunjungi oleh Tim Dephut dan POLRI, dimana Betjo Santosa dan Hadiatmoko (Kapolda Riau sekarang) menyaksikan KERUSAKAN AREAL TERSEBUT
Sumber:
Dalam Penataan Ruang
Hutan Produksi terbatas hanya diperbolehkan untuk "budidaya hutan alam". (PP 26 2008)
Izin Pemanfaatan Ruang harus ditertibkan (UU No 26 2007)
"Izin yang tidak sesuai atau akibat perubahan rencana tata ruang harus dicabut "
Ini merupakan studi kasus penertiban pola pemanfaatan ruang yang menarik, dan barangkali berguna bagi penyusunan PP yang mengatur Mekanisme penertiban perizinan dalam Penataan Ruang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar