Penggundulan hutan berselimut izin membuat pembalakan liar di Riau makin meluas. Kasus teranyar, setelah 22 bulan terkatung-katung, Polda Riau akhirnya menghentikan penyidikan 13 berkas perkara pembalakan liar. Kenyataan ini mentasbahkan pendapat bahwa kerusakan hutan di Indonesia tidak lepas dari tiga elemen masyarakat, pejabat elit, dan pengusaha. Benarkah?
Di Balik ANGKA 13
Setelah 22 bulan terkatung-katung, Polda Riau akhirnya menghentikan penyidikan 13 berkas perkara pembalakan liar. LSM bersiap mengajukan gugatan praperadilan.
Kabar mengejutkan datang dari bumi Lancang Kuning, Senin, 22 Desember 2008. Siang itu, di kantor Kejaksaan Tinggi Riau, Jalan Sudirman, Pekan baru, dalam sebuah jumpa pers bersama. Kepolisian Daerah Riau mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 13 dari 14 perusahaan yang diduga terlibat dalam pembalakan liar di Riau.
Brigadir Jenderal Hadiatmoko menyatakan perintah penghentian itu dikeluarkan karena berbagai syarat hukum yang tidak terpenuhi. "Kami melakukan SP3 terhadap 13 perusaan karena kekurangan bukti, sedangkan dari Kementrian Lingkungan Hidup dinyatakan tidak ada bukti pengerusakan, sedangkan dari Dephut 13 perusahaan itu mengontongi izin. Dua institusi itu adalah saksi ahli kami dalam kasus 13 perusahaan," terang Brigjen yang mulai menjabat Kepala Kepolisian Daerah Riau pada 15 Mei 2008.
Kapolda menjelaskan hanya satu perusahaan yaitu perusahaan PT Ruas Utama Jaya (RUJ) anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang tidak memiliki izin. "Perusahan ini akan kami lanjutkan penyidikannya," terang Kapolda.
Dengan dihentikannya penyidikan atas perkara tersebut, Polda Riau juga akan segera mengembalikan barang bukti berupa satu juta meter kubik kayu sitaan hasil operasi pembalakan liar itu. "Supaya tidak ada ekses ke depan. Pengembalian barang bukti itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Kapolda.
Sebagai kilas balik, pada tahun 2007, Brigadir Jenderal Sutjiptadi sebagai Kapolda saat itu gencar melakukan pemberantasan pembalakan liar, seratusan tersangka dan ribuan kubik kayu hasil kejahatan hutan pun disita polisi. Bahkan sekitar tahun Febuari 2007 Mabes Polri pun mengambil alih kasus pembalakan di Riau dan menetapkan 14 perusahaan tersebut sebagai pelaku pembalakan liar.
Empat belas perusahaan perkayuan itu adalah milik dua raksasa bubur kertas, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) dan Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Penyidikan terhenti setelah Polda Riau mengaku berkonsultasi dengan pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Depertemen Kehutanan kalau perusahaan itu tidak menyalahi izin dan melakukan pengerusakan lingkungan 13 perusahaan itu merupakan dari kelompok PT IKPP seperti, PT Arara Abadi, PT Bina Duta Laksana (BDL) PT Rimba Mandau Lestari (RML), PT Ruas Utama Jaya.
Sedangkan dari PT Riau Andalan Pulp And Paper seperti RAPP PT Madukoro. PT Merbau Pelalawan Lestan (MPL), PT Nusa Prima Manunggal (NPM), PT Bukit Batubuh Sei Indah (BBSI). PT Citra Sumber Sejahtera (CSS), dan PT Mitra Kembang Selaras (MKS).
Selain menyeret 13 perusahaan, kasus ini juga menyeret Gubernur Riau Rusli Zainal dan 5 Bupati karena terindikasi menandatangi sejumlah izin terhadap keluarnya 13 perusahaan pelaku pembalakan liar. Bahkan berkas keterlibatan Gubernur Riau dan para bupatinya ini telah diserahkan Sutjiptadi yang saat itu menjabat Kapolda Riau, ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Jasman Panjaitan belum bisa dimintai tanggapan. Namun, sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga mengatakan penolakan penerimaan berkas 13 perusahaan kehutanan itu karena tidak lengkap.
Koran Tempo edisi 31 Desember 2008 menulis, keputusan menerbitkan SP3 sesungguhnya dibuat setelah ada pertemuan antara petinggi kepolisian. Kejaksaan, dan Gubernur Riau Rusli Zainal. Rusli, saat dimintai konfirmasi, tidak membantah. "Saya hanya dipanggil hadir dalam rapat yang dihadiri Kepala Polri dan Jaksa Agung," katanya. "Dalam pertemuan itu, saya menyampaikan soal ancaman pengangguran."
Apapun itu, tiga lembaga swadaya masyarat (LSM) telah mencium adanya ketidakberesan penerbitan SP3 tersebut. Mereka. Indonesia Corruption Watch (ICW), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Telapak, menduga ada konspirasi di balik terbitnya SP3 kasus dugaan illegallogging 13 perusahaan kayu di Riau. Konspirasi diduga dilakukan Kapolda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau yang melibatkan dua perusahaan besar, yakni IKPP dan RAPP. "Keluarnya SP3 terhadap 13 perusahaan kayu di Riau merupakan preseden buruk terhadap upaya penegakan hukum lingkungan hidup dan pemberantasan illegal logging yang dikampayekan pemerintah. Patut diduga kuat adanya konspirasi dibalik keluarnya SP3 tersebut," kata peneliti ICW, Febridiansyah,dalam jumpa pers bersama Institute Hijau Indonesia di kantor ICW. Jakarta, Jumat (26/12).
Kepala Departemen Advokasi dan Jaringan Eksekutif Nasional Walhi M Teguh Surya menambahkan, sejak awal penyidikan sudah tercium adanya indikasi kuat aparat penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, hendak membebaskan 13 perusahaan. Buktinya. Polda Riau selaku penyidik telah mengabaikan saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB). "Ahli IPB secara tegas menyatakan ada kerusakan lingkungan hidup dan kesalahan perizinan, yang menguatkan temuan-temuan Walhi sebelumnya," kata dia. Dari berbagai keganjilan itu, Unang dari Telapak mengatakan bahwa sulit untuk menepis dugaan intervensi di balik terbitnya SP3. "Apakah hal ini terkait dengan kuatnya posisi RAPP dan IKPP? Sulit mengatakan tidak ada intervensi dibalik penghentian penyidikan tersebut," kata dia.
Di Riau, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyatakan kekecewaan mendalam atas keputusan tersebut. Ketua Jikalahari Susanto Kurniawan mengatakan, pihaknya yang merupakan pelapor kasus itu pada masa Kepala Polda Riau dijabat Brigadir Jenderal (Pol) Sutjiptadi mengetahui bahwa perusahaan HTI itu memiliki izin. Namun, izin itu bermasalah karena dikeluarkan bupati dengan dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/2000. Padahal, izin bupati dikeluarkan setelah keputusan itu dicabut dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No 34/2002. "Instruksi presiden juga menegaskan bahwa gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter wajib dilindungi. Sementara di Riau, izin konsesi HTI yang menyalahi itu justru diberikan di areal hutan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter," kata Susanto.
Ia menambahkan, izin HTI juga hanya boleh dikeluarkan di lahan tidak produktif, sementara pada kenyataannya izin itu berada pada hutan rimba raya yang memiliki banyak kayu. PT RAPP juga terbukti mengelompokkan kayu log sebagai kayu bahan baku serpih. Itu merupakan penipuan pajak. Kenapa jaksa dan polisi tidak melandaskan tuduhan dan persoalan ini," kata Susanto.
Jikalahari pun menduga keputusan itu keluar karena ada intervensi dan perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam pembalakan hutan Riau. "Kami menilai polisi dalam hal ini banyak mendapat intervensi dai berbagai pihak, kami melihat SP3 dan diskenariokan untuk dihentikan. Dan hal ini dilakukan dua perusahaan besar itu (PT RAPP dan PT Arara Abadi)," terang Susanto.
Skenario itu menurutnya diduga sudah sejak lama direncanakan oleh pihak perusahaan, Polda Riau, pemerintah, kalangan dewan. "Kami lihat perusahaan kertas seperti RAPP selama ini gencar melakukan ekpos sana sini di media dan melakukan lobi-lobi terhadap pemerintah, serta kalangan dewan, ini dilakukan perusahaan milik Sukanto Tanoto (orang terkaya di Indonesia, red) adalah upaya untuk memperluas HTI mereka. Apalagi RAPP mengaku kekurangan bahan baku dan mengancam melakukan PHK karyawannya, ini akal-akalan PT RAPP saja, untuk mendapatkan bahan baku," tandasnya. (Baca Bayang-bayang Tanoto di Kejaksaan)
Berbagai kejanggalan itulah yang membulatkan tekad Jikalahari untuk mengajukan gugatan praperadilan atas keputusan tersebut. Gugatan dilakukan di delapan pengadilan negeri, tempat perusahaan-perusahaan yang dituding terlibat dalam pembalakan liar itu beroperasi. "Kami masih melakukan koordinasi dengan organisasi lain untuk mengumpulkan bukti-bukti guna mempraperadilankan kasus ini," ujar Susanto Kurniawan.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR asal Riau, Azlaini Agus, juga merasa heran atas penolakan jaksa terhadap kesaksian pakar dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Gadjah Mada tentang pembalakan liar dan perusakan lingkungan di Riau. "Mengapa jaksa memiliki standar ganda dalam kasus di Riau. Seharusnya jaksa meneruskan kasus ini ke pengadilan agar hakim yang memutus, kata Aziaini yang juga menjadi dosen hukum Universitas Islam Riau ini.
Azlaini curiga ada skenario besar hingga SP3 itu keluar. Ia menuturkan belum lama ini sejumlah perusahaan kayu di Riau melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam pertemuan itu, PT RAPP menyebutkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan, karena kekurangan bahan baku. Padahal, lanjut Azlaini, persoalan yang sebenarnya bukan karena bahan baku, tapi lebih pada krisis global.
"Dan dalam pertemuan perusahaan dan sejumlah instansi pemerintah bersama Gubernur Riau belum lama ini, gubernur juga menginginkan kasus illegal logging itu dihentikan. Ya memang kalau diteruskan gubernur juga terlibat," kata Azlaini.
Dia menyebut, bahwa gelombang PHK yang terjadi di dua pabrik kertas di Riau, PT RAPP dan PT IKPP, semata-mata imbas dari krisis global, bukan karena kekurangan bahan baku. "Kalau memang kekurangan bahan baku, mestinya sejak dulu perusahaan itu sudah mengambil langkah untuk mem-PHK karyawannya. Jadi ancaman PHK yang dilakukan RAPP itu hanya sebagai bentuk penekanan kepada pemerintah agar kasus illegal logging mereka dihentikan. Dan sekarang kasus itu pun telah dihentikan. Kita sangat kecewa sekali," kata Azlaini.
DI Jakarta, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, mengatakan, Polda Riau dan Kejaksaan Tinggi Riau harus menjelaskan kepada publik dasar-dasar penerbitan SP3. Transparansi penting agar publik tidak menafsirkan keputusan hukum tersebut dari berbagai perspektif.
Ia mengatakan, publik membutuhkan keterbukaan informasi agar pro dan kontra dalam kasus ini tidak bercampur antara opini, advokasi, dan dasar hukum penerbitan SP3. Kasus ini juga bisa menjadi preseden bagi penegak hukum dalam menjalankan operasi serupa di daerah lain.
Atas keputusan yang telah dibuat institusinya, Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Bambang Hendarso Danuri mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas atas penghentian kasus itu melakukan upaya hukum. "SP3 bukan proses hukum yang telah selesai," ujar Bambang. "Pihak-pihak yang tak puas silakan mengajukan gugatan praperadilan."
Terpisah, Direktur Utama PT RAPP Rudi Fajar, menyatakan terima kasih dengan langkah berani yang dilakukan Polda Riau. Dengan adanya keputusan SP3 itu, kata Rudi, RAPP merasa lega. Diharapkan tidak berapa lama lagi, satu juta meter kubik kayu yang dibatasi garis polisi akan dapat digunakan lagi. Kami berharap bahan baku itu dapat segera kami ambil untuk bahan baku produksi pabrik. Kami juga mengharapkan, setelah kasus ini berakhir, muncul kepastian hukum agar kami dapat bekerja optimal mengatasi ketertinggalan selama ini," kata Rudi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Wilayah Provinsi Riau Endro Siswoko mengusulkan, pemerintah seyogianya dapat meringankan beban pengusaha perkayuan Riau yang babak belur selama dua tahun sebelum munculnya keputusan SP3. jsukowatiutami
1 komentar:
Artikel anda di
http://lingkungan.infogue.com/tragedi_hutan_riau
promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema, game online & kamus untuk para netter Indonesia. Salam!
Posting Komentar