Studi Kasus: Perampasan Tombak Haminjon oleh TPL di huta Pandumaan dan Sipitu Huta
Oleh: Suryati Simanjuntak
Meskipun hak-hak masyarakat adat secara nasional diakui dan dilindungi dalam Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 18b dan 28i, Ketetapan MPR No. 9 Tahun 2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan secara universal Hak-Hak Masyarakat Adat diakui dan dilindungi oleh Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, namun perampasan hak-hak masyarakat adat tetap marak di negeri ini
Salah satunya adalah perampasan Tombak Haminjon (hutan kemenyan) yang sudah dimiliki dan dikelola secara turun temurun hingga berpuluh generasi oleh masyarakat adat dua huta (desa) yakni Pandumaan dan Sipitu Huta, kecamatan Pollung, kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Sumatera Utara, oleh PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL). PT TPL adalah sebuah perusahaan pulp (kertas) yang sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama (PT IIU atau Indorayon) yang didirikan 26 April 1983 di Sosor Ladang, Porsea, kabupaten Tobasa. Indorayon pernah tutup/dihentikan operasionalnya atas kuatnya aksi-aksi warga Porsea dan sekitarnya dalam menentang pencemaran dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan ini. Meskipun untuk perjuangan ini, korban di pihak rakyat tak terhitung lagi, materi bahkan nyawa. Namun kuatnya pengaruh pemilik modal perusahaan ini, yang salah satunya adalah Sukanto Tanoto, membuat perusahaan ini dibuka kembali, meskipun satu pabrik rayon ditutup hingga sekarang.
Keluarga Sukanto Tanoto sebagai pemilik saham terbesar di PT IIU/TPL dan memiliki berbagai perusahaan properti seperti PT Nusantara Puspa Utama, PT Raja Garuda Mas Lestari, PT Supra Uniland Utama, PT Kawasan Industri Belawan, United City Bank, dan berbagai bisnis keuangan mereka. Kelompok Raja Garuda Mas milik keluarga Tanoto ini bersama kongsinya Sinar Mas dan Salim, merajai produksi pulp dan kelapa sawit di Indonesia.
Walaupun berhutang kredit macet sebesar 1,22 milyar dollar AS kepada BPPN, Bank Mandiri, dan BNI, Raja Garuda Mas (RGM) tetap berekspansi ke selusin negara. Di Singapura RGM membentuk holding company baru, Asia Pacific Resources Holding Limited (APRIL), yang 60 % dimiliki oleh RGM. Selanjutnya, APRIL didaftarkan di bursa saham Singapura dan New York. Ketika sahamnya pertama kali ditawarkan di New York, bulan April 1995, APRIL berhasil memobilisasi 150 juta dollar AS yang kemudian digunakan untuk membiayai ekspansi internasionalnya. Termasuk mendirikan perusahaan perdagangan yang bebas pajak di Laut Karibia, yakni Direct Holdings Ltd di Kepulauan Bahama, Elixir Investments Ltd dan Rawolf Corporation Ltd di U.K. dan koloninya, British Virgin Islands.
Direct Holdings Ltd pada gilirannya memiliki 5,9% saham PT TPL. Jadi tidak mustahil berbagai perusahaan lain seperti Brilliant Holdings Ltd, Supreme Good Ltd, Horstley International Ltd, Edmond Assets Ltd, Elegant Glory Holdings Ltd, dan Gain Century Holdings Ltd, bersama-sama dengan Direct Holdings Ltd menguasai saham mayoritas (50,5%) PT TPL, hanya merupakan kiat bisnis keluarga Tanoto untuk menghindarkan membayar pajak kepada pemerintah Indonesia. Sebab secara formal, hanya PT Adimitra Rayapratama, yang hanya 5% sahamnya milik Sukanto Tanoto, adalah perusahaan Indonesia yang terdaftar sebagai pemegang saham PT TPL. Selebihnya, adalah milik Koperasi Karyawan PT TPL (1%) dan publik (43,8%). Anehnya lagi, 95% pemegang saham PT. Adimitra Rayapratama adalah mitra asing.
Dengan berbagai bisnisnya itu, sewaktu hijrah ke Singapura tahun 1997, Sukanto Tanoto dan keluarganya telah menjadi orang No. 87 terkaya di Asia. Berarti, pengangkatan tokoh-tokoh Batak ke tampuk pimpinan PT TPL hanya sebagai ‘bumper’ menghadapi perlawanan rakyat.
Pada tahun 1992, tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat di kabupaten Humbahas ini, Tombak Haminjon telah dirampas pemerintah dengan menyatakan bahwa areal Tombak Haminjon tersebut merupakan hutan negara (Register 41) dan memberikan tanah adat tersebut kepada Indorayon melalui SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT IIU seluas 269.060 Ha. Sehingga pada tahun 1998, PT. IIU/TPL sudah merambah Tombak Haminjon berkisar 50 Ha yang berada di Tombak Simonggo. Pada saat itu masyarakat melakukan perlawanan dengan menghadang para pekerja PT TPL, namun tidak berdaya menghadapi senjata ABRI (TNI/POLRI) yang disewa PT IIU. Tombak Haminjon seluas 50 Ha itu kini telah berubah menjadi areal eucalyptus yang ditanami oleh PT.IIU/TPL.
Selanjutnya Tahun 2005, Menteri Kehutanan melalui SK No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Propinsi Sumatera Utara seluas + 3.742.120 Ha dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 201/Menhut-II/2006, tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Tanggal 16 Februari 2005 dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara; dan pada tahun itu juga, Menteri Kehutanan mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.354/Menhut-VI/BPHT/2005 tanggal 10 Maret 2005 Tentang Persetujuan dan Pengesahan Rencana Kerja Lima Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKLUPHHK) Pada Hutan Tanaman Tahun 2004 s/d 2008 Atas Nama PT Toba Pulp Lestari, Tbk di Propinsi Sumatera Utara dan diteruskan dengan penerbitan Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara No: 522.21/684/IV tentang pengesahan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKTUPHHK) pada hutan tanaman tahun 2006 PT TPL Tbk.
Penerbitan Surat Keputusan Menteri Kehutanan ini tentunya atas usulan Kadis Kehutanan Provinsi Sumut, Kadis Kehutanan Kabupaten Humbahas dan Samosir sehingga telah memberikan kebebasan kepada PT TPL untuk melakukan penggundulan hutan termasuk hutan lindung dan konservasi di kecamatan Pollung dan Harian Boho (daerah Tele) serta tanaman kemenyan yang berada di atas Tanah Adat ”Tombak Haminjon” Raja Ihutan Bius Marbun (Februari 2006).
Padahal Kawasan hutan ini merupakan daerah hulu sungai-sungai yang mengalir ke kecamatan Pakkat, Tarabintang, Parlilitan, Onan Ganjang, Sijamapolang, Doloksanggul, dan Bakti Raja. Selain daerah hulu sungai, kawasan ini juga merupakan DTA Danau Toba. Sebagai dampak penggundulan hutan alam yang dilakukan PT TPL di kecamatan Pollung dan Tele, telah menimbulkan bencana banjir bandang di kecamatan Pakkat, Tara Bintang, dan Parlilitan (22 Januari 2007). Peristiwa ini menelan korban jiwa akibat tertimpa tanah longsor dan terseret air bercampur lumpur dan batu-batuan. Selain korban jiwa, + 29 rumah hanyut dan 23 rumah dengan kondisi rusak berat akibat terjangan longsor dan banjir bercampur lumpur. Bahkan ratusan hektar sawah milik penduduk rusak parah karena tertimbun tanah longsor bercampur batu, sedikitnya 200 hektar lahan persawahan penduduk yang sudah siap tanam akhirnya gagal tanam. Ratusan ternak peliharaan hilang terbawa arus sungai, bahkan ada kerbau yang terseret arus sungai hingga 4 kilometer.
Berkaitan dengan penebangan ini, telah banyak penolakan dan aksi protes dari warga (petani kemenyan) atas penebangan Tombak Haminjon ini. Tercatat aksi protes petani kemenyan dari sebelas desa di kecamatan Pollung (awal November 2006); aksi protes masyarakat adat Huta Godung dan Simataniari, kecamatan Parlilitan (2007-2008); dan masyarakat adat lainnya di kabupaten ini. Namun aksi protes ini dapat diredam dan dibungkam dengan pola-pola penjajah, politik pecah-belah, intimidasi dengan memakai kekuatan aparat, manipulasi hukum adat dan dengan memunculkan istilah baru “par si pisang na tonggi” yang sebelumnya tidak dikenal dalam kebiasaan adat Batak, dll. Akhirnya Tombak Haminjon di kabupaten ini boleh dikatakan sebagian besar sudah habis dibabat TPL dan digantikan dengan tanaman eucalyptus.
Kembali ke kasus Pandumaan dan Sipitu Huta, sebagai umumnya masyarakat adat, warga dua huta ini mengelola Tombak Haminjon dengan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlangsung cukup lama dan mereka taati hingga sekarang. Dalam menentukan batas-batas kepemilikan diantara mereka maupun dengan masyarakat adat di luar huta mereka, dilakukan berdasarkan kebiasaan atau hukum adat. Tidak seorang pun diantara mereka yang boleh menjual areal yang mereka miliki dan usahai kepada pihak lain di luar komunitas dua huta ini. Kalaupun ada yang akan mengalihkan kepemilikan, harus dialihkan kepada sesama komunitas dari dua desa tersebut. Demikian halnya dengan menentukan batas-batas areal dengan areal milik huta lainnya, mereka memiliki kebiasaan dan ketentuan yakni perbatasan Tombak Haminjon milik huta Pandumaan dan Sipituhuta ditentukan berdasarkan tumbuhnya jenis rotan. “hatubuan hotang lamosik ma tombak ni Pandumaan dohot Sipituhuta, hatubuan hotang pulogos ma tombak ni Parlilitan” (tempat tumbuhnya sejenis rotan yang diberi nama lamosik adalah Tombak milik huta Pandumaan dan Sipituhuta, sedangkan tempat tumbuhnya rotan pulogos merupakan milik masyarakat adat di kecamatan Parlilitan).
Pengetahuan akan sejarah pembukaan kampung dan tombak haminjon, dimana mereka (masyarakat adat dua huta) sudah ada yang hingga lima belas generasi tinggal dan mengelola Tombak Haminjon, merupakan bukti kepemilikan yang paling kuat. Marga-marga yang sejak awal membuka perkampungan dan Tombak Haminjon di dua huta ini dan hingga sekarang tinggal di dua huta ini terdiri dari komunitas marga yakni: Turunan dari marga Marbun yakni Lumban Batu yang hingga sekarang sudah 13 generasi; Lumban Gaol (13 generasi); Borubus atau sebagai marga boru (anak perempuan) yakni Nainggolan dan Pandiangan (13 generasi); Turunan Siraja Oloan yakni marga Sinambela, Sihite, Simanullang (masing-masing 13 generasi); dan marga-marga yang datang kemudian yakni: Munthe dan Situmorang (3 generasi).
Kemenyan termasuk tanaman endemik (hanya ada di tempat tertentu di bumi). Menurut mereka, tidak semua tanah/tempat bisa ditumbuhi kemenyan dengan baik. Kemenyan ibarat putri malu yang harus dilindungi. Itu sebabnya pohon/kayu alam yang tumbuh disekitarnya berfungsi sebagai pelindung. Sehingga menebang pohon/kayu alam tersebut sama hal nya dengan membunuh pohon kemenyan. Sesuai pengalaman mereka, apabila tanaman pelindung ditebang maka pohon kemenyan tidak akan menghasilkan getah dan perlahan-lahan akan mati dan tumbang. Haminjon merupakan anugerah khusus, spesies endemik yang diberikan Tuhan.
Dari sektor pertanian/perkebunan, haminjon merupakan komoditi unggulan daerah bagi Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan jumlah produksi + 60 ton/bulan. Sedangkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Humbang Hasundutan menyatakan produksi tanaman kemenyan pada tahun 2004 sebesar 1.129,30 ton dan 4.559,28 ton pada tahun 2005 .
Masyarakat Kabupaten Humbang Hasundutan umumnya hidup dari sektor pertanian/perkebunan. Dalam hal ini lebih dari 60 persen warga Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, bekerja di sektor perkebunan kemenyan dengan nilai transaksi diperkirakan mencapai Rp 2,1 Miliar tiap minggunya. Hal ini disebabkan tanaman kemenyan dapat tumbuh dengan baik hanya di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan khususnya di kecamatan Pollung .
Untuk kecamatan Pollung, berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Humbang Hasundutan menyatakan Produksi Tanaman kemenyan tahun 2005 sebesar 14, 64 ton .
Dari data di atas terlihat bahwa sumber penghasilan utama masyarakat di daerah ini adalah kemenyan. Data ini juga menunjukkan betapa kemenyan sangat dibutuhkan dan sangat berguna bagi banyak orang/pihak. Ntah untuk kepentingan obat, bahan kosmetik, acara ritual adat dan keagamaan, dll. Dapat dibayangkan apabila Tombak Haminjon punah, berapa banyak orang atau pihak yang terganggu dan dirugikan karena kesulitan dalam mencari kemenyan.
Karena itu dapat dikatakan perjuangan masyarakat adat dua huta ini dan masyarakat adat lainnya yang ada di kabupaten Humbahas dalam mempertahankan Tombak Haminjon di samping sebagai sumber penghasilan utama adalah juga dalam rangka mempertahankan identitas orang Batak sekaligus sebagai upaya pelestarian bio diversity. Tanpa mereka sadari mereka turut memperjuangkan "the integrity of God's creation", yaitu menjaga pemusnahan plasma nutfah.
Dengan cekatan mereka bisa menunjukkan yang mana jenis kemenyan yang sudah siap panen dan baik untuk bibit. “Inilah yang disebut haminjon jalangan yang ditanam Tuhan untuk masyarakat Pandumaan. Anakan pohon inilah yang kami ambil dan kami kembangkan”, kata Pdt Sinambela sambil mengambil satu anakan pohon kemenyan. Ia juga menunjukkan bunga pohon kemenyan yang berguguran di sekeliling pohonnya. Menurutnya, kalau bunga kemenyan sudah berguguran, ini pertanda pohon kemenyan tersebut sudah dapat dipanen atau di sige.
Mereka juga memiliki kearifan lokal dimana sebelum pohon kemenyan dikerjakan, terlebih dahulu semua peralatan dipersiapkan, dibersihkan dan diasah. Dilanjutkan dengan acara makan semacam sesaji yang diiringi doa. Selanjutnya, pohon kemenyan dikerjakan satu per satu. Dalam tidur, akan diperoleh petunjuk apakah pekerjaan dapat dilanjutkan atau tidak. Jika mimpi bagus, maka pohon kemenyan yang lainnya dapat dikerjakan.
Berbagai peralatan yang digunakan seperti, agak pagarit gunanya untuk membersihkan kulit pohon kemenyan yang telah kering; Guris gunanya untuk mengeluarkan semua kulit-kulit kemenyan yang tipis dan telah mengiring; Agat panuttuk gunanya untuk melukai kulit agar getah keluar dari tempat yang dilukai tersebut; Tali polang digunakan untuk memanjat pohon kemenyan; dan Bakkul digunakan sebagai tempat atau wadah getah kemenyan sebelum dituangkan ke tumpukannya.
Dalam satu hari, satu orang hanya dapat mangguris (membersihkan) rata-rata 10 batang. Saat manige, mereka melantunkan syair: “parung simardagul-dagul, sahali mamarung, gok bakkul, gok bahul-bahul” (semacam doa permohonan yang dinyanyikan dengan nada tertentu), selanjutnya dilakukan manuktuk (mengetok) sekeliling kulit yang telah dilukai. Petani kemenyan lainnya yang mendengarkan syair ini wajib menjawab “ima tutu” (semoga).
Mereka juga memiliki kebiasaan dan pengetahuan dalam memberi nama areal tersebut. Setiap nama tentu ada arti dan sejarahnya, misalnya Tombak Ri Nabongot dulunya merupakan perkampungan marga Lumbangaol yang berasal dari huta Lumbangaol Pollung. Namun karena ada perselisihan dengan saudaranya (abang), Lumbangaol (adik) ini pun pindah dan mendirikan perkampungan di Tombak ini. Suatu ketika, saat ia (Lumbangaol-adik) memanjat salah satu pohon kemenyan, ia melihat asap yang berasal dari perkampungan Pollung, tempat perkampungan abangya. Karena kesal dan takut ditemukan abangnya, akhirnya ia pun meninggalkan perkampungan ini menuju Parlilitan. Inilah awalnya di Parlilitan terdapat marga Lumbangaol. Setelah perkampungan ini ditinggalkan, ri (lalang) mulai banyak tumbuh di tempat ini sehingga areal ini diberi nama ri nabongot (lalang yang tumbuh menumpang dengan lebat).
Sehingga perampasan dan penebangan Tombak Haminjon yang dilakukan PT TPL menimbulkan kemarahan warga dua huta ini. Pada tanggal 23 Juni 2009, secara spontan warga berangkat ke Tombak Haminjon dan menahan peralatan TPL yang dipergunakan untuk menumbangkan pepohonan di atas tanah adat mereka. Tidak hanya itu saja, 29 Juni 2009, ribuan warga melakukan aksi protes ke kantor Bupati dan DPRD Humbahas. Aksi protes ini berhasil memaksa Bupati dan DPRD membuat surat agar PT TPL menghentikan penebangan di areal Tombak Haminjon milik dua desa. Namun pihak TPL tetap melakukan penebangan sehingga pada tanggal 14 Juli 2009, warga kembali ke Tombak Haminjon dan membakar tumpukan kayu tebangan TPL. Esok harinya, 15 Juli menjelang siang sekitar 200-an polisi dan brimob memasuki huta Sipituhuta dan Pandumaan. Aparat negara ini mengobrak-abrik sebagian rumah warga yang mereka anggap pimpinan kelompok dari warga dua huta. Polisi menciduk seorang bapak yang sedang membunyikan lonceng gereja, panggilan agar warga berkumpul. Polisi juga menciduk seorang bapak yang sedang bekerja di ladangnya demikian juga seorang bapak yang masih dalam perjalanan pulang usai menghadiri pesta keluarga. Atas tindakan PT TPL dan aparat kepolisian ini, hari itu juga warga melakukan aksi protes ke Polres Humbahas. Setelah dua kali aksi di Polres, warga kembali melakukan aksi ke DPRD dan Bupati Humbahas sebanyak tiga kali. Namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang konkrit dari kasus ini. Sementara itu, warga tetap bertahan di areal dan melakukan penjagaan secara bergiliran.
Dari kasus-kasus yang terjadi di Tapanuli (Tano Batak), bukankah sudah dapat dikatakan bahwa pemberian berbagai ijin (konsesi) HPH/HTI kepada TPL adalah merupakan tindakan penghancuran identitas masyarakat adat Batak secara sistematis?. Sebab berapa banyak tanah-tanah adat yang dulunya dimiliki dan diusahai orang Batak secara adat, bebas, dan mandiri tetapi sekarang sudah menjadi areal HPH/HTI TPL. Hutan alam/adat sudah beralih fungsi dan menjadi hamparan eucalyptus PT TPL.
****
Catatan: Terimakasih buat kawan-kawan (Gurgur Manurung, Eliakim Sitorus, Limantina, George Aditjondro, dll) yang memberikan dukungan dan masukan atas perjuangan warga Pandumaan dan Sipitu Huta, sehingga saya terinspirasi menuliskannya. Terimakasih juga buat kawan-kawan staf di KSPPM khususnya Guntur Simamora yang banyak berperan untuk melengkapi data.
10.22.2009
Penghancuran Sistematis Identitas dan Sumber Hidup Masyarakat Adat Batak
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar