10.22.2009

Peran Pemerintah Dalam Proses Pemusnahan Haminjon Batak

oleh : Limantina Sihaloho

PT TPL MERAMPAS TANAH ADAT WARGA DESA SIPITUHUTA DAN PANDUMAAN

Air mata bercucuran di wajah sekitar 400-an warga dua desa dari Sipituhuta dan Pandumaan yang mayoritas adalah para ibu ketika mereka mendatangi kantor bupati Humbahas pada tanggal 3 Agustus 2009 yang baru saja lalu. Di tengah deraian air mata warga itu, seorang ibu yang sudah tua di antara mereka sambil menangis, meneriakkan: “Bunu hamu ma hami sude parjolo; molo gabe rampason muna do tombak nami i sian hami!”; “Bunuh kami lebih dulu kalau kalian hendak merampas tombak kami itu dari kami!” Tombak adalah sebutan khas di kalangan masyarakat Batak secara khusus Batak Toba. Tombak berarti hutan.

Sehari sebelum mereka mendatangi kantor bupati pada 3 Agustus itu, gompul (beruang) telah masuk ke desa mereka mengobrak-abrik rumah beberapa warga. Kedatangan beruang ini merupakan ancaman bagi warga. Hutan rusak, beruang pun ikut terusir dari habitat aslinya. Sementara para perempuan berada di depan kantor bupati, para bapak dan pemuda berangkat ke Tombak Haminjon (Hutan/Ladang Kemenyan) mereka. Di sana mereka menemukan PT TPL sedang beroperasi; beberapa truk dan alat berat pembuat jalan dihentikan warga.
23 Juni 2009 yang lalu, warga Sipituhuta dan Pandumaan mengetahui bahwa Tombak Haminjon mereka dirambah oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dulu merupakan PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang terkenal dengan permasalahan yang ditimbulkannya bagi warga terutama Porsea dan sekitarnya. PT IIU tutup untuk beberapa tahun sebelum beroperasi kembali pada tahun 2005. Telah banyak masyarakat yang meninggal selama perlawanan menentang operasi PT IIU di Porsea tetapi pemerintah justru mengizinkan kembali PT itu beroperasi. TPL membabat rata pepohonan di atas tanah adat Tombak Haminjon warga yang terdiri dari tiga bagian itu: Lombang Na Bagas, Dolog Ginjang dan Sipitu Rura. Luas ketiga bagian ini sekitar 4100 ha. TPL telah merusak sekitar 2000 ha dari 4100 itu; menebang semua pohon yang sebagian sudah berusia berabad-abad; eukaliptus TPL yang rakus air itu akan menggantikan pepohonan alam dan haminjon yang ditumbangkan TPL.
Pada tanggal 23 Juni itu juga, secara spontan warga berangkat ke Tombak Haminjon mereka. Di sana mereka menemukan TPL sedang beroperasi. Warga lalu menyita peralatan TPL yang dipergunakan untuk menumbangkan pepohonan di atas tanah adat mereka. Warga marah melihat pohon-pohon haminjon mereka ditebang demikian juga pepohonan yang sangat penting bagi proses pertumbuhan dan produksi getah haminjon. Pohon haminjon tanpa pepohonan lain di samping dan sekitarnya akan membuat produksi getahnya menjadi sedikit dan kering.
Ketika warga berangkat lagi ke Tombak Haminjon mereka pada tanggal 14 Juli 2009, semakin meluas areal tanah adat mereka yang dirambah oleh TPL. Kayu-kayu besar telah menjadi bentuk gelondongan yang disusun bertumpuk-tumpuk siap diangkut oleh TPL ke luar dari tanah adat warga.
Esok harinya, 15 Juli menjelang siang sekitar 200-an polisi dan brimob naik truk dan mobil polisi memasuki kampung Sipituhuta dan Pandumaan. Aparat negara ini mengobrak-abrik sebagian rumah warga yang mereka anggap pimpinan kelompok dari warga dua desa. Seorang ibu yang baru pulang dari ladang ketakutan melihat anak-anaknya yang dia tinggalkan di rumah sudah berada di halaman dalam keadaan menangis gemetaran sementara polisi beroperasi di dalam rumahnya. Seorang ibu yang sudah tua (95 tahun) yang sedang tidur di tempat tidurnya terinjak oleh polisi yang sedang membongkar-bongkar isi rumah ibu tersebut. Polisi menciduk seorang bapak yang sedang membunyikan lonceng gereja, panggilan agar warga berkumpul. Polisi juga menciduk seorang bapak yang sedang bekerja di ladangnya demikian juga seorang bapak yang masih dalam perjalanan pulang usai menghadiri pesta keluarga. Sampai sekarang, ada empat bapak yang merupakan warga dua desa itu yang menjalani tahanan luar setelah sempat dipenjarakan di LP Siborong-borong. Keempat warga yang menjadi tahanan ini akan menjalani proses pengadilan di penghujung bulan ini.

PEMERINTAH DAN PEMODAL MEMPERALAT NEGARA
Alih-alih melindungi warga pemilik tanah adat Tombak Haminjon, pemerintah malah melindungi PT TPL. TPL berlindung di ketiak pemerintah lewat Kepres No 63 tahun 2004, Permen Perindustrian RI No. 03/M-IND/PER/ 4/2005 tanggal 19 April 2005 dan Surat Keputusan Kapolri Nopol. Skep/738/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 dan berbagai surat-surat keputusan lainnya yang mengizinkan TPL beroperasi bahkan di atas tanah adat rakyat.
Pemerintah memperalat negara bernama NKRI yang adalah milik semua warga Indonesia; pemerintah mengindentikkan dirinya seolah-olah menjadi pemilik tunggal negara ini. Pemerintah menjadikan dirinya seperti besi bermagnet sedang pemilik modal dan aparat keamanan negara (polisi dan tentara) seperti serbuk-serbuk yang secara otomatis menempel pada besi itu. Mayoritas warga negara, rakyat kebanyakan laksana dedaunan kering yang gugur yang sama sekali tidak akan menempel pada besi bermagnet ini karena ion-ion di antara keduanya tidak saling tari-menarik.
Pemerintah dan seluruh jajarannya termasuk aparat keamanan merasa berhak untuk melakukan apapun atas nama pembangunan- perekonomian yang hanya menguntungkan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab pada kelestarian lingkungan dan kepentingan rakyat banyak. Keadaan kini tak jauh beda dengan Orde Baru. Rumah warga boleh sewenang-wenang diobrak-abrik oleh aparat keamanan bahkan tanpa surat tugas/perintah yang justru membuat warga tidak aman dan menjadi trauma. Dalam kasus antara Sipituhuta dan Pandumaan, justru rakyat sebagai pemilik tanah adat Tombak Haminjon yang puluhan generasi telah bertani haminjon di Tombak Haminjon mereka yang ditangkap dan ditahan polisi. TPL yang menebangi pohon haminjon warga dan pepohonan lainnya di tanah adat warga malah dilindungi.
Pemerintah memperalat negara dan menjadikan dirinya berhak untuk memaksa dan mengeksploitasi warga dengan meminta pendataan atas tanah adat, siapa saja yang mempunyai bagian di tanah adat di Tombak Haminjon itu dan berapa luas luas tanah masing-masing warga. Pemerintah pura-pura lupa bahwa dalam tradisi Nusantara tanah adat adalah milik kolektif, bukan milik perseorangan. Menggiring warga untuk melakukan proses tidak terpuji macam itu tentu akan mempermudah pemerintah dan pemilik modal untuk melakukan proses devide et impera di kalangan warga baik itu di Sipituhuta dan Pandumaan maupun di berbagai wilayah lainnya di Indonesia. Beberapa warga di Sipituhuta dan Pandumaan sendiri telah menerima uang dari TPL seolah-olah mereka bisa menjual sebagian dari tanah adat di Tombak Haminjon dua warga desa itu. Untunglah bahwa warga masih menolerir keteledoran beberapa teman mereka atas apa yang mereka lakukan; mereka sadar itu cara-cara yang tidak terpuji untuk memecah belah mereka.
Pemerintah yang memperalat negara justru malah lebih kejam daripada Belanda yang pernah menjajah negeri ini. Belanda sebagai penjajah melakukan pemetaan wilayah Indonesia termasuk Tanah Batak demi kepentingan penjajahan mereka. Pada permulaan abad ke-20, Belanda melakukan pemetaan wilayah di Tanah Batak. Besar kemungkinan warga Sipituhuta dan Pandumaan pada permulaan abad ke-20 tidak mengetahui kalau Belanda dengan seenaknya menjadikan tanah adat mereka sebagai dari milik negara-kolonial.
Presiden, menteri dan kapolres, mungkin karena berada di Jakarta dan jauh dari daerah apalagi Sipituhuta dan Pandumaan dan sibuk dengan urusan-urusan mereka di Jakarta, dengan begitu saja bisa mengeluarkan surat-surat keputusan yang membuat PT TPL yang tadinya PT IIU itu berada di atas angin untuk beroperasi kembali pada tahun 2005 yang telah menimbulkan bencana bagi manusia dan alam.
Pemerintah bersama jajarannya justru tidak peduli pada kepentingan rakyat-banyak seperti penduduk di desa Sipituhuta dan Pandumaan. Jajaran pemerintah di daerah-daerah berlindung di balik berbagai keputusan-keputusan dari pusat (Jakarta) seolah-olah keputusan-keputusan itu adalah Tuhan yang tidak boleh dipertanyakan dan diganggu-gugat. Tiba-tiba warga di berbagai tempat di negeri ini bisa kehilangan rumah atau tanah termasuk tanah adat mereka sebab tak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan ketika aparat pemerintah datang menunjukkan berbagai macam ketentuan atau keputusan yang dikeluarkan atas nama negara; pemerintah dan jajarannya menjadi buta dan pura-pura buta terhadap bukti-bukti kultural dan historis yang dimiliki oleh warga.

MERAWAT NILAI KULTURAL HAMINJON
Haminjon tanah Batak sudah dikenal di dunia internasional selama ribuan tahun. Persoalan haminjon adalah juga persoalan identitas yang mengandung nilai-nilai historis dan kultural yang sangat kaya. Petani haminjon mempunyai kulturnya sendiri. Berangkat ke Tombak Haminjon, mereka harus suci dalam kata dan laku. Mereka (biasanya laki-laki) tinggal selama berhari-hari di Tombak Haminjon, mereka mempunyai gubuk di sana. Berbagai macam lagu tentang haminjon mereka nyanyikan selama berada di tombak. Mereka menyekolahkan anak-anak mereka sampai perguruan tinggi dengan haminjon. Itu sebab para ibu mengatakan kepada jajaran aparat pemerintah saat mereka mendatangi kantor bupati: “Asa boi pe hamu singkola timbo-timbo alani haminjon do!”; “Kalian bisa sekolah tinggi-tinggi adalah karena kemenyan.” Hampir semua aparat itu orang Batak. Walau orang tua mereka secara langsung bukan petani haminjon, kalau mereka punya perasaan, tentu mereka bisa menangkap arti dari kalimat itu: tanpa haminjon anak-anak Sipituhuta dan Pandumaan, sekarang dan di mana yang akan datang akan teramcam putus sekolah; warga desa akan terpuruk jatuh miskin.
Pemerintah memperalat negara, menjadikan dirinya identik dengan negara. Pemerintah menyokong dan melindungi pemilik modal melakukan tindakan-tindakan memonopoli perekonomian termasuk dengan cara merampas tanah adat warga mirip VOC di zaman penjajahan yang berakhir dengan kebangkrutan itu. Sistem perekonomian hanya bisa langgeng kalau ada nilai-nilai kultural yang menopangnya, tanpa itu akan ambruk dan berujung menjadi bencana.
Warga Sipituhuta dan Pandumaan tidak ada yang kena asam urat seperti banyak warga kota sebab mereka biasa berjalan kaki menginjak berbagai macam akar pepohonan. Perjalanan berpuluh km ke Tombak Haminjon adalah juga sebuah spiritualitas, latihan mental dan daya tahan. Berada di tengah tombak membuat jiwa mereka dekat dengan alam dan Pencipta; ini nampak antara lain lewat syair-syair yang mereka senandungkan saat bekerja atau berada di tombak. Dari generasi ke generasi mereka memelihara tradisi bahwa setiap orang yang berangkat bekerja ke tombak harus suci dalam kata dan laku; sebuah pendidikan karakter luhur yang bahkan di sekolah-sekolah dan universitas- universitas di negeri kita sudah sulit atau tidak bisa kita jumpai lagi. Kesucian dalam kata dan laku memberi mereka kekuatan bersahabat dengan alam di mana binatang-binatang buas seperti harimau dan beruang juga bertempat tinggal. Cara masyarakat berinteraksi dengan hewan-hewan buas ini juga merupakan kekayaan kultural tersendiri; mereka tidak menjadikan alam dan hewan sebagai objek tapi sebagai subjek.
Ada banyak unsur yang musti kita lindungi berkaitan dengan haminjon di Tanah Batak. Di samping haminjon sebagai mata pencaharian utama warga yang berprofesi sebagai petani haminjon, kita juga perlu mendukung mereka merawat nilai-nilai khas yang ada dalam tradisi bertani haminjon. Nilai-nilai ini sangat berharga, ibarat nafas bagi tubuh manusia. Tanpa nafas, apalah jadinya manusia kecuali sebagai mayat? Itu sebab mengapa paling tidak setiap orang yang punya akal dan hati nurani perlu mendukung perjuangan warga Sipituhuta dan Pandumaan. Kalau mereka kalah berhadapan dengan TPL maka ini akan menjadi tanda buruk bahwa pemerintah bersama jajaran dan aparat keamanannya serta pemilik modal akan terus melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji berikutnya yang mirip di tempat-tempat lain. Sebaliknya, kalau warga menang dalam mempertahankan apa yang menjadi milik mereka, tanah adat Tombak Haminjon mereka, maka ini menjadi tanda positif bahwa pemeritah dan konco-konconya harus menahan dan menghentikan langkah-langkah serupa dalam mempersulit, mengelabui dan menyiksa rakyat.*** 18 08 2009

Catt: saya sengaja mempergunakan kata: haminjon dan tombak dalam tulisan saya karena saya suka kata-kata itu. Saya juga senang dengan kemauan warga Sipituhuta dan Pandumaan dan para pejuang lainnya di Tanah Batak melawan PT IIU (TPL) yang mempergunakan bahasa Batak dalam berhadapan dengan aparat pemerintah. Terimakasih untuk Suryati Simanjuntak dari KSPPM untuk semua informasi yang telah disusunnya berkaitan dengan kasus yang terjadi di Sipituhuta dan Pandumaan; seorang pendamping rakyat paling baik yang kita miliki hari ini. Saya terkesan dengan bagaimana ia melakukan pekerjaannya; ia mengerti detak jantung warga desa Sipituhuta dan Pandumaan

Tidak ada komentar:

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi