7.15.2008

Pengadilan Tipikor Berwenang Mengadili Bupati Pelalawan

Majelis Hakim menyatakan kasus pembalakan liar yang beririsan dengan tindak pidana korupsi bisa disidang di Pengadilan Tipikor.

Nota keberatan Tengku Azmun Jaafar kandas. Langkah Bupati Pelalawan, Provinsi Riau, untuk lolos dari jeratan Jaksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk sementara terganjal. Seluruh dalil eksepsi yang diajukan dua pekan lalu ditolak Majelis Hakim pengadilan yang khusus menangani kejahatan korupsi tersebut.

Dalam putusan sela yang dibacakan Jumat (23/5), nota keberatan Azmun dalam kasus korupsi pemberian izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UPHHK) Hutan Tanaman, dinyatakan tidak cukup beralasan secara hukum. Untuk itu, perkara dengan kerugian negara tertinggi sepanjang sejarah Pengadilan Tipikor ini, tetap akan disidangkan.

[24/5/08]

Majelis Hakim yang diketuai Kresna Menon berpendapat, dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sah menjadi dasar pemeriksaan perkara yang merugikan negara Rp1,208 triliun itu. Surat dakwaan yang disusun Tim Jaksa yang terdiri dari: M. Rum, Riyono, Siswanto dan Andi Suharlis, dinilai memenuhi syarat formil dan materiil sebuah dakwaan yang diatur Pasal 143 KUHAP.

Sementara, dalil eksepsi Tim Penasehat Hukum Azmun yang menyatakan Pengadilan Tipikor tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana kehutanan, dinilai telah masuk materi pokok perkara.

Dalam dakwaan Jaksa disebutkan, Azmun diduga melakukan pembalakan liar berkedok pemberian izin UPHHK Hutan Tanaman kepada 15 perusahaan. Beberapa perusahaan yang diberikan izin tersebut, ternyata terafiliasi dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), perusahaan bubur kertas milik konglomerat Sukanto Tanoto.

Hieronimud Dani, salah satu anggota Tim Penasehat Hukum Azmun mengatakan, perbuatan kliennya diatur dalam Undang-Undang (UU) khusus, yakni UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Sementara dakwaan Jaksa adalah perkara korupsi yang masuk ranah tindak pidana umum. "Kalau ada dua UU yang berlaku dalam satu kasus, maka yang berlaku UU yang bersifat khusus," ujar advokat dari Kantor Hukum Amir Syamsudin ini, saat membacakan eksepsi, dua pekan lalu.

Kresna Menon menegaskan, eksepsi itu tidak beralasan secara hukum. Pasalnya, Jaksa mendakwa pria berusia 49 tahun itu dengan beleid perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan. Dalam hal ini menerbitkan izin UPHHK Hutan Tanaman. Kedua perbuatan tersebut dilarang UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001.

Sebelumnya Jaksa menduga, izin yang diterbitkan terdakwa merupakan alat untuk melakukan korupsi. Karena itu, Majelis menilai, hal itu harus dibuktikan di persidangan guna melihat ada tidaknya unsur kerugian negara.

Pada bagian lain pertimbangan, Majelis menolak alasan eksepsi yang menyatakan izin yang diterbitkan Azmun kepada 15 perusahaan adalah produk keputusan pejabat Tata Usaha Negara. Majelis menyatakan, untuk mengungkap kasus ini, maka harus melihat unsur pidana dalam penerbitan izin UPHKK.

Dalam dakwaannya Jaksa menceritakan, 15 perusahaan yang diberi izinnya sebenarnya tidak memiliki kualifikasi untuk mengajukan permohonan izin UPHHK Hutan Tanaman. Sebab perusahaan tersebut tidak memilliki kemampuan keuangan dan tenaga teknis di bidang kehutanan. Lahan hutan yang dimohonkan juga tidak memenuhi syarat. Ditambah lagi perusahaan yang telah membabat hutan di kawasan Kepulauan Riau seluas 108.840 hektar itu, tidak membayar iuran izin tersebut. Namun, semua itu diabaikan Azmun. Dan ia tetap meloloskan izin untuk 15 perusahaan itu. Fakta tersebut, tegas Majelis, harus dibuktikan di muka persidangan.

Uraian penyertaan (delneming) dalam dakwaan Jaksa juga dinilai tepat oleh Majelis. Dalam dakwaan disebutkan, Azmun melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Bambang Pudji Suroto, Tengku Zuhelmi dan Edi Suriandi. Ketiganya adalah mantan dan Kepala Dinas Kehutanan Pelalawan. Dalam perkara ini, status mereka masih sebagai saksi.

Status saksi yang melekat pada ketiga orang itu memicu keberatan dari Penasihat Hukum Azirwan. Alasannya, dakwaan tidak menguraikan secara jelas peranan dari masing-masing saksi dalam melakukan tindak pidana. Seharusnya, Jaksa menguraikan peran masing-masing saksi tersebut. Misalnya, apakah ketiganya berperan sebagai orang yang membantu melakukan, turut serta melakukan atau sebagai pelaku (pleger). Jika ternyata mereka punya peran, Tim Penasehat Hukum Azmun meminta agar ketiga kepala dinas itu juga ditetapkan sebagai terdakwa.

Dalil itu langsung dibantah Majelis. Menurut Majelis, meski status ketiga kepala dinas itu masih saksi, hal itu tidak menyalahi maksud dan tujuan penggunaan Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP. Yang penting dalam dakwaan sudah disebutkan bahwa Azmun bertindak secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dengan para saksi dalam melakukan tindak pidana.

Mengenai sejauhmana peran masing-masing saksi, masih harus dibuktikan di persidangan. Sementara soal peningkatan status saksi sebagai terdakwa, Majelis menganggap hal tersebut bukan kewenangan Majelis, melainkan ranah Jaksa Penuntut Umum (JPU). "Oleh karena eksepsi terdakwa tidak beralasan secara hukum dan dinyatakan tidak dapat diterima, maka surat dakwaan sah dijadikan dasar pemeriksaan pokok perkara," tegas Kresna Menon.

Menanggapi putusan sela Majelis Hakim, terdakwa yang bergelar sarjana hukum itu, hanya menganggukan kepala ketika hakim mengetukan palunya. Semantara Hieronimus Dhani, menyatakan akan mengajukan banding bersama dengan putusan pokok perkara. Dengan catatan, terdakwa mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama. Rencananya, sidang selanjutnya akan digelar, Kamis (29/5), dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan JPU.

Tidak ada komentar:

Kehancuran Hutan Akibat Pembuatan HTI di Lahan Gambut
Kanalisasi

Bekas Kebakaran

 Kanalisasi Kanalisasi