Hari ini (31/10/2008), Greenpeace luncurkan prakarsa inisiatif hutan untuk iklim atau forests for climate (FFC). Prakarsa tersebut adalah sebuah solusi rintisan untuk menekan laju deforestasi, mengatasi perubahan iklim, melestarikan keanekaragaman hayati dan melindungi sumber penghidupan jutaan orang yang bergantung pada hutan. Peluncuran yang juga dihadiri Menteri Negara Lingkungan, Rachmat Witoelar dan berbagai pihak tersebut berlangsung di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
FFC adalah proposal 'andalan' Greenpeace tentang mekanisme internasional untuk mendanai upaya penurunan emisi karbon dari penyusutan hutan tropis di negara-negara pemilik hutan yang peserta untuk memenuhi komitmen dari fase kedua dari kesepakatan Protokol Kyoto (pasca 2012).
Dalam siaran pers yang diterbitkan Greenpeace Indonesia, organisasi global yang independen tersebut juga mempertemukan negara-negara donor dengan prakarsa-prakarsa nyata di negara-negara berkembang pemilik hutan sebagai langkah awal. Perwakilan negara-negara donor, lembaga-lembaga donor, para pejabat dan gubernur dari beberapa propinsi terkait diundang untuk membicarakan prakarsa ini dan mendukung moratorium terhadap konversi hutan baru di Indonesia sebelum masuknya uang yang berasal dari mekanisme karbon.
"Pesatnya deforestasi dan meningkatnya emisi gas rumah kaca di Indonesia didorong oleh iming-iming keuntungan jangka pendek. Mekanisme Hutan untuk Iklim Greenpeace adalah solusinya karena memberikan nilai untuk membiarkan hutan tetap utuh," ungkap Arief Wicaksono, Penasihat Politik Greenpeace Asia Tenggara.
Rachmat Witoelar menegaskan bahwa pemerintah Indonesia dan seluruh komponen masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan akan bertanggungjawab mengelola hutan secara lestari dalam konteks pembangunan lingkungan hidup Indonesia dan pencegahan memburuknya perubahan iklim. "Dengan kata lain, Indonesia sudah saatnya lebih mendapatkan hak pendanaan yang berasal dari negara-negara di dunia terutama negara-negara maju dalam mengelola tanggungjawab bersama, yaitu paru-paru dunia," katanya.
Di dalam mekanisme FFC, negara-negara industri yang telah menyatakan komitmen untuk mengurangi emisi mereka akan mendanai perlindungan sejumlah besar wilayah-wilayah hutan tropis yang tersisa. Negara-negara berkembang dengan wilayah hutan luas seperti Indonesia, yang memilih untuk ikut berpartisipasi dan menunjukkan komitmen untuk melindungi hutan, akan mendapat kesempatan mendapatkan pendanaan bagi usaha-usaha pengingkatan kemampuan dan pengurangan tingkat emisi nasional yang berasal dari deforestasi.
FFC mencegah deforestasi dari bergeser dari satu negara ke negara lainnya. Sejauh ini FFC merupakan satu-satunya mekanisme yang melibatkan perwakilan masyarakat adat untuk memastikan dihormatinya hak dan sumber-sumber kehidupan mereka.
Greenpeace mendorong agar mekanisme FFC menjadi bagian dari fase kedua kesepakatan Kyoto (pasca 2012) mengenai perubahan iklim. Jika negara-negara berkomitmen dengan mekanisme FFC, pendanaan dari negara-negara industri untuk perlindungan hutan tropis akan siap pada tahun 2009.
"Hutan alam yang tersisa utuh terakhir di Indonesia harus dilindungi untuk memerangi perubahan iklim, menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan melindungi sumber kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. Pertama-tama, kita perlu secepatnya mencanangkan moratorium terhadap deforestasi, yang diikuti oleh pendanaan internasional melalui PBB untuk melindungi hutan demi nilai karbonnya," jelas Wicaksono.
Greenpeace menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk secepatnya menerapkan moratorium bagi semua bentuk konversi hutan, termasuk pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, industri penebangan kayu dan pendorong deforestasi lainnya. [pr!]
http://beritahabitat.net/2008/10/31/greenpeace-luncurkan-prakarsa-inisiatif-hutan-untuk-iklim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar